Oleh: Hanifah Afriani
Baru-baru ini isu yang tengah menjadi perhatian masyarakat adalah rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Siap-siap, beban masyarakat Indonesia akan meningkat karena tarif PPN saat ini dari 11 persen akan naik menjadi 12 persen.
Kementerian Keuangan akan mulai menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada awal 2025. Penyesuaian ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025. (tirto.id, 15/11/2024)
Kenaikan tarif PPN ini diklaim sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang.
Namun faktanya belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sementara yang pasti adalah kesengsaraan rakyat, terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit, menurunkan daya beli masyarakat, dan lain-lain. Apalagi, ada problem korupsi dan pemerintah yang gemar berhutang.
Situasi ini adalah konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Padahal negara mempunyai sumber daya alam yang melimpah, yang jika dikelola dengan baik dan benar oleh negara akan menghasilkan pemasukan yang sangat besar. namun lagi-lagi akibat sistem kapitalisme dengan prinsip liberalismenya negara menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing dan korporat sehingga rakyat saja susah mengaksesnya.
Disisi lain abainya negara terhadap dampak kesengsaraan akibat kenaikan pajak yang seharusnya negara sebagai raa'in atau pengurus rakyat hanya menjadi regulator dan fasilitator, yang melayani kepentingan para pemilik modal.
Hal tersebut sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yaitu sistem yang shahih yang berasal dari Sang Pencipta yakni Allah SWT. Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi raa’in, mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab bukan negara pemalak.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Imam/khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. (HR. Bukhari)
Periayahan ini terlihat dari salah satu mekanisme bagaimana sistem Islam mendapatkan sumber pemasukan negara tanpa harus berhutang dan memalak rakyat dengan pajak.
Islam menetapkan berbagai sumber pemasukan negara. Pajak bukanlah sumber utama negara, bahkan hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas dalam kosong sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan.
Memungut pajak bermakna mengambil harta dari kaum muslim tanpa ada kerelaan dari mereka, dalam Islam hukumnya tentu saja haram. Atas dasar itu mengambil pajak sebagaimana yang dipahami sistem kapitalisme hukumnya haram.
Pada dasarnya pemasukan rutin baitul mal dari pos-pos pendapatan yang telah ditetapkan Allah SWT. Sebagai hak kaum muslim dan hak baitul mal yakni pos fa'i dan kharaj, pos dari pengelolaan harta-harta milik umum hingga zakat semuanya cukup untuk membiayai seluruh kewajiban keuangan yang menjadi tanggung jawab baitul mal.
Ketika semua pemasukan baitul mal mampu menutupi semua kewajiban keuangan negara maka negara tidak membutuhkan pungutan pajak dari kaum muslim. Jika pemasukan baitul mal tidak mencukupi, sementara periayahan rakyat yang wajib tidak terlaksana akibat kosongnya baitul mal maka kewajiban pemasukan baitul mal beralih kepada umat Islam.
Dalam hal ini, negara memiliki hak harta dari umat dengan mewajibkan pajak kepada umat Islam sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat, artinya tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak, hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan yang akan dikenai pajak.
Jelaslah hanya dengan sistem Islam rakyat akan sejahtera bukan sengsara seperti dalam sistem kapitalisme saat ini.
Wallahu'alam bish shawab.
Tags
Opini
