Kekerasan Seksual Mengintai Dunia Pendidikan







Oleh : Watini (Pegiat Literasi)

Predator seksual nyatanya bukan hanya mengintai ranah sosial masyarakat, tapi juga pada ranah pendidikan. Bahkan pelakunya merupakan seorang intelektual yang disegani. Tentu ini menjadi awan hitam yang menyelimuti dunia pendidikan. Padahal dunia pendidikan sudahlah gelap dengan berbagai polemiknya. Mulai dari perundungan, penganiayaan hingga kekerasan fisik yang masih jadi PR utama bagi negeri ini.

Belum lama ini, Rektor UGM memecat Guru Besar Fakultas Farmasi berinisal EM. Sebab terbukti melakukan kekerasan seksual pada sejumlah mahasiswanya. Hasil pemeriksaan menyatakan EM bersalah karena melanggar peraturan rektor dan kode etik dosen. Pemecatan EM ditetapkan melalui Keputusan Rektor UGM Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tertanggal 20 Januari 2025. Sebanyak 13 korban dan saksi diperiksa komite dalam proses pemeriksaan silang dengan terlapor. Tindakan kekerasan seksual dilakukan dengan modus pendekatan akademik, seperti bimbingan skripsi, tesis, disertasi yang dilakukan di luar kampus (radarbali.jawapos.com,09-04-2025)

Maraknya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan tinggi tentu menjadi catatan merah. Mengingat kampus merupakan tempat bagi orang-orang terpelajar dan seharusnya kasus seperti ini bisa terminimalisir. Apalagi melihat sosok yang harusnya memiliki tugas mulia sebagai pendidik, pembina dan pembimbing generasi justru menjadi predator seksual. Tak ada lagi nilai moral dan akhlak yang dijunjung tinggi. Tersisa hanyalah individu tak beradab.

Ini bukan lagi hanya masalah individu/oknum yang bejat, tetapi sudah masuk ranah sistem yang rusak. Seperti diketahui bahwa sistem hari ini berkiblat pada sistem sekuler liberal. Sistem yang nyatanya telah menghasilkan pemikiran liberal yang menjunjung kebebasan berekspresi. Prinsip kebebasan ini telah memberikan celah bagi setiap individu untuk berbuat sesuka hati. Apalagi dalam sistem ini agama tak lagi dijadikan pedoman, sehingga mudah bagi siapa pun untuk melakukan kekerasan atau pelecehan seksual.

Selain sistem sekuler yang gagal membentuk ketakwaaan, sistem sanksi yang selama ini menjadi regulasi dalam penanganan belum memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Alhasil, pelaku kekerasan seksual kian meluas dari berbagai kalangan dengan modus bermacam-macam. Di sisi lain, sanksi ini tidak bisa mengganti trauma korban akibat pelecehan seksual dan pelaku masih berpeluang melakukan hal serupa. Lantas, bagaimana solusi Islam atas hal ini?

Sistem Islam memiliki seperangkat aturan khas yang mengatur sistem sosial dan pergaulan secara paripurna. Islam juga memiliki langkah/sistem sanksi yang berefek jera dan menutup celah terulangnya kasus serupa.
Langkah-langkah itu antara lain :
Pertama, memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat dan menjaga kemaluan mereka. Islam memerintahkan perempuan untuk menggunakan pakaian syar’i berupa jilbab (gamis) (lihat QS Al-Ahzab: 59) dan menggunakan khimar (QS An-Nuur: 31). Melengkapi perintah ini, Allah pun memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjaga pandangan.

Kedua, Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah sekali-kali bersendirian dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad). 

Ketiga, negara adalah bagian dari sistem pendidikan yang ada. Oleh karena itu, negara memiliki peran strategis untuk mengontrol ketat seluruh tayangan maupun materi pemberitaan media. Kita bisa lihat begitu mudahnya masyarakat sekarang mengakses situs-situs porno yang menayangkan adegan tidak senonoh. Teror tayangan inilah yang menjadi stimulus para pelaku, lalu melampiaskan syahwatnya melalui  pemerkosaan, pelecehan seksual, dan sejenisnya.

Keempat, dalam Islam, pelaku pelecehan seksual wajib mendapat hukuman karena kekerasan seksual semisal pemerkosaan dan kriminalitas sejenisnya dengan hukuman setimpal sesuai syariat Islam. Bentuknya pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah. Sanksi (uqubat) pertama bagi pemerkosa (al-mughtashib) adalah berupa had zina. Bagi ghayru muhsan dengan 100 kali cambuk, sedangkan muhsan/telah menikah berupa hukuman rajam.

Selain itu, sanksinya dapat berupa pembayaran shodaqu mitsliha oleh pelaku. Berkata Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa ,yang artinya, “Hukuman menurut kami bagi laki-laki (pemerkosa) yang memperkosa wanita, baik dia perawan maupun janda adalah jika korban itu wanita merdeka, pemerkosa itu wajib membayar shadaaqu mitslihaa (mahar untuk wanita yang semisal korban). Jika korbannya budak, maharnya berkurang sesuai harga budak. Hukuman perkosaan ini adalah hanya untuk pemerkosa dan tidak ada hukuman untuk yang diperkosa.” (Imam Maliki, Al-Muwaththa, 11/734). 

Demikianlah upaya dalam Islam untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual. Sistem hukum Islam tidak hanya mencegah berulangnya kasus, tetapi juga mewujudkan sistem sosial dan pergaulan yang sehat dan aman bagi masyarakat. Di sisi lain, sistem sanksi yang tegas akan mewujudkan efek jera bagi pelaku, memastikan terwujudnya keadilan bagi korban, hingga menutup celah hadirnya pelaku dengan kasus serupa. Oleh karena itu, agar dunia pendidikan tidak lagi gelap, Islam harus menjadi solusi mendasar dalam pendidikan serta sistem lainnya, yakni penerapan sistem Islam secara kafah dalam bingkai negara Khilafah. 
Wallahu a'lam bish-shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak