Empat Balita Meninggal Terbakar: ini Bukan Kecelakaan, ini Kelalaian Sistemik




Oleh: N. Vera Khairunnisa



Tragedi meninggalnya empat balita dengan cara yang mengenaskan telah menyita perhatian publik baru-baru ini. Sebagian pihak memberi teguran keras dan hujatan yang begitu menohok pada sang ibu. Hal ini lantaran mereka kesal dengan keputusan sang ibu yang meninggalkan anak-anaknya yang masih balita, dikunci dari luar tanpa ada pengawasan. Yang lebih bikin emosi, ibu tersebut keluar bersama pacarnya selama berjam-jam!

Namun, sebagian lain justru ada yang meminta agar jangan terlalu menghakimi, menyudutkan, apalagi menghujat dan mencaci dengan begitu keras. Mereka bilang bahwa kita juga harus berempati terhadap si ibu. Terlebih setelah beredar postingan sang ibu yang menunjukkan penyesalan atas perbuatannya dan terpukul dengan kepergian buah hati.

Padahal, kalau kita mau melihat dengan kaca mata nurani yang lebih jernih, tentu kita pun pasti menyayangkan apa yang sudah dilakukan sang ibu. Meninggalkan balita dalam waktu yang cukup lama, merupakan bentuk kelalaian dan meremehkan urusan kewajiban penjagaan buah hati. Terlebih keluar dengan ditemani pacar, menunjukkan gaya hidup sang ibu yang bebas.

Namun, menyalahkan satu individu semata tidak akan membawa kita pada penyelesaian. Sebab tragedi ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus pengabaian anak yang terus berulang. Kita sudah terlalu sering mendengar berita balita dianiaya, dibuang, bahkan dibunuh. Bahkan, tragedi memilukan akibat kelalaian sang ibu juga pernah terjadi di Ohio, Amerika Serikat (AS), seorang bayi tewas setelah ditinggal ibunya, selama 10 hari di rumah. Ironisnya, ibunya pergi selama itu hanya untuk liburan.

Mengapa bisa terus terjadi? Karena kita hidup dalam sistem yang gagal melindungi institusi keluarga. Gagal menjaga peran ibu sebagai pendidik dan pelindung. Gagal menghadirkan lingkungan masyarakat yang saling mengingatkan. Bahkan gagal menyediakan negara yang menjamin pengasuhan aman dan berkualitas untuk generasi penerusnya.

Sistem sekular-liberal telah meracuni cara pandang perempuan terhadap hidup, termasuk dalam menjalani peran sebagai ibu. Perempuan didorong untuk bebas, lepas dari aturan agama, dan memandang anak sebagai beban bukan karunia. Akibatnya, banyak ibu yang kehilangan arah, terjebak dalam relasi tanpa pernikahan sah, hidup dalam tekanan, dan akhirnya abai terhadap amanah yang paling agung: anak-anak.

Sebuah riset dari BKKBN tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 50% keluarga di Indonesia mengalami ketidakharmonisan, dan mayoritas di antaranya adalah keluarga dengan ibu sebagai single parent karena perceraian, kemiskinan, atau hubungan di luar nikah. Ini adalah bom waktu yang terus meledakkan generasi kita dalam bentuk kenakalan remaja, depresi anak, hingga tragedi pengabaian seperti yang terjadi pada empat balita itu.

Sementara itu, Dr. Adian Husaini, dalam bukunya Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang dan Beradab, menulis, “Kegagalan membentuk keluarga Islami adalah buah dari sistem sekular-liberal yang mengeluarkan agama dari kebijakan publik. Maka jangan heran jika anak-anak kita tumbuh tanpa arah, karena negara pun tidak hadir secara utuh untuk menjaga mereka.”

Maka, solusi tak cukup hanya berhenti pada teguran personal atau simpati emosional. Diperlukan perubahan yang lebih mendasar: mengubah sistem yang melahirkan krisis ini. Di sinilah Islam hadir bukan sekadar sebagai ajaran pribadi, tetapi sebagai sistem kehidupan yang menyelamatkan.

Islam memiliki solusi yang hakiki. Dalam pandangan Islam, seorang ibu memiliki kewajiban untuk mengasuh anak-anak, bahkan bukan hanya pengasuh fisik, tapi juga wajib menjadi penjaga akidah anak-anaknya. Karena itu, Islam menempatkan keluarga dalam posisi sentral. Suami wajib menafkahi dan membimbing istri. Masyarakat wajib saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan negara wajib menjamin sistem sosial dan ekonomi yang mendukung keberlangsungan keluarga.

Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…"
(QS. At-Tahrim: 6)

Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab menjaga keluarga adalah tugas utama yang tak bisa ditawar. Keluarga harus menjadi benteng pertama dalam mendidik, melindungi, dan menumbuhkan generasi yang bertakwa.

Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang ibu adalah pemimpin di rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam Islam, tidak akan ada perempuan yang dibiarkan menjadi ibu tunggal tanpa perlindungan. Tidak ada anak yang dibiarkan tanpa pengawasan. Tidak ada kebebasan yang mengorbankan amanah. Sebab, hidup ini bukan sekadar urusan perut dan cinta, tapi soal pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Empat balita telah pergi. Mereka tak bisa lagi bersuara. Tapi kita yang hidup hari ini punya tanggung jawab: untuk menyuarakan kebenaran. Untuk menolak normalisasi kelalaian. Untuk tidak memaklumi pengabaian atas anak-anak. Dan untuk memperjuangkan sistem hidup yang menempatkan amanah di atas segalanya.

Jangan biarkan tragedi ini berlalu tanpa perubahan. Bangkitlah, para ibu. Bangkitlah, para ayah. Bangkitlah, para pendidik dan pejuang dakwah. Waktunya menyatukan suara dan langkah, memperjuangkan sistem yang menjamin setiap anak tumbuh dalam pengasuhan yang utuh. Sistem yang menjadikan ibu sebagai pilar, bukan korban. Sistem yang memuliakan keluarga, bukan merobohkannya demi kebebasan semu. Dan sistem itu hanya ada dalam Islam.

Empat anak sudah mati. Jangan biarkan kita ikut mati rasa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak