Musibah dan Ironi Kemaksiatan



Oleh : Tri Silvia 
(Pemerhati Masyarakat) 



Rabu malam (15/1/2025) sekitar pukul 21.25 WIB, publik dikejutkan dengan musibah kebakaran yang melanda Glodok Plaza, Jakarta Barat. Total, ada empat lantai yang hangus terbakar dalam kejadian tersebut (lantai enam, tujuh, delapan, dan sembilan).

Korbannya pun tak main-main, ada 14 nama yang dilaporkan hilang oleh keluarganya dan diduga menjadi korban tidak selamat dari peristiwa tersebut. Dan hingga saat ini, sudah ada 14 kantong jenazah yang berhasil dievakuasi dari tempat kejadian. Enam jenazah telah teridentifikasi dan dipulangkan kepada pihak keluarga. Adapun sisanya masih dalam proses identifikasi melalui pencocokan DNA dengan keluarga. (Kompas.com, 31/1/2025) 

Titik Mula Api dan Kemaksiatan

Berbagai cerita pilu dan mengerikan berkembang terkait kejadian ini. Mulai dari munculnya rekaman suara korban, hingga video-video proses evakuasi. Namun yang berkembang sedemikian ramai, bahwa ternyata titik mula api berasal dari ruangan diskotek. Dan yang lebih mengejutkan, kebanyakan korban terlapor hilang adalah para pengunjung diskotek.

Tersebutlah diskotek GCT. Dengan luas sekitar 15.000 m2, diskotek ini menjadi tempat hiburan populer di tahun 2000-an. Diskotek ini mengisi ruang-ruang di lantai 3 hingga 9 Plaza Glodok Jakarta. Mereka memiliki 19 ruang karaoke, dengan fasilitas lounge unggulan seluas 600 m2 yang bisa menampung 800 pengunjung dengan 39 meja dan 10 sofa.

Diskotek ini pernah tutup di masa pandemi covid-19 akibat PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Sebelumnya, tempat ini juga pernah ditutup setelah 107 orang dari 184 pengunjungnya ketahuan positif narkoba. Hal tersebut dilakukan  berdasarkan surat dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf). (Liputan6.com, 16/1/2025) 

Jangan Berprasangka Buruk

Tanpa berniat untuk menyinggung para korban, sungguh ini menjadi musibah yang amat memilukan untuk siapapun. Kami sangat berduka atas kejadian tersebut. Betul, bisa saja musibah itu terjadi secara kebetulan. Namun, bagaimana pandangan Islam terkait hal ini? 

Akhir-akhir ini ramai perbincangan terkait awal mula api yang berasal dari diskotek. Banyak netizen pula yang menghujat bahkan berpikiran buruk terkait para korban. Apakah itu sikap yang benar? Tidak, jelas tidak. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berprasangka buruk kepada saudaranya sendiri.

Pembuktian yang kuat harus menjadi landasan bagi setiap tuduhan yang dikemukakan. Artinya, Islam tidak memperbolehkan menuduh orang tanpa bukti. Bahkan untuk aktivitas zina sendiri baru akan dihukumi setelah ada bukti dan saksi yang melihat jelas sebagaimana timba yang masuk ke dalam sumur.

Islam melarang umatnya berprasangka buruk. Hal tersebut jelas disebutkan dalam Alquran dengan arti sebagai berikut, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka. Sebab sebagian tindakan prasangka adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al-Hujurat (49) : 12) 

Adapun dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disampaikan, “Berhati-hatilah kalian dari prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Dari dua dalil di atas, maka bisa kita pahami bersama. Bahwa menyalahkan atau berprasangka buruk kepada para korban adalah tindakan yang salah. Alih-alih melakukan hal tersebut, umat seharusnya bersimpati atas musibah yang terjadi dan turut mendoakan para korban.

Pasalnya tidak ada seorang pun yang bisa menebak, kepada siapa dan kapan musibah tersebut datang. Yang bisa kita lakukan hanya mempersiapkan diri atas apapun yang akan menimpa, baik yang kita senangi ataupun tidak, musibah salah satunya. 

Musibah dalam Islam

"Musibah apa pun yang menimpa mu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan (Allah) memaafkan banyak (kesalahanmu)." (QS.As-Syura:30) 

Ayat tersebut selaras dengan perkataan Sahabat, Ali bin Abi Thalib ra. yang artinya, "Tidaklah musibah tersebut ditimpakan, melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Selain itu, para ulama salaf pun mengatakan hal yang serupa. Diantaranya;
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa, karena semua musibah itu disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)

Sungguh dari beberapa perkataan ulama di atas, pun Sahabat Ali bin Abi Thalib ra., dikuatkan pula dengan ayat qur'an surat As-Syura 30 di atas. Maka, musibah hendaknya menjadi alat introspeksi diri dan perubahan. Sebab dikatakan bahwa musibah itu datang karena ulah perbuatan manusia sendiri. Dan taubat menjadi satu-satunya jalan untuk menghilangkan nya. 

Lantas, apakah berarti orang-orang yang terkena musibah kesemuanya adalah orang-orang yang berdosa atau bermaksiat? Dan sebaliknya, apakah mereka yang tidak terkena musibah adalah orang-orang suci yang tidak pernah berbuat dosa. Tidak, jelas tidak seperti itu kesimpulan akhirnya. 

Sungguh, manusia adalah makhluk Allah Swt yang tidak pernah luput dari dosa. Seluruh manusia setidaknya pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Begitupun Rasulullah Saw yang pernah Allah tegur dalam Quran surat Abasa ('yang bermuka masam'). Melalui ayat dalam surat tersebut, Allah menegur Rasulullah yang lebih mementingkan diskusi dengan para pembesar Quraisy dibandingkan mendengar dan memberi penjelasan pada sahabat buta yang tengah menghampirinya.

Karena sifat dasar manusia tempatnya lupa dan dosa, maka Allah telah menurunkan seperangkat aturan dalam Alquran dan hadits untuk menjaga kita. Dan Allah turunkan juga syariat taubat untuk memperbaiki segala kesalahan yang telah diperbuat di waktu sebelumnya.

Dosa memang bukan satu-satunya indikator terjadinya musibah di sebuah tempat. Hanya saja, terjadinya musibah harusnya menjadi peringatan keras untuk seluruh kaum muslimin. Terutama orang-orang yang berdosa dan gemar melakukan maksiat.

Dengan kata lain, bukan para korban yang justru harus dicurigai dan dituduh sana-sani. Melainkan kita, orang-orang sekitar yang luput dari musibah tersebutlah yang harusnya sadar dan segera bertaubat dari segala kesalahan dan dosa yang dilakukan. 

Taubatan Nasuha 

Kiranya kisah Umar bin Khattab yang memperingatkan kaumnya agar tak bermaksiat, bisa menjadi acuan terkait hal ini. Kala itu,  terjadi gempa yang cukup besar di Kota Madinah. Lantas Umar bin Khattab ra berseru kepada seluruh penduduk Madinah. "Wahai manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat pada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!”

Perkataan Umar bin Khattab di atas, jelas menyindir penduduk Madinah kala itu. Beliau memerintahkan mereka untuk segera bertaubat sebelum musibah lainnya datang. Beliau bahkan menyertakan ancaman meninggalkan kaum muslimin kala itu, jika mereka tidak bertaubat. Lantas, apa sebenarnya definisi taubat itu sendiri? 

Taubat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan. Jika dikembalikan pada makna bahasa, taubat berasal dari kata tawaba yang bermakna kembali. Maka taubat bisa diartikan kembali kepada Allah dengan melepaskan belenggu yang sebelumnya terpaut pada hati. Secara Syar’i, taubat adalah meninggalkan dosa karena takut pada Allah, menganggap buruk, menyesali perbuatan, bertekad kuat untuk tidak mengulangi, dan memperbaiki amalnya.

Menjadi lebih detail lagi ketika kita simak salah satu ayat terkait dengan taubat, yang artinya; "Kecuali mereka yang telah bertaubat, mengadakan perbaikan, dan menjelaskan (nya). Mereka itulah yang aku terima taubatnya dan Akulah yang Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 160) 

Dari ayat di atas, maka jelas taubat bukan hanya sekedar menyesali perbuatan. Dan tidak cukup hanya dengan meninggalkan perbuatan. Namun ia juga menuntut para pelakunya untuk menjelaskan atau dengan kata lain mendakwahkan orang-orang sekitarnya untuk tidak melakukan maksiat sebagaimana yang telah ia perbuat di masa sebelumnya. 

Dan sesungguhnya taubat semacam ini jelaslah bukan hal yang mudah. Terutama di masa sekarang, dimana para kapitalis menjadi sentral perhatian. Sedangkan uang dan kebutuhan hidup menjadi dasar dari segala aktivitas.

Alhasil, masyarakat nya pun terbentuk dengan pola pikir yang mengedepankan uang dan menganggap spiritualitas sebagai hal yang tidak penting, bahkan wajib disingkirkan. Dalam kondisi masyarakat semacam ini, uang, keuntungan dan kekuasaan menjadi barang mahal yang diperebutkan. Sebaliknya, maksiat dan kebajikan justru semakin terlihat samar. 

Inilah yang kemudian menjadi penghalang utama proses taubat seseorang. Alih-alih meninggalkan dan berdakwah agar orang lain juga meninggalkan kemaksiatan tersebut, merasa menyesalpun akan menjadi hal yang menyesakkan. Sebab ia berkutat dan terikat dalam kemaksiatan tanpa bisa terlepas darinya. 

Bukan hanya Urusan Personal

Tersebab kesulitan-kesulitan di atas, maka solusi terbaik sangat diperlukan untuk mengurai akar masalahnya. Dan jika kita menyimak dengan seksama, maka akar masalah dari segala persoalan yang menyangkut musibah dan kemaksiatan ini adalah penerapan sistem kapitalis yang jelas-jelas rusak dan tidak diterapkannya Islam dalam kehidupan. Lalu apa solusinya? 

Tegaknya negara yang menerapkan aturan-aturan Islam lah solusinya. Karena ia akan menghilangkan segala aturan kapitalis, memperbaiki pola pikir masyarakat yang rusak, serta menjamin tidak terjadinya kemaksiatan yang saat ini merajalela.

Syariat Islam memiliki mekanisme tersendiri dalam memberantas kemaksiatan. Yakni melalui seperangkat aturan dalam Alquran dan hadits, dan diterapkan melalui 3 lapisan utama (individu yang bertakwa, kontrol masyarakat serta negara yang menerapkan aturan). 

Penerapan syari'at Islam sudah pernah diterapkan, bahkan hampir 13 Abad lamanya. Selama itu, kemaksiatan menjadi musuh utama. Dan hal tersebut benar-benar terbukti, yakni dengan minimnya kemaksiatan ataupun kejahatan yang tercatat selama masa tersebut. Sungguh, pada masa tersebut kemaksiatan menjadi hal langka bagi masyarakat. Dan pertaubatan menjadi hal lazim, bahkan difasilitasi secara khusus oleh masyarakat dan negara. 

Wallahu A'lam bis Shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak