Anak-Anak Gaza Merana, Butuh Peran Kita




Fathimah A. S. 
(Aktivis Dakwah Kampus)



Genosida Israel di Gaza telah menciptakan krisis anak yatim terbesar dalam sejarah modern! Dalam pernyataan yang dikeluarkan menjelang Hari Anak Palestina, Biro Statistik Palestina mencatat bahwa 39.384 anak telah menjadi yatim atau yatim piatu sepanjang Oktober 2023 hingga Maret 2025. "Anak-anak ini hidup dalam kondisi yang memilukan. Mereka terpaksa berlindung di tenda-tenda robek atau reruntuhan rumah, tanpa akses pada perawatan sosial maupun dukungan psikologis," ungkap Biro Statistik Palestina. 

Bahkan, menurut kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini, mengutip UNICEF pada Jumat (4/4), kurang lebih 100 anak Palestina tewas atau terluka setiap harinya. 

Penderitaan mereka begitu mengiris hati. Hampir 18.000 anak tewas, termasuk ratusan bayi. Tak hanya karena luka fisik, namun juga akibat kedinginan, kelaparan, dan kekurangan gizi sistematis. Genosida ini tidak hanya merenggut orang tua mereka, tapi juga masa kecil, rasa aman, dan masa depan mereka (mediaindonesia.com, 5/4/2025).

Dalam kondisi tersebut, Israel juga menutup titik-titik penyeberangan perbatasan yang vital dan melarang masuknya bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, termasuk tepung, bahan bakar, dan pasokan medis ke Jalur Gaza.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Seluruh fakta kejam ini terjadi ditengah berbagai narasi tentang HAM dan beragam aturan internasional serta perangkat hukum terkait perlindungan dan pemenuhan hak anak. Misalnya saja, Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 20 November 1989 yang kemudian juga diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, didalamnya memuat komitmen untuk melindungi anak, termasuk hak untuk hidup, bertahan hidup, dan berkembang. Anak juga berhak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan perlindungan. Akan tetapi faktanya, aturan-aturan tersebut tak mampu menghentikan apalagi mencegah penderitaan anak-anak Palestina.

Dunia internasional seolah menutup mata atas kebiadaban Israel. Mereka hanya memberi kecaman dan stigma buruk pada Israel, namun tanpa ada tindakan riil menghentikan serangan, termasuk menyelamatkan anak-anak Palestina. Bahkan, sikap negeri-negeri muslim juga tidak jauh berbeda. Para pemimpin negeri-negeri muslim yang sejatinya memiliki tentara-tentara kuat, faktanya hanya diam dan mencukupkan diri dengan kecaman dan seruan agar genosida Israel dihentikan. 

Bahkan, solusi dua negara atau solusi damai yang digaungkan sebagai jalan tengah oleh dunia internasional, nyatanya tidak membuahkan hasil. Beragam perundingan telah disusun untuk mendamaikan kedua belah pihak. Mulai dari Perjanjian Oslo I (1993), Perjanjian Oslo II (1995), Perjanjian Camp David (2000), bahkan yang terbaru adalah gencatan senjata di bulan Januari kemarin, nyatanya tetap berakhir sama, yaitu pelanggaran perjanjian oleh Israel. 

Selain itu, solusi dua negara tak dapat dianggap sebagai solusi hakiki, karena tidak membawa keadilan pada rakyat Palestina. Beragam perjanjian disusun, tapi tidak memberi peluang bagi Palestina untuk memperoleh kembali tanah dan tempat tinggalnya. Sebaliknya, berbagai perundingan ini justru semakin memberi peluang kepada “perampok” tanah Palestina untuk memperluas wilayah jarahannya. Alhasil, Israel semakin percaya diri melanjutkan genosida terlebih lagi dengan dukungan Amerika Serikat melalui bantuan dana dan persenjataan. 

Demikianlah fakta dunia internasional hari ini. Masihkah kita berharap pada mereka? Lantas, mau dikemanakan nasib anak-anak Palestina? Sudah puluh ribuan nyawa anak-anak melayang akibat keserakahan entitas tertentu. Tidakkah kita, manusia-manusia dewasa ini malu karena telah merenggut kehidupan anak-anak Palestina? Ini adalah “the biggest genocide in the world,” tetapi seluruh dunia bersikap abai. Tak hanya Israel, namun juga AS sebagai negara adidaya kapitalisme hari ini merupakan pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya ratusan ribu nyawa warga Palestina. 

Misi Menyelamatkan Palestina

Jika kita mau berkaca pada sejarah, sejatinya Palestina merupakan tanah yang diberkahi. Para generasi muslim terdahulu selalu berusaha menyelamatkan tanah tersebut. Khalifah Umar bin Khaththab ra. telah berhasil membebaskan Tanah Palestina pada 15 H, sehingga Palestina berada dalam kekuasaan Islam. Salahuddin Al-Ayyubi juga kembali membebaskan Palestina kembali ke tangan kaum muslim pada 582 H / 1187 M. Bahkan, Khalifah Sultan Abdul Hamid II pada 1902 M juga menolak tegas Theodor Herzl yang berupaya meminta tanah Palestina, meski saat itu Herzl menjanjikan imbalan uang yang begitu besar. Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang masa kekhilafahan, Palestina tetap berada dalam naungan kekuasaan Islam. Didalamnya, tiga agama dapat hidup berdampingan dengan damai.

Hanya saja, setelah kekhilafahan islam diruntuhkan pada 1924, Zion*s Yahudi merampas tanah Palestina. Dengan bantuan Barat, Zion*is Yahudi merampas setengah tanah Palestina dan mengusir warga Palestina dengan paksa. Sejak saat itu, entitas Yahudi terus-menerus melakukan pembantaian dan pengeboman.

Dari sini nampak jelas, satu-satunya yang dapat menyelamatkan Palestina adalah kehadiran kepemimpinan Islam atau kekhilafahan. Sejarah mencatat, Khilafah telah berhasil memimpin dunia selama 1300 tahun dengan menghadirkan kesejahteraan, kemuliaan, dan keamanan. Didalamnya, anak dapat tumbuh dengan baik dengan memperoleh pendidikan terbaik dan berkualitas, kesehatan yang merata, hingga keamanan yang dapat dirasakan seluruh masyarakat. Tak pelak, muncul generasi-generasi cemerlang yang mampu membangun peradaban islami. Inilah peran utama sebuah negara, yaitu sebagai ra’in (pengelola) rakyatnya. 

Selain itu, Khilafah juga berperan sebagai junnah (pelindung) rakyatnya. Sehingga, juga aktif dalam mengusir penjajah dengan menggerakkan jihad. Sebab, kezhaliman tidak boleh dibiarkan begitu saja. Bahkan dalam Islam, satu nyawa lebih berharga daripada dunia dan seisinya, sehingga negara pasti berupaya menjaga tiap-tiap manusia.

Oleh karena itu, setiap muslim wajib terlibat dan berperan aktif dalam memperjuangkan peradaban mulia tersebut. Dengan begitu, kita punya hujjah dihadapan Allah kelak bahwa kita tidak berpangku tangan melihat anak-anak Palestina dan orang tua mereka dibantai oleh Zion*is Yahudi dan sekutu-sekutunya. Mari kita suarakan solusi hakiki atas masalah Palestina ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak