Fantasi Sedarah, Runtuhnya Benteng Keluarga dalam Negara Sekuler




Oleh Ummu Habibi 
(Muslimah Peduli Generasi)

Baru-baru ini terkuak di publik grup menjijikan di Facebook terkait penyimpangan seksual yang mengarah pada hubungan sedarah atau inces. Diketahui fanpage tersebut bernama 'Fantasi Sedarah' yang kemudian berganti nama menjadi 'Suka Duka' dan telah beranggota puluhan ribu orang. Sungguh mengoyak naluri dan akal sehat ketika ada segerombolan manusia yang bukan hanya memiliki orientasi seksual menyimpang, tapi juga berani membagikan perbincangan soal perbuatan yang menjijikan seputar pemenuhan hasrat seksual terhadap anggota keluarga bahkan pada balita yang merupakan darah dagingnya sendiri. 

Benar saja, viralnya fenomena ini menyusul pula kasus penemuan mayat bayi melalui jasa ojek online di kota Medan. Setelah ditangkap kedua pelaku ternyata merupakan kakak beradik yang telah melakukan hubungan sedarah hingga berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan. Ibarat gunung es yang hanya nampak dipermukaan, entah berapa banyak kasus serupa yang tak diangkat di media. 

Mirisnya lagi, 'grup maksiat' seperti ini bukan hanya satu. Marak juga grup-grup amoral lainnya seperti grup pedofilia, eljibiti alias kaum pelangi sodom, hingga grup swinger, yakni fantasi seksual yang dilakukan suami istri dengan cara saling bertukar pasangan. Na'udzubillah 

Terkait grup swinger misalnya, pada Januari 2025, heboh penemuan web yang beranggotakan lebih dari 17.732 orang. Mereka diketahui sudah melakukan aktivitas pesta seks selama 10 kali dalam setahun di wilayah Bali hingga Jakarta. Keberadaan mereka terungkap saat inisiatornya menyebar undangan pesta seks dan diam-diam menjual video swinger party tanpa sepengetahuan para pesertanya.

Sejatinya, apa yang kita lihat di dunia maya saat ini merupakan refleksi dari apa yang terjadi di dunia nyata. Mereka yang terhimpun di dunia maya kemungkinan hanya sebagian kecil dari mereka yang berkeliaran di dunia nyata. Relasi mereka perlahan tapi pasti menyusup memengaruhi ruang kehidupan masyarakat hingga nyaris dianggap sebagai sebuah “budaya yang normal”.

Hakikat keluarga dalam pandangan mereka sudah benar-benar kehilangan makna. Relasi mulia antara anak dan orang tua yang sangat dijaga dalam Islam, makna silaturahmi dalam persaudaraan antara adik dan kakak, juga antar kerabat dengan kerabat yang lain, serta ikatan perjanjian sakral antara suami dan istri, semua itu sudah terkoyak-koyak oleh dorongan syahwat dan fantasi liar yang kian tidak bisa dikendalikan melebihi binatang. 

Begitu pun dengan fitrah laki-laki dan perempuan yang pada dasarnya Allah ciptakan untuk melestarikan eksistensi manusia, dan memuliakan kehormatan nya makin lama makin pudar akibat hilangnya akal oleh gaya hidup liar yang mencampakkan agama dari kehidupan.

Jika semua yang terjadi ini terus dibiarkan ada, lantas apa yang akan tersisa untuk masa depan? Bukan hanya benteng pertahanan keluarga yang ada di ambang kehancuran, melainkan bangunan masyarakat, negara, bahkan peradaban manusia akan runtuh digantikan peradaban layaknya binatang yang hidup tanpa aturan dan moral.

Dalam sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan ini, negara melalui pemimpinnya kehilangan kekuatan peran untuk mengurus dan menjaga rakyatnya. Negara dalam sistem ini memang di-setting hanya berfungsi sebagai pelayan bagi kepentingan orang-orang yang punya modal dan juga kepentingan negara-negara besar. Akibatnya negara membatasi agama dan moral menjadi sebatas ranah individual. Sedangkan dalam urusan publik kemasyarakatan, negara mengharamkan campur tangan agama karena dipandang tidak sesuai dalam berbagai aturan dan kebidengan spirit kemajuan dan hak asasi manusia.

Semua itu terkontruksi pada berbagai aturan yang diterapkan negara. Sistem politiknya begitu sarat dengan intrik dan sikap hipokrit. Sistem ekonominya begitu zalim dan eksploitatif. Sistem sosialnya begitu bebas dan serba permisif. Sistem hukumnya begitu mandul mencegah kerusakan dan sangat diskriminatif. Sistem hankamnya pun begitu lemah dan mudah diintervensi. Sementara itu, sistem pendidikannya begitu sarat kapitalisasi sekaligus minus dari nilai-nilai agama dan akhlak yang terpuji. Sungguh komplikatif dan kondisi yang sangat bobrok.

Itu akibatnya jika jauh dari aturan Allah SWT. Sebagaimana dalam firman-Nya, 
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Thaha: 124).

Sungguh, sistem kehidupan rusak yang sedang kita lihat sekarang sudah menampakkan kebobrokannya. Umat pun sudah merasakan dampak buruk yang menjauhkan mereka dari rahmatan lil'alamin, baik di dunia dan akhirat.

Tentu saja penghidupan yang sempit seperti ini sejatinya bukan habitat asli bagi kaum muslim sebab Allah SWT sendiri yang mengatakan bahwa kita umat Muslim adalah umat terbaik di muka bumi ini ketika aktivitas amar makruf nahi mungkar sentiasa terlaksana. Sebagaimana dulu saat belasan abad umat Islam hidup dalam sistem kepemimpinan Islam, yakni Khilafah, mereka tampil sebagai khairu ummah dengan peradabannya yang begitu mulia dan mencengangkan bagi bangsa-bangsa lainnya.

Betapa tidak, kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh semua orang. Kehidupan masyarakat pun begitu sarat dengan hikmat dan kebaikan. Begitu pun dengan bangunan keluarga, tampak begitu kokoh penuh samawa sekaligus mampu berfungsi sebagai pabrik pencetak generasi cemerlang.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengambil peran untuk terlibat dalam perubahan, baik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta alam maupun pada anak-cucu atau generasi mendatang. Wallahua'lam bish-shawwab []

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak