Tarif Impor Trump: Potret Bobroknya Kapitalisme



Oleh: Saffana Afra
 (Aktivis Mahasiswa)



Pada Rabu, 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengejutkan dunia dengan pengumuman kebijakan tarif impor baru yang dapat memengaruhi ekonomi global. Dalam pidatonya, Trump menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari “Liberation Day”, sebuah langkah revolusioner untuk membebaskan ekonomi Amerika dari ketergantungan pada impor. Tarif impor yang dikenakan oleh Amerika Serikat ini tidak hanya berpotensi mengganggu perekonomian global, tetapi juga mencerminkan kecenderungan agresif negara adidaya tersebut untuk mendominasi pasar internasional (hukumonline.com, 07/04).

Trump mengklaim bahwa langkah ini akan mendukung ekonomi domestik Amerika, memaksa perusahaan-perusahaan untuk memindahkan aktivitas manufakturnya kembali ke Amerika Serikat. Kebijakan ini juga bertujuan memberi hukuman kepada perusahaan yang memproduksi barang di luar negeri dan mengimpor barang-barang tersebut ke Amerika. Kebijakan ini dipandang sebagai cara untuk melindungi industri dalam negeri dan memperkuat posisi Amerika Serikat di pasar global (hukumonline.com, 07/04).

Salah satu dampak langsung yang dirasakan oleh negara-negara yang tergantung pada perdagangan dengan Amerika Serikat adalah peningkatan bea masuk untuk barang ekspor mereka dengan nama tarif timbal balik (Reciprocal Tariffs). Indonesia, misalnya, yang mengandalkan ekspor ke Amerika Serikat untuk berbagai produk, kini dikenakan bea masuk sebesar 32 persen. Tarif yang tinggi ini jelas akan menjadi pukulan besar bagi perekonomian Indonesia, yang dapat memengaruhi daya saing produk lokal di pasar internasional (tempo.co, 05/04)

Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diprediksi akan mengalami pelemahan yang lebih signifikan dalam jangka pendek. Pelemahan nilai tukar ini berpotensi memperburuk inflasi domestik dan memengaruhi daya beli masyarakat Indonesia. Sementara selama ini, Amerika merupakan negara tujuan eskpor terbesar kedua setelah China. Hal itulah yang berpotensi menyebabkan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Dampak yang lebih luas dari kebijakan ini adalah ketidakstabilan harga emas, yang cenderung dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar mata uang dan kebijakan moneter global. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kemungkinan besar akan merasakan efek negatif yang lebih besar (tempo.co, 05/04).

Kebijakan tarif ini menegaskan bahwa kapitalisme global selalu memprioritaskan keuntungan pemilik modal di atas kesejahteraan global. Amerika Serikat, dengan kekuatan ekonomi dan politiknya, berusaha memaksimalkan keuntungan mereka meskipun kebijakan ini dapat merugikan negara lain. “ Ini adalah waktu yang tepat untuk menjadi kaya, dan lebih kaya dari sebelumnya!” tulis Trump di platform Truth Social-nya. Hal ini semakin memperjelas bagaimana sistem ekonomi kapitalisme yang bobrok dapat menimbulkan ketidakadilan global dan memperburuk ketimpangan ekonomi antara negara-negara maju dan negara berkembang.

Tarif Impor Trump menunjukkan karakteristik dasar kapitalisme yang mengagungkan keuntungan. Sistem kapitalisme dengan asa kebebasannya, di mana setiap individu atau negara berusaha untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kekayaan dan keuntungan. Dalam banyak kasus, hal ini dilakukan tanpa memperhatikan kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan pada negara atau masyarakat lain.
Di Amerika Serikat, kebijakan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat ekonomi domestik dan meningkatkan kemandirian dalam produksi barang. Namun, pada sisi lain, negara-negara yang bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat terpaksa menghadapi tarif yang lebih tinggi, yang pada gilirannya dapat merugikan industri mereka dan memperburuk ketidaksetaraan ekonomi global.

Ketidakadilan ekonomi global yang terjadi dalam sistem kapitalisme ini terlihat jelas ketika negara-negara berkembang seperti Indonesia harus menanggung biaya tinggi untuk ekspor mereka, sementara negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, dapat lebih bebas mengambil kebijakan yang menguntungkan mereka sendiri tanpa memperhatikan dampaknya pada negara lain.

Sangat berbeda dengan Islam. Sistem ekonomi Islam menawarkan pendekatan yang lebih adil dan berkelanjutan. Dalam Islam, tujuan utama ekonomi bukanlah untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, tetapi untuk menjamin kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mengajarkan bahwa segala aturan dalam kehidupan, termasuk ekonomi, bertujuan untuk memberikan manfaat dan kebaikan bagi semua pihak, baik individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Dalam sistem ekonomi Islam, perekonomian dijalankan dengan prinsip keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan sosial yang menjamin hak-hak semua pihak, baik itu individu, kelompok, maupun negara.

Sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam negara Khilafah, tidak akan memperkaya satu pihak sementara yang lain menderita. Sebaliknya, seluruh masyarakat bekerja untuk kesejahteraan bersama, dengan negara bertanggung jawab memastikan bahwa hak setiap individu dipenuhi. Indikator kesejahteraan masyarakat juga tinggi, yaitu terpenuhinya sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan tiap individunya. Negara akan mengelola sumber daya alam yang dimiliki negara dengan maksimal dan mengembalikan keuntungannya kepada rakyat.

Perdagangan internasional dalam sistem ekonomi Islam pun juga diatur. Import hanya dilakukan jika kebutuhan produksi dalam negeri tidak dapat dipenuhi, dan sebisa mungkin negara tidak bergantung pada impor dari negara asing. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kemandirian ekonomi negara dan memastikan bahwa perekonomian tidak tergantung pada pihak lain. Dan ekspor dilakukan ketika negara memiliki sumber daya alam yang melimpah dan surplus produksi yang dapat dijual ke negara lain. Selain itu, ekspor juga berfungsi sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia. Oleh karena itu, kegiatan ekspor tidak hanya bertujuan untuk meraih keuntungan materi, tetapi juga untuk menyebarkan nilai-nilai positif dan universal yang terkandung dalam ajaran Islam.

Penerapan sistem ekonomi Islam dalam negara Khilafah akan menciptakan perekonomian yang sangat kuat dan tidak tergantung pada negara-negara asing. Dengan mengelola sumber daya alam secara bijaksana, kebijakan perdagangan yang adil, dan fokus pada kesejahteraan rakyat, negara Khilafah dapat menghindari krisis ekonomi yang disebabkan oleh fluktuasi nilai tukar atau ketergantungan pada impor.

Salah satu keuntungan utama dari sistem ini adalah bahwa inflasi yang disebabkan oleh fluktuasi nilai tukar atau kebijakan moneter negara-negara besar seperti Amerika Serikat dapat dihindari. Negara Khilafah akan memastikan bahwa neraca perdagangan tetap seimbang dan tidak akan pernah mengalami defisit akibat ketergantungan pada valuta asing atau perubahan kebijakan tarif internasional.

Menjadi penting bagi kaum muslim untuk mengembalikan sistem Islam dalam institusi Khilafah. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, politik perdagangan luar negeri ditujukan untuk menjaga stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak