Bangkitlah Wahai Umat! Saatnya Menolak Diplomasi Semu



Oleh: Ammelia Sobihatul Ahmar



Pada 31 Mei 2025, Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), merespons pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan kesiapan Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel, jika Palestina memperoleh kemerdekaan. Gus Yahya menyebut pernyataan tersebut mencerminkan konsistensi Presiden Prabowo.

Pernyataan itu disampaikan Prabowo dalam konferensi pers bersama Presiden Prancis, Emmanuel Macron, di Istana Merdeka. Prabowo menyatakan bahwa Indonesia terbuka untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dengan syarat Israel mengakui kemerdekaan Palestina.

Namun nyatanya, Indonesia hingga kini tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel, dan jika wacana ini dimaknai sebagai bentuk normalisasi yang menggantungkan pengakuan terhadap Palestina hanya sebagai syarat formal maka ini sangat layak ditolak. Dalam pandangan Islam, langkah ini bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan umat Islam di Palestina.

Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina memang seharusnya ditegaskan. Namun bagaimana mungkin kita menyambut tangan penjajah yang selama puluhan tahun membunuh, menjajah, dan merampok tanah suci kaum Muslim, dengan ajakan kerja sama diplomatik? Umat Islam tentu menolak keras hal tersebut. Dalam Islam, menjalin hubungan dengan penjajah yang nyata-nyata memusuhi umat Islam tidak bisa dibenarkan.

Islam tidak memandang urusan diplomatik semata sebagai ranah negara. Ia merupakan bagian dari tanggung jawab umat untuk menegakkan keadilan dan menolak kezaliman. Maka setiap kebijakan luar negeri harus diukur dengan neraca tauhid, keadilan, dan solidaritas terhadap umat Islam di seluruh dunia.

Pernyataan Presiden Prabowo sebenarnya mencerminkan jebakan solusi dua negara, yang sejak lama digagas oleh Inggris dan Amerika. Ide ini adalah ilusi, yang tidak menghapus penjajahan, tetapi justru melegitimasinya dalam bingkai kompromi palsu.

Statemen tersebut bukan hanya mengabaikan penderitaan rakyat Gaza, tetapi juga mengkhianati jejak perjuangan mulia para penakluk Islam sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, para korban Nakba, intifada, hingga para syuhada dalam Taufan Al-Aqsa.

Ada yang beralasan bahwa pernyataan presiden adalah strategi diplomatik untuk menekan Israel. Namun itu hanya harapan kosong. Bahkan suara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun selama ini diabaikan oleh Israel. Justru langkah ini menjadi preseden buruk, karena bisa dibaca sebagai sinyal bahwa Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar mulai membuka celah normalisasi dengan penjajah Gaza.

Kita semua tentu menginginkan agar genosida dihentikan dan Palestina merdeka. Tapi bukan dengan cara yang justru membuka pintu kehormatan kita diinjak-injak. Karena sejarah menunjukkan Zionis tidak pernah punya niat baik.

Satu-satunya solusi untuk mengusir penjajah adalah melalui jihad semesta di bawah komando kepemimpinan Islam. Jalan yang harus ditempuh adalah mengikuti thariqah perjuangan Rasulullah SAW, menegakkan sistem Islam secara kaffah. Bukan diplomasi semu atau normalisasi yang menyakitkan, tetapi kebangkitan umat di bawah naungan khilafah yang akan menjaga darah, kehormatan, dan tanah kaum Muslimin.

Saatnya kita sadar, bersatu, dan bergerak. Karena hanya dengan Islam kaffah dan kepemimpinan yang benar, umat ini bisa kembali jaya. Dan Palestina bisa meraih kemerdekaannya yang hakiki.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak