Parameter Standar Miskin dalam Kapitalisme


Oleh: HasanahFile


Baru-baru ini kesenjangan sosial mulai trend menjadi pusat perhatian di media sosial akibat dari adanya pengaruh global dalam sistem kapitalisme. Namun dalam pendekatan lebih akurat apa yang menyebabkan masyarakat dikatakan miskin dan kaya dalam sebuah parameter kehidupan bernegara?

"Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook (analisis proyeksi ekonomi dari grup world bank terhadap negara berkembang) edisi April 2025 menetapkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran kurang dari USD 6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari (kurs Rp16.606) tergolong sebagai kelompok miskin di negara berpendapatan menengah atas."
(www.liputan6.com 30/04/2025)

Angka tersebut cukup fantastis dalam menilai pengeluaran biaya perhari dengan tidak sepadannya gaji karyawan yang ada di Indonesia bila hanya mengandalkan UMR/UMK di Indonesia, akan didapati bahwa rata-rata masyarakat Indonesia tergolong tidak dapat mencukupi standar tersebut, bisa dipastikan bahwa Indonesia masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global. 

Namun apabila diperhatikan dengan seksama untuk menunjang gizi yang baik, memang angka tersebut dinyatakan sangat relavan untuk pertumbuhan minimum bagi satu keluarga menuju kesuksesan dalam segi kesehatan. Akan tetapi pada kenyataannya hanya sedikit segolongan/segelintiran masyarakat menengah yang dapat merasakannya. 

"Berdasarkan standar ini, sekitar 60 persen penduduk Indonesia, setara 171,9 juta jiwa, masih tergolong miskin. Meski begitu, jumlah tersebut mengalami penurunan tipis dari 61,8 persen pada tahun 2023" (www.liputan6.com 25/04/2025) 

Angka 61% mewakili simbolik bahwa ternyata masyarakat miskin telah mendominasi warganegara Indonesia. Yang lebih memprihatinkan lagi ketika skala nasional memakai ambang batas negara berpendapatan menengah bawah, yaitu USD 3,65 atau sekitar Rp60.600 per hari. Perbedaan standar kemiskinan inilah menjadi dampak dari penerapan sistem Kapitalisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial. 

Begitu banyaknya warga miskin di Indonesia yang masih tertinggal dengan gizi buruk seperti stunting di dalamnya.

"Berdasarkan laporan Tempo yang terbit pada 10 Januari 2025, angka stunting di Indonesia masih tergolong tinggi dengan prevalensi sebesar 21,5 persen. Stunting adalah gangguan tumbuh kembang anak akibat kekurangan gizi dan infeksi" (www.tempo.com 10/01/2025)

Anehnya pemerintah seolah menutupi hal tersebut dengan berdalih bahwa masyarakat di Indonesia termasuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas, setara dengan Malaysia dan Thailand.

Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti menuturkan jumlah penduduk miskin pada September 2024 sebesar 24,06 juta orang, menurun 1,16 juta orang terhadap Maret 2024 dan menurun 1,84 juta orang terhadap Maret 2023. “Persentase penduduk miskin perkotaan pada September 2024 sebesar 6,66 persen, menurun dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 7,09 persen,” kata Amalia dalam konferensi pers, Rabu (www.liputan6.com 15/1/2025).

Jauh panggang dari api begitulah pernyataan yang tepat dengan realitas yang ada. Dengan standar rendah, negara bisa mengklaim sukses "mengurangi kemiskinan", padahal itu hanya manipulasi angka untuk menarik investasi.

Sistem kapitalisme telah gagal dalam menyejahterakan rakyat, para elit global memainkan peranannya untuk mengulurkan bantuan dari mereka sebagai investor berdalih akan bisa membuat Indonesia sukses menuju Indonesia ke level menengah atas dengan persyaratan yang merugikan Indonesia.
Kapitalisme tak ubahnya hanya memberi makan pada mereka yang mempunyai suntik modal tertinggi, maka tak ayal bila para kapitalisme memonopoli berbagai macam kebijakan dan juga mencaplok sedikit demi sedikit area tanah, air dan api yang diinvestasikan ke asing dan aseng seperti PT freeport, PT krakatau steel dan masih banyak lagi. 

Sistem Ekonomi Islam adalah solusi tepat untuk mengentaskan kemiskinan. Tata kelola air, api dan tanah di regulasikan secara mandiri pada negara tanpa melibatkan korporasi atau investor. Yang dimana keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam tersebut akan didistribusikan kepada masyarakat secara menyeluruh dan maksimal. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi.
Bahkan ketika sayyidina umar bin Khattab (sahabat Rasulullah yang dicintai) ketika menjabat sebagai kepala negara dalam Islam ia tidak mau ada seekor kambingpun yang terperosok akibat jalan yang rusak dibawah kekuasaannya, bahkan sayyidina umar bin Khattab lah yang mengantarkan sekarung gandum dipundaknya ketika mendengar satu keluarga miskin yang sedang merintih kelaparan namun tidak ingin mengeluh kehadapan beliau. 

"Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Wallahu a'lam bi showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak