Oleh: Hamnah B. Lin
Transaksi judi online atau judol telah dilakukan oleh anak-anak berusia sejak 10 tahun di Indonesia. Ini merupakan hasil temuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Temuan ini diungkap PPATK dalam Program Mentoring Berbasis Risiko (Promensisko). Promensisko bertujuan memperkuat kapasitas pemangku kepentingan dalam memahami pola, mendeteksi dini, dan merespons secara efektif tindak pidana pencucian uang berbasis digital
Data kuartal I-2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 Tahun lebih dari Rp 2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp 47,9 miliar dan deposit yang tertinggi usia antara 31-40 Tahun mencapai Rp 2,5 triliun ( CNBCImdomesia, 8 Mei 2025 ).
Sungguh miris, begitu tingginya angka pemain judol dengan usia anak - anak. Hal ini harusnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah melalui program - programnya yang benar, tepat sasaran dan tersistem.
Pemerintah sendiri telah berupaya membuat beberapa regulasi untuk menghentikan judol. Pada 2024, misalnya, pemerintah mengeluarkan Keppres 21/2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring yang diterbitkan di Jakarta pada 14 Juni 2024.
Pada tahun yang sama BKKBN juga memberikan arahan tentang penguatan keluarga karena keluarga berperan penting dalam pencegahan judol. Ini termasuk arahan dari Kementerian Agama agar calon pasangan pengantin dibekali dengan penyuluhan larangan judol. Terbaru, Presiden Prabowo Subianto mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) di Istana Kepresidenan, Jumat (28-3-2025).
Presiden menegaskan, regulasi ini merupakan langkah penting untuk melindungi anak-anak Indonesia dari dampak negatif internet. Regulasi ini menekankan pada beberapa hal, antara lain penyaringan konten yang berpotensi membahayakan anak-anak, mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan transparan, proses remediasi yang cepat dan transparan jika ada konten yang melanggar, dan penyediaan edukasi literasi digital kepada anak-anak dan orang tua.
Berbagai kebijakan pemerintah nyatanya tidak bisa menghentikan kasus judol. Jika kita amati, ada tiga sebab mengapa hal ini terjadi:
Pertama, karena pemerintah menerapkan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme adalah sistem yang memisahkan aturan agama Islam dengan kehidupan sehari - hari. Maka adanya judol ini bukan semata dampak berkembangnya digitalisasi dan seterusnya. Namun adanya sistem kapitalisme ini menjadikan segala sesuatu yang dapat menghasilkan uang akan dimanfaatkan secara maksimal demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Para pelaku industri judol secara sadar merancang tampilan permainan yang penuh warna, interaktif, dan mirip dengan game yang disukai anak-anak agar mereka tertarik, kecanduan, dan akhirnya menjadi konsumen tetap.
Judol juga didukung oleh teknologi unggul. Para bos judol memiliki banyak uang sehingga bisa membeli teknologi dan pakar di bidang teknologi. Inilah salah satu sebab pemerintah kerepotan mengadang banjir website judi karena kalah unggul dalam teknologi. Perusahaan teknologi digital secara geografis hanya terkonsentrasi di Amerika Serikat dan Cina. Sedangkan Indonesia hanya pasar bagi produk digital kedua negara tersebut untuk dieksploitasi oleh pemilik teknologi.
Kedua, kurikulum pendidikan dalam sistem kapitalisme dirancang untuk memenuhi kebutuhan pasar industri. Maka yang terjadi kerja, kerja dan kerja. Menghasilkan uang, uang dan uang. Sehingga tamatan sekolah harus bisa kerja dan menghasilkan uang, bagaimanapum caranya.
Ketiga, dari sisi keluarga, ini sudah menjadi trend, dimana maraknya angka pengangkatan kerja oleh ibu. Hukum ibu bekerja adalah mubah atau boleh, sedangkan tugas utama ibu yang berarti wajib adalah mengurusi rumah dana anak - anak., telah para ibu tinggalkan. Sehingga waktu, fikiran dan emosi telah banyak tersita untuk bekerja. Jadilah anak - anak tidak memiliki perhatian dari ibu sepenuhnya.
Hal ini akan jauh berbeda tatkala kita kembali kepada Islam, dimana Islam adalah agama yang sesuai dengan fitroh manusia. Islam memiliki perlindungan berlapis untuk memberantas tuntas judol.
Dimulai dari larangan Allah yang berlaku untuk seluruh elemen, mulai dari individu, keluarga hingga negara. Yakni adanya Firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 90—91 menjelaskan, ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
Kemudian mengerucut pada sisi setiap kepala keluarga Allah berfirman agar kepala keluarga membentengi keluarga dari api neraka sebagaimana firman-Nya dalam surah At-Tahrim ayat 6 yang artinya, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Penjagaan ini dilakukan dengan memastikan seluruh anggota keluarga beramal sesuai syariat.
Selanjutnya ibu sebagai pendidik utama bagi putra-putrinya memiliki cukup waktu untuk bisa menanamkan akidah, syariat, dan akhlak dalam diri anak agar sang anak memiliki kepribadian Islam sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan. Bekal ketakwaan yang ditanamkan di keluarga akan melekat kuat dalam diri anak sebagai filter terhadap keburukan yang ia jumpai di tengah kehidupan.
Islam juga tidak hanya membebankan tanggung jawab pendidikan kepada keluarga, tetapi juga menyediakannya melalui sistem pendidikan yang integral. Pasal 167 Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Islam menyebut, “Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah islamiah) dan membekalinya dengan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang.”
Jadi pendidikan Islam membentuk pola pikir dan sikap anak agar sesuai dengan syariat, yakni menjadikan halal dan haram sebagai standar perilaku, termasuk dalam penggunaan teknologi. Maka disinilah anak - anak sudah memiliki kontrol diri agar tidak mudah terbawa arus judol, karena sebagian besar mereka meengikut - ikut teman.
Kemudian negara yang menerapkan Syariat Islam secara menyeluruh yakni khilafah Islam memilki peran besar. Mulai dari pelindung akidah dan penjaga moral publik. Sistem informasi dan teknologi, termasuk digitalisasi, tidak akan dibiarkan berkembang liar. Pengawasan terhadap media, internet, dan segala bentuk informasi digital akan dilakukan secara ketat dengan standar halal haram sebagai tolok ukur, bukan asas manfaat atau kebebasan berekspresi. Mengembangkan teknologi secara mandiri dan produktif.
Selanjutnya khilafah akan menegakkan sanksi pidana terhadap para pelaku judol, sebagaimana kewajiban yang Allah berikan, karena hakikatnya larangan berjudi dalam Islam bukanlah sekadar imbauan moral, namun wajib dilaksanakan. Mereka adalah mulai dari bandarnya, pemainnya, pembuat programnya, penyedia servernya, mereka yang mempromosikannya, dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Sanksi bagi mereka berupa takzir, yakni jenis sanksi yang diserahkan keputusannya kepada khalifah atau kepada kadi (hakim).
Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm menjelaskan bahwa kadar sanksi yang dijatuhkan disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Atas tindak kejahatan atau dosa besar maka sanksinya harus lebih berat agar tujuan preventif (zawâjir) dari sanksi ini tercapai. Ia juga menjelaskan bahwa khalifah atau kadi memiliki otoritas menetapkan kadar takzir ini. Oleh karena itu, pelaku kejahatan perjudian yang menciptakan kerusakan begitu dahsyat layak dijatuhi hukuman yang berat seperti dicambuk, dipenjara, bahkan dihukum mati.
Namun jika pelaku kriminal adalah orang gila atau anak di bawah umur (belum balig), dia tidak dapat dihukum. Namun, jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, wali itu yang dijatuhi sanksi. Jika bukan karena kelalaian wali, wali tidak dapat dihukum.
Maka terbukti bahwa sistem kapitalislah biang keladi judol tidak bisa diberantas. Hanya kembali kepada aturan Islam dengan menegakkan khilafah, kasus judol anak akan dibabat habis.
Wallahu a'lam biashowwab.