Oleh : Ummu Aqeela
Dugaan praktik penyimpangan dalam penyaluran bantuan usaha mencuat di salah satu desa di wilayah Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep. Bantuan berupa uang tunai sebesar Rp1.500.000 per penerima yang semestinya digunakan untuk modal usaha, justru diduga diperjualbelikan oleh pihak desa dengan cara memonopoli pembelanjaannya.
Berdasarkan informasi dari sejumlah penerima bantuan yang berhasil ditemui di lapangan, mereka hanya diminta mengambil uang bantuan ke bank lalu menyerahkannya kembali kepada pihak desa untuk dibelanjakan barang-barang tertentu seperti kompor, beras, tepung, dan perlengkapan lain yang telah ditentukan. Hal ini menimbulkan keresahan karena bantuan tersebut seyogianya digunakan sesuai kebutuhan masing-masing penerima.
Kisruh bantuan usaha di wilayah Kecamatan Bluto menjadi cerminan buruk tata kelola dana sosial di tingkat desa. Tanpa pengawasan ketat dan keterbukaan informasi, bantuan mudah diselewengkan. Masyarakat berharap agar pemerintah turun tangan menyelidiki dan menindak pihak yang terlibat. Warga yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru hanya menjadi objek dalam permainan distribusi bantuan yang tidak adil dan sarat manipulasi. Harapan akan pemerataan kesejahteraan sirna ketika bantuan hanya menjadi komoditas. (Terbitan.com, Senin 26 Mei 2025)
Lagi...dan lagi... berita korupsi seolah tiada henti di negeri ini. Pemberitaan media berjibun dan bergantian, hanya pelakunya yang bergantian dan beragam, mulai dari instansi atas sampai instansi bawah ada saja celahnya. Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit akut. Seperti kanker yang sudah mengakar kuat. Upaya mencabut hingga ke akar tampaknya tak kuat. Sebab, budaya dan pelaku korupsi tak sendiri. Mereka berjamaah dan saling melindungi.
Lalu, Apakah memang sistem saat ini yang menjadi biang keladi? Atau sebaliknya individunya yang salah, sementara sistemnya baik-baik saja? Lantas, apa sebenarnya akar korupsi di negeri ini?
Sistem politik pilihan Indonesia memberikan konsekuensi logis. Siapapun yang ingin duduk di kursi kekuasaan, maka jalan mulusnya dengan asas keuangan. Partai politik yang menjadi kendaraan tak serta-merta memberikan tiket gratis. Ada harga yang harus dibayar untuk bisa berlabuh di kekuasaan. Take and given ini memang tak semata materi. Bisa juga janji-janji dan kepentingan lainnya untuk menempatkan orang-orang pilihan. Hal lumrah dan jamak diketahui publik terkait tukar guling jabatan demi hasrat kekuasaan.
Jika uang dijadikan segala-galanya untuk naik kekuasaan, tak ayal ini mengonfirmasi bahwa sistem politik demokrasi begitu korup. Hasilnya, tumbuh subur praktik korupsi dengan ragam caranya. Penyelewengan kekuasaan membuka ruang untuk suap, terutama kaitannya dengan pengurusan anggaran, pengesahan dan pembahasan anggaran. Praktik korupsi dan suap tak hanya terjadi dalam legislatif, tetapi juga menyasar eksekutif dan yudikatif. Sungguh sistem politik demokrasi inilah yang telah memberikan celah bertindak korupsi. Tak malu lagi korupsi dilakukan berjamaah dan saling membantu menutupi masalahnya.
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab itu tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.
Islam tidak sekadar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan. Khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara (khalifah) diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintah sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariah Islam.
Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qana’ah dengan pemberian Allah, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Bukan dunia tujuannya, tetapi ridha Allah dan pahala menjadi standarnya. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanya sarana untuk ‘izzul Islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
Jelas, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanah. Amanah kekuasaan bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Penanggulangan tuntas terhadap korupsi tidak bisa dengan sekadar kata-kata, tetapi harus dengan sanksi tegas yang membuat jera. Dalam sistem sekuler demokrasi saat ini, hal itu jelas mustahil karena landasan sistemnya adalah sekularisme yang melahirkan tata aturan sekuler dan liberal yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Oleh karenanya korupsi pun sulit dibendung karena sistem kehidupannya memang mendukung.
Maka solusinya hanya satu, mengembalikan aturan agama untuk mengatur kehidupan manusia, yaitu Islam kaffah dalam bingkai Khilafah, sehingga sistem pengaturnya maupun manusia yang menjalankannya, layaknya belahan jiwa yang saling bekerjasama.
Wallahu’alam bishshowab.
