By: Ummu Aqsha
Sungguh sangat miris Polres Aceh Utara menangkap tiga pelaku pemerkosan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Kasus itu terungkap setelah ibu korban melaporkan ketiga pelaku ke Mapolres Aceh Utara. Ketiga tersangka MF (23), MS (17), dan NM (15).
Kasat Reskrim Polres Aceh Utara, AKP Novrizaldi menyebutkan kasus ini terjadi pada 6 November 2024. Awalnya, NM menghubungi korban A untuk diajak jalan-jalan sembari membeli baju baru.
Dalam obrolan itu, NM menyebutkan bahwa korban akan dijemput oleh temannya MS. Lalu meminta A untuk memenuhi permintaan MS.
"MS menggunakan mobil rental Toyota Yaris. Lalu MS dan korban duduk dibelakang, sedang MF menjadi sopir. Didalam mobil terjadi pelecehan,” katanya saat dihubungi, Minggu (17/11/2024)
Sesampainya di Lhokseumawe, pelaku MS, MF dan korban berhenti di sebuah kafe hingga tengah malam. Peristiwa pemerkosaan terjadi saat mereka pulang dari Lhoksukoumawe ke Aceh Utara. Dalam mobil, korban diperkosa. Mobil dikunci sembari berjalan. "Setibanya di Lhoksukon, kedua pelaku menurunkan korban di perempatan kota tanpa memberikan apa pun," ujar AKP Novrizaldi.
Hasil pemeriksaan, MS kerap memberikan uang dan memenuhi kebutuhan pacarnya, NM. Sebagai imbalannya, MS meminta NM untuk mencarikan perempuan lain yang bisa dia setubuhi. Saat ini, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Aceh Utara sedang menyusun berkas perkara untuk segera dilimpahkan ke kejaksaan. “Kami imbau agar orang tua mengawasi pergaulan anaknya,” pungkasnya (Kompas.com 17/11/2024).
Kasus predator anak sebagaimana di Banyuwangi juga marak di beberapa daerah lainnya. Di Aceh Utara, polisi menangkap tiga pelaku pemerkosan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga Lhoksukon, Aceh Utara pada Senin (11-11-2024). Juga di Kabupaten Ende, NTT seorang petani berinisial MJA (40) ditangkap polisi atas dugaan kasus pemerkosaan terhadap seorang anak di bawah umur berinisial Z (16), padahal korban dan pelaku masih memiliki hubungan keluarga. Realitas yang sama terjadi di Jawa Barat. Provinsi ini rentan pelecehan seksual terhadap anak laki-laki. Sebanyak 171 kasus telah terjadi selama 11 bulan, beberapa di antaranya terjadi di dalam rumah tangga.
Jika kita mencermati realitas ini, jelas kondisi anak kian terancam. Keluarga atau orang dekat yang semestinya turut menjaga dan melindungi anak-anak justru menjadi pelaku kejahatan terhadap anak yang tidak jarang berakhir dengan pembunuhan.
Kemen PPPA menyebut bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021. Prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki usia 13—17 tahun sepanjang hidup sebesar 3,65% pada 2021, naik menjadi 8,34% pada 2024. Sedangkan prevalensi kekerasan seksual pada anak perempuan dengan usia yang sama sepanjang hidup pada 2021 berkisar 8,43%, naik menjadi 8,82% pada 2024.
Data ini semestinya menjadi alarm keras bagi penguasa. Ini kasus yang tercatat, sedangkan yang tidak tercatat sangat mungkin lebih banyak lagi. Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di masyarakat tidak bisa diabaikan. Penyebabnya tidak hanya satu atau dua faktor, melainkan beragam. Yang lebih miris, kekerasan seksual dengan korban anak laki-laki justru meningkat tajam.
Sistem Sekuler yang Merusak
Kondisi anak anak saat ini makin terancam. Keluarga,masyarakat dan negara tidak bisa di harapkan menjadi benteng perlindungan bagi anak.
Ini adalah dampak penerapan sistem sekuler yang merusak naluri dan akal manusia. Negara juga tidak sepenuh nya memberikan perhatian pada urusan moral masyarakat akan tetapi malah membiarkan faktor faktor penyebab maraknya predator anak merajalela di mana-mana.
Tidak di pungkiri juga kondisi ini terjadi karena lemahnya keimanan individu dan juga buruknya standar ineraksi yang terjalin di antara masyarakat dan sementara peran negara sangat minim dalam melindungi anak melalui berbagai aspeknya,baik pendidikan nya berasas sekuler maupun sistem sanksi yang tidak menjerakan.
Terlebih negara yang merupakan pengambil kebijakan ternyata justru menerapkan sistem dan tata kehidupan sekuler liberal. Para pejabat tidak peduli bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan berdampak buruk pada masyarakat dan generasi muda.
Lihat saja situs-situs porno yang hingga kini tidak kunjung diblokir total, kendati kegelisahan masyarakat akan dampak buruknya sudah sejak lama bergaung. Selain itu, keberadaan media—terlebih media sosial—saat ini cenderung menjadi instrumen untuk menderaskan ide-ide liberal, seperti pornografi dan pornoaksi, secara langsung di gawai masing-masing individu. Hal ini mencerminkan lemahnya filter media. Ditambah tipisnya kadar keimanan individu, akhirnya mendukung pengabaian mereka pada standar halal-haram. Demikian juga maraknya game online dan judi online yang sudah banyak makan korban dari berbagai kalangan.
Ini semua adalah dampak penerapan sistem sekuler yang merusak naluri dan akal manusia. Ini juga menegaskan abainya penguasa terhadap pembinaan moral warganya. Pemisahan agama dari kehidupan telah mengubah persepsi mereka akan kehidupan sehingga didominasi oleh hawa nafsu. Sekularisme telah membuahkan perilaku rusak dan merusak yang benar-benar jauh dari fitrah manusia. Pemikiran sekuler menguasai manusia sehingga membuahkan perilaku serba bebas dan serba boleh.
Selanjutnya, perlu peran strategis dari penguasa, baik pejabat setempat maupun yang lebih tinggi hingga ke pemerintah pusat. Mereka harus menerbitkan kebijakan agar terjadinya kekerasan seksual bisa dihentikan secara sistemis.
Faktor-faktor yang mempercepat proses terjadinya pun harus diberantas hingga tuntas. Media harus menjadi instrumen positif, bukan malah disalahgunakan untuk menderaskan ide sekuler liberal. Satuan-satuan pendidikan pun tidak boleh tersusupi ide-ide liberal.
Demikian halnya keberadaan payung hukum yang akan memberikan keadilan bagi korban harus memberikan sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelaku sehingga terwujud keadilan yang nyata.
Islam Menjaga Generasi
Seluruh narasi dalam rangka menanggulangi kekerasan seksual jelas mustahil lahir dari sistem yang sama-sama liberal, sebagaimana sistem yang menumbuhsuburkan tindakan bejat itu. Sebaliknya, kita membutuhkan sistem yang memiliki standar halal-haram yang hakiki. Itulah sistem sahih, sistem Islam.
Dalam Islam, generasi adalah aset peradaban sehingga harus dijaga, dibina, dan diberdayakan dengan sebaik-baiknya. Islam bahkan memosisikan generasi tidak hanya sebagai aset dunia, tetapi juga akhirat.
Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS At-Tahrim 66 : 6)
Rasulullah saw. bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.” (HR Muslim).
Islam memberikan solusi komprehensif untuk menanggulangi kekerasan seksual yang dalam hal ini terdiri atas tiga pilar. Pertama, individu yang bertakwa. Kedua, masyarakat yang memiliki pemikiran dan perasaan Islam sehingga aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari keseharian mereka. Ketiga, negara yang menerapkan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan tercapai.
Individu yang bertakwa lahir dari keluarga yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan. Keluarga yang terikat dengan syariat Islam kafah akan melahirkan orang-orang saleh yang enggan berlaku maksiat. Potret keluarga seperti inilah yang mampu untuk melindungi anak-anak di dalamnya dari kejahatan kekerasan seksual, termasuk menutup celah munculnya predator seksual dari keluarga sendiri.
Keluarga tersebut tentu tidak bisa berdiri sendiri. Mereka perlu lingkungan tempat tinggal yang nyaman bersama masyarakat yang kondusif. Masyarakat tersebut harus memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama-sama bersumber dari syariat Islam, demikian pula landasan terjadinya pola interaksi di antara mereka. Kondisi ini membuat mereka tidak asing dengan aktivitas amar makruf nahi mungkar.
Mereka tidak akan bersikap individualistis karena mereka meyakini bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu. Ini sebagaimana perkataan sebagian ulama dari generasi salaf saleh, “Orang yang diam dari (menyampaikan) kebenaran adalah setan akhras (setan yang bisu) dan orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan nathiq (setan dari manusia yang berbicara dengan kebatilan).” Jelas, mereka akan mengambil berbagai kesempatan untuk senantiasa menyampaikan dakwah dan kebenaran.
Mereka tidak akan bersikap individualistis karena mereka meyakini bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu. Ini sebagaimana perkataan sebagian ulama dari generasi salaf saleh, “Orang yang diam dari (menyampaikan) kebenaran adalah setan akhras (setan yang bisu) dan orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan nathiq (setan dari manusia yang berbicara dengan kebatilan).”
Jelas, mereka akan mengambil berbagai kesempatan untuk senantiasa menyampaikan dakwah dan kebenaran.
Dalam Sistem Islam negara memiliki kewajiban menaga generasi baik dalam kualitas hidup maupun lingkungan yang baik dan juga negara memberikan keselamatan generasi dari berbagai macam bahaya termasuk berbagai kekerasan dan ancaman keselamatan.
Islam memiliki 3 pilar yaitu :
Perlindungan terhadap rakyat termasuk anak mulai dari ketakwaan individu, peran keluarga ,kontrol masyarakat hingga penerapan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan oleh negara.
Tidak hanya itu dalam sistem Khilafah akan mengawasi seluruh kanal media sehingga berperan untuk syiar dakwah. Konten-konten yang mengantarkan atau nyata-nyata mengandung kemaksiatan akan dilarang. Dengan begitu, hanya konten-konten yang sesuai hukum syariat yang akan disiarkan.
Dengan demikian jelas bahwa hanya sistem Khilafah yang mampu mewujudkan perlindungan hakiki bagi anak anak dari kejahatan predator seksual.
Wallahualam bishshawab.
Tags
Opini
