Program MBG: Makan Gratis, Masalah Tak Gratis


Oleh: Nettyhera


Sejak awal tahun 2025, pemerintah menggulirkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak sekolah sebagai bagian dari Twins Quick Program 2025–2029. Sekilas, program ini tampak mulia. Memberi makan bergizi kepada generasi bangsa, tentu sangat penting di tengah masalah malnutrisi, stunting, dan gizi buruk yang masih tinggi di Indonesia. Apalagi jika menyasar kelompok rentan seperti anak usia sekolah, balita, ibu hamil dan menyusui.

Namun, baru berjalan beberapa bulan, program ini sudah memicu kekhawatiran publik. Kasus keracunan makanan terjadi di berbagai daerah, bahkan menelan korban. Ironisnya, hal ini terjadi justru saat pemerintah mencanangkan zero accident. Bukannya menjadi solusi, MBG justru menambah daftar masalah. Apakah program ini masih layak diteruskan?


Ada Apa dengan MBG?

Jika ditelisik lebih dalam, akar persoalan MBG bukan sekadar kelalaian teknis. Bukan semata karena pengawasan yang lemah, anggaran yang terbatas, atau distribusi makanan yang kurang tepat. Masalahnya jauh lebih mendasar: paradigma yang digunakan dalam merancang dan menjalankan program ini.

MBG dibangun dalam kerangka sistem kapitalisme yang berlandaskan sekularisme. Dalam sistem ini, semua hal, termasuk pangan dan gizi, diukur dengan nilai ekonomi. Artinya, siapa pun yang menjalankan program ini akan cenderung melibatkan pihak yang bisa memberikan “efisiensi biaya” dan “keuntungan”, meskipun bisa saja mengorbankan kualitas dan keamanan.

Inilah yang membuat pihak swasta, terutama korporasi pangan, dilibatkan sebagai penyedia makanan. Mereka hadir bukan karena niat tulus menolong anak bangsa, tapi karena peluang bisnis yang menjanjikan. Bahkan ada Badan Gizi Nasional (BGN) yang bertugas sebagai pengelola dan pelaksana MBG, namun berbentuk vendor korporasi. Akibatnya, orientasi bisnis pun mencengkeram dari hulu hingga hilir.

Yang menyedihkan, ketika ada kasus keracunan makanan, pemerintah justru menyoroti pencapaian ekonomi dari MBG: penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan UMKM, dan sebagainya. Padahal, nyawa anak-anak jauh lebih penting dari sekadar angka statistik.


Gizi Bukan Bisnis

Dalam pandangan Islam, makanan dan gizi adalah kebutuhan pokok manusia (al-hajat al-asasiyyah) yang harus dijamin negara. Islam tidak membiarkan pemenuhan kebutuhan dasar ini dikendalikan oleh mekanisme pasar, apalagi diserahkan pada kepentingan korporasi. Negara wajib hadir sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai makelar proyek.

Allah Swt. telah menjadikan negara sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung). Maka, dalam sistem Islam, pemenuhan gizi bukanlah proyek yang dikomersialisasikan, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Negara akan memastikan bahwa setiap rakyat—terutama kelompok rentan—memperoleh gizi yang cukup, sehat, dan aman, tanpa harus membayar atau mengandalkan donatur.

Islam memandang manusia sebagai makhluk mulia yang tidak boleh diperlakukan seperti angka atau objek ekonomi. Anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, lansia, semua harus dijamin hak hidupnya secara layak. Negara Islam akan memiliki sistem kesehatan dan sistem pangan yang terintegrasi, berbasis pelayanan, bukan keuntungan.


Bagaimana Islam Menyelesaikan Masalah Ini?

Dalam sejarahnya, negara Islam (Khilafah) pernah menangani krisis pangan dan kelaparan dengan cara yang sangat manusiawi dan sistemik. Khalifah Umar bin Khattab r.a., saat terjadi paceklik hebat, tidak hanya mengatur distribusi makanan, tetapi juga memastikan bahwa setiap keluarga miskin mendapatkan jatah makanan secara langsung dari negara. Ia tidak membiarkan pengusaha mengambil alih peran negara.

Dalam sistem Khilafah, anggaran pemenuhan kebutuhan dasar rakyat diambil dari baitulmal (kas negara), bukan dari utang luar negeri atau investasi korporasi. Unit pelaksana lapangan dibentuk secara profesional dan cepat, namun tidak berorientasi bisnis. Semua ini didukung oleh sistem pemerintahan yang kuat, terpusat pada khalifah, namun administrasinya tersebar hingga ke pelosok, memastikan rakyat benar-benar dilayani.

Jika prinsip-prinsip ini diterapkan hari ini, maka program semacam MBG tidak akan menimbulkan kekacauan seperti yang terjadi saat ini. Anak-anak akan mendapatkan makanan yang layak, bergizi, dan aman, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara moral dan spiritual. Sebab Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem pangan, dengan penuh tanggung jawab.


Kembali kepada Islam: Pilihan yang Pasti

Sudah saatnya kita berhenti berharap pada solusi tambal sulam dari sistem kapitalisme. MBG yang digagas dengan semangat industrialisasi dan bisnis hanya akan menambah deretan kegagalan kebijakan negara dalam melayani rakyat. Kita membutuhkan perubahan sistemik dan menyeluruh.

Islam sebagai ideologi memiliki seperangkat sistem yang mampu mengatur kehidupan manusia dengan adil, termasuk dalam urusan pangan dan gizi. Negara Islam hadir bukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semu, tetapi untuk menjamin kesejahteraan rakyat secara nyata.

Sebagaimana firman Allah Swt.:

Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu...” (QS Al-Anfal: 24)

Mari menjadikan Islam sebagai jalan hidup dan sistem kehidupan. Karena hanya dengan kembali pada aturan Allah secara menyeluruh (kafah), kita bisa mewujudkan negara yang benar-benar melayani dan melindungi rakyatnya.

Wallahu a’lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak