Oleh : Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
Lagi-lagi nyawa rakyat kecil melayang di jalan raya. Kali ini, korban adalah seorang siswi SMK di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Ia meregang nyawa setelah terlindas truk tambang saat hendak mendahului dari sisi kanan jalan. Tragis, sebab ia hanyalah pelajar biasa, yang barangkali sedang dalam perjalanan menuntut ilmu. Namun, yang ia temui justru ajal akibat aktivitas tambang yang tak kunjung diatur dengan serius.
Peristiwa memilukan ini bukan kejadian pertama. Warga Rumpin dan wilayah sekitarnya sudah lama bersuara tentang maraknya truk tambang yang lalu lalang di jalan-jalan pemukiman. Mereka hidup berdampingan—bukan dengan kenyamanan, tapi dengan ketakutan. Ketakutan akan debu yang menyesakkan, jalan rusak, dan truk-truk raksasa yang bisa jadi pembunuh sewaktu-waktu. (bogor-kita, 16-05-2025)
Mirisnya, suara rakyat seperti masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Meski sudah ada Peraturan Bupati Bogor No. 160 Tahun 2023 tentang pengaturan jam operasional truk tambang, kenyataannya pelanggaran terus terjadi. Bahkan, jalan umum tetap dipakai sebagai jalur utama tambang. Janji Gubernur pun tak kunjung terwujud, sementara truk terus melaju, dan korban terus berjatuhan.
Antara Bisnis dan Nyawa
Kita harus jujur mengatakan bahwa dalam sistem hari ini, bisnis tambang lebih diprioritaskan daripada keselamatan rakyat. Pengusaha tambang diuntungkan, sementara rakyat menanggung risiko. Pemerintah seolah terjebak dalam dua kutub: ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi, tapi tak mampu melindungi warganya. Maka rakyat pun dibiarkan berdamai dengan kerusakan infrastruktur, pencemaran lingkungan, dan nyawa yang menjadi taruhan.
Pertanyaannya, sampai kapan nyawa rakyat dikorbankan atas nama investasi dan ekonomi?
Solusi Tambal Sulam
Setiap kali terjadi kecelakaan, solusinya tak jauh dari imbauan, razia, atau revisi peraturan. Namun semua itu bersifat sementara. Bahkan Perbup yang ada pun kerap diabaikan karena lemahnya pengawasan dan minimnya sanksi. Tak heran, masyarakat semakin frustrasi dan kecewa.
Sesungguhnya, solusi yang ditawarkan negara sekuler hari ini tidak menyentuh akar masalah. Mengapa? Karena sistem kapitalisme yang dianut hanya memandang segala sesuatu dari sisi materi dan keuntungan. Dalam paradigma ini, kebijakan publik bukan ditimbang dari kemaslahatan rakyat secara menyeluruh, melainkan dari seberapa besar manfaat ekonomis yang bisa diperoleh negara atau korporasi.
Saatnya Berpaling ke Syariah Islam
Tragedi seperti ini seharusnya menjadi bahan renungan mendalam: mengapa negara yang katanya demokratis dan berorientasi pada rakyat justru gagal melindungi nyawa warganya? Mungkin karena kita terlalu lama berpaling dari aturan Sang Pencipta. Padahal, Islam memiliki sistem menyeluruh yang memuliakan nyawa manusia, mengatur kepemilikan, hingga mengelola sumber daya alam dengan adil.
Dalam Islam, keselamatan jiwa merupakan prioritas. Rasulullah SAW bersabda: “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Tirmidzi). Maka dalam sistem Islam, tidak mungkin truk tambang dibiarkan bebas berkeliaran di jalan umum tanpa pengaturan ketat atau jalur khusus. Negara wajib membuat infrastruktur yang memadai demi keselamatan publik, bukan menunggu rakyat berteriak baru bergerak.
Islam juga mengatur tambang sebagai bagian dari kepemilikan umum. Maka, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta yang hanya mencari untung. Negara bertanggung jawab langsung untuk mengelolanya dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat—termasuk membangun jalur tambang khusus, memperbaiki jalan rusak, serta menjamin kesehatan warga dari dampak debu dan polusi.
Negara Pelayan, Bukan Pedagang
Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Ini bukan sekadar slogan, melainkan mandat syar’i. Pemimpin dalam Islam bukan ‘pedagang kebijakan’ yang menjual kepentingan publik demi investor, tetapi pelayan yang bertanggung jawab di hadapan Allah SWT atas setiap nyawa yang hilang.
Karenanya, jika negeri ini ingin benar-benar terbebas dari tragedi kemanusiaan akibat tambang atau industri lain, maka harus ada perubahan mendasar dalam sistem yang menaungi kehidupan kita. Sudah saatnya kita meninggalkan sistem kapitalis yang menomorduakan keselamatan rakyat dan kembali pada sistem Islam yang menempatkan nyawa manusia di posisi tertinggi.
Tragedi yang Menyeret Pertanggungjawaban
Meninggalnya siswi SMK di Rumpin bukan sekadar kecelakaan lalu lintas. Ia adalah potret kegagalan sistemik. Dan setiap tragedi semacam ini akan menjadi catatan di hadapan Allah, tentang bagaimana kita, baik sebagai rakyat maupun penguasa, telah mengelola amanah kehidupan.
Mari hentikan tragedi demi tragedi. Sudah cukup rakyat menjadi korban sistem yang timpang. Saatnya kita berjuang untuk perubahan hakiki: menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dalam naungan negara yang benar, yaitu Khilafah Islamiyah. Hanya dengan itulah, keadilan bisa ditegakkan, keselamatan dijamin, dan nyawa manusia benar-benar dihargai.
Tags
Opini