Oleh: Nettyhera
Operasi razia pekat yang digelar Forkopimda Dramaga, Kabupaten Bogor pada 15 Mei lalu, berhasil mengungkap fakta mengejutkan. Ribuan botol minuman keras ilegal jenis ciu dan arak bali ditemukan di sebuah rumah di Desa Ciherang. Rumah itu disinyalir menjadi pusat distribusi miras ke para pengecer di wilayah Bogor. Pemiliknya, JS (39), mengaku telah menjalankan bisnis ini sejak 2018. (Radar Bogor, 16/5/2025)
Ini bukan kasus miras pertama, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Kita tentu mengapresiasi upaya kepolisian dan aparat setempat yang melakukan penindakan. Namun, patut dipertanyakan, mengapa kasus semacam ini terus berulang? Bukankah JS sudah lama beroperasi? Bagaimana bisa praktik ilegal ini berlangsung selama bertahun-tahun tanpa terendus secara serius?
Miras oplosan bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah simbol dari bobroknya sistem sosial dan ekonomi saat ini. Sistem yang memberi ruang bagi siapa pun mencari untung, walau dengan cara membahayakan nyawa orang lain. Sistem yang gagal membentengi masyarakat dari kerusakan moral, dan sekaligus lalai memberi solusi ekonomi yang layak bagi rakyat.
Jika kita telusuri lebih dalam, maraknya peredaran miras terjadi karena lemahnya kontrol negara, tumpulnya hukum, dan buruknya edukasi masyarakat. Ironisnya, di saat razia dilakukan di satu sisi, di sisi lain peredaran miras masih dilegalkan oleh negara dalam bentuk izin resmi di minimarket, cafe, dan hotel. Bukankah ini kontradiksi?
Lebih dari itu, kita harus menyadari bahwa miras adalah bagian dari “penyakit masyarakat” yang akan terus hidup selama sistem hidup yang diterapkan membiarkan kemaksiatan berlangsung atas nama kebebasan. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan telah menumpulkan sensitivitas kita terhadap maksiat. Asalkan ada izin, semuanya sah. Bahkan hal yang nyata-nyata haram dalam agama pun dijadikan komoditas.
Islam memandang miras sebagai ummul khaba’its (induk segala kejahatan). Rasulullah saw. melaknat sepuluh pihak yang terlibat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi miras. Negara dalam Islam wajib mengharamkan peredaran dan konsumsinya secara total, tanpa kompromi. Tak ada istilah “izin resmi” untuk miras, karena syariat memandangnya sebagai racun yang merusak akal dan jiwa manusia.
Penindakan dalam Islam bukan sekadar razia musiman, tapi kebijakan permanen. Negara Islam akan menutup seluruh jalan menuju peredaran miras, dari produksi, distribusi, hingga iklan dan konsumsinya. Negara juga menjamin lapangan kerja halal dan ekonomi yang adil agar rakyat tidak terdorong mencari untung dari bisnis haram.
Dalam sistem Islam, negara bukan hanya memadamkan api, tapi mencegah munculnya bara. Penegakan syariat berjalan berdampingan dengan pembinaan masyarakat yang kuat iman dan takwa. Pendidikan dijalankan untuk mencetak generasi bermoral. Media dijaga agar tak menyebar racun gaya hidup bebas.
Sudah saatnya kita berhenti bersikap reaktif. Razia sesekali tidak akan menyelesaikan akar masalah. Kita butuh perubahan sistemik. Butuh negara yang menjadikan syariat Islam sebagai dasar dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam memberantas miras dan penyakit masyarakat lainnya.
Jika kita ingin masyarakat yang bersih dari miras, narkoba, dan maksiat, maka kita wajib memperjuangkan tegaknya sistem Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Itulah satu-satunya sistem yang menjamin keamanan, ketertiban, dan keberkahan hidup umat manusia.
Tags
Opini