Oleh: Sarah Fauziah Hartono
Indonesia mengalami runtutan bencana alam. Misalnya saja yang tertulis di tirto.id (4/12/2024) tentang bencana banjir yanggg terjadi di Sukabumi.
Sukabumi sudah menetapkan Sukabumi darurat bencana selama sepekan. Ratusan titik bencana menciptakan kerusakan parah, merendam permukiman, memutus akses jalan, serta mengancam keselamatan warga.
Fenomena ini kerap dianggap sebagai takdir atau sekadar akibat perubahan alam.
Namun, mari kita renungkan, apakah benar bencana demi bencana yang terjadi di Indonesia ini hanya faktor alam tanpa ada peran manusia dalam bencana ini?
Coba kembali dilihat surah Ar-Rum ayat 41, yang mengingatkan kita bahwa bencana tidak lepas dari akibat ulah manusia, seperti pengabaian syariat dalam tata kelola lingkungan dan pemerintahan.
Sistem kapitalisme yang kini mendominasi membuat pemimpin lebih fokus pada kepentingan ekonomi dan keuntungan materi, sering kali mengabaikan tanggung jawab terhadap rakyat dan lingkungan.
Hutan dieksploitasi tanpa kendali atas nama pembangunan, sementara perawatan sungai yang semestinya menjadi prioritas justru diabaikan. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk mitigasi bencana malah dialihkan ke sektor lain, bahkan disalahgunakan.
Akibatnya, bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor, terus berulang, menunjukkan bahwa sistem ini gagal memberikan perlindungan bagi rakyat.
Dalam Islam, seorang pemimpin memiliki peran sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Sebagai pelaksana hukum syariat, pemimpin berkewajiban memastikan pengelolaan lingkungan dan sumber daya secara bijak dan bertanggung jawab.
Rasulullah SAW sendiri pernah menetapkan wilayah konservasi (hima) untuk menjaga kelestarian lingkungan. Di dalam wilayah hima, terdapat larangan berburu dan merusak ekosistem, sebuah konsep konservasi yang sangat relevan dengan kebutuhan zaman sekarang.
Islam juga mensyariatkan pengelolaan keuangan negara melalui Baitul Mal, yang memiliki alokasi dana khusus untuk penanggulangan bencana.
Jika diterapkan secara kaffah, sistem ini memungkinkan respons cepat dan efektif terhadap bencana, tanpa adanya korupsi atau penyelewengan anggaran. Lebih dari itu, Islam mengajarkan pembangunan berkelanjutan yang tidak merusak keseimbangan alam.
Kehidupan dalam naungan syariat Islam juga menjanjikan keberkahan. Mari lihat firman Allah dalam Surah Al-A'raf ayat 96, yang menegaskan bahwa keberkahan hanya akan datang ketika hukum Allah ditegakkan.
Dengan demikian, berbagai bencana yang melanda negeri ini seharusnya menjadi pengingat bahwa kita membutuhkan perubahan mendasar dalam sistem kehidupan.
Kepemimpinan yang menerapkan syariat Islam dalam institusi negara adalah solusi untuk menyelamatkan manusia dari bencana, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam Sistem Islaam, pemimpin akan bertindak sebagai pelindung sejati, mengutamakan kemaslahatan rakyat, dan memastikan terciptanya kehidupan yang sejahtera dan penuh keberkahan.
Sudah saatnya kita membuka hati, bertobat, dan bersungguh-sungguh berjuang untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hanya dengan itu, kita dapat mencegah kerusakan lebih lanjut dan membangun masa depan yang lebih baik.
Tags
Opini
