Dalam pidatonya Presiden Prabowo Subianto, Kembali menyuarakan pentingnya pencapaian swasembada pangan. Isu Swasembada pangan kembali menghangat. Bahkan ketika acara retret para Menteri, Wakil Menteri, Utusan Khusus Presiden, Kepala Badan dan lainnya di Lembah Tidar, Magelang, secara khusus Menteri Pertanian diminta untuk menyampaikan materi soal pencapaian program swasembada pangan. Tak dapat dipungkiri faktanya Grand design program swasembada pangan telah gagal untuk kesekian kalinya. Proyek food estate dalam rangka mewujudkan swasembada pangan juga bernasib sama.
Master plan, jaminan ketahanan pangan yang sejak lama digagas bagi rakyat, juga tak menunjukkan hasil yang signifikan
(https://hibar.pgrikabupatenbandung.id).
Ironisnya alih-alih negara dapat memenuhi kebutuhan pangan rakyat, yang terjadi malah hanya menyedot anggaran milik rakyat. Muncul masalah krusial lainnya terkait pangan, seperti permasalahan "stunting" (gagal tumbuh kembang akibat gizi buruk) . Sungguh miris, padahal negeri ini kaya dengan sumberdaya alam termasuk sumberdaya pertanian, namun kondisi rakyat negeri ini ibarat tikus mati dilumbung padi. Apakah akan terwujud program swasembada pangan? Seluruh rakyat menunggu jawaban.
Fakta Rakyat dan Petani Bikin "Ngelus Dada"
Ujung tombak program swamsembada pangan hakekatnya adalah petani. Namun sungguh miris menurut hasil sensus pertanian BPS tahun 2023, 48,86% rumah tangga miskin di Indonesia adalah petani. Kenyataan ini membuat kita mengelus dada! Ternyata sektor pertanian justru penyumbang angka kemiskinan terbesar di negeri zamrud khatulistiwa ini. Para petani ini mengalami kemiskinan struktural, artinya mereka miskin diakibatkan struktur di masyarakat yang tidak berpihak pada nasib para petani. Indikator utama kemiskinan para petani adalah, nilai NTP (nilai tukar petani). Nilai inipun digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Apabila nilainya dibawah angka 100 berarti pengeluaran petani lebih besar daripada pendapatannya. Umumnya 70% biaya produksi pertanian adalah untuk kebutuhan pupuk. Harga pupuk saat ini mahal karena dimonopoli olighart/kapitalis bukan oleh negara. Kalaupun ada subsidi namun aksesnya sangat sulit dan terbatas.
Nasib petani kian terpuruk, hidup miskin jauh dari kata sejahtera. Kondisi ini mengancam proyek Ketahanan pangan nasional. Pada akhirnya kemandirian dan kedaulatan pangan sulit terwujud, otomatis swasembada pangan kembali menemui kegagalan. Masih banyak petani hanya sebagai buruh tani. Mereka tidak memiliki lahan atau memiliki lahan namun sempit. Sementara disisi lain para kapitalis konglomerat bisa dengan mudah mendapatkan akses terhadap lahan melalui HGU (Hak Guna Usaha) atau dengan cara merampas milik rakyat yaitu membeli dengan harga sangat murah dibawah standart seperti yang dilakukan olighart di PIK (Pantai Indah Kapuk). Juga oleh korporasi raksasa seperti Indofood Bogasari, Sinarmas dan korporasi lainnya, mereka mendapat "previllage" dari negara. Sebelum bicara mewujudkan swasembada pangan, maka kesejahteraan petani secara umum dan kepemilikan lahan harus dibenahi.
Mencari Akar Masalah
Buruknya tata kelola ini bermuara pada penerapan Kapitalisme sekuler, sebab hanya ideologi inilah yang meniscayakan aturan yang diterapkan berpihak pada pemilik modal. Sesuai namanya kapital = modal. Swasembada pangan dalam sistem kapitalisme, ibarat menegakkan benang basah, sulit dan mustahil. Dalam grand strategi pemerintah untuk mencapai swasembada pangan, banyak melibatkan korporasi oligarki. Sebaliknya justru tidak menjadikan rakyat kecil yaitu petani sebagai pemain utama, jelas akan gagal. Sungguh fakta yang kita lihat dan alami jauh dari rasa keadilan.
Apa yang bisa kita harapkan ketika kehidupan bernegara landasannya sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan?? Jangan harap ada keadilan dalam hukum buatan manusia. Inilah buktinya menurut data BPN dan Machfud MD 1% para kapitalis menguasai 58% lahan yang ada di negeri ini.
Islam Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Swasembada.
Oleh karena itu harus ada perbaikan total atas kondisi ini. Ada beberapa point yang telah terbukti terrealisasi ketika islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) berdasarkan tuntunan hukum syara'. Pertama syariat islam melarang pemisahan aspek kepemilikan lahan dan aspek produktivitas tanah. Artinya, jika ada yang punya lahan tapi terlantar sehingga tidak produktif, maka hak milik lahan tersebut hilang dan diambil alih negara, kemudian diberikan pada yang mampu mengelola,. Kedua tidak memberikan pada korporasi. Ketiga, menerapkan politik pertanian yang mapan dan stabil.
Strategi dan mekanismenya : (i) Ekstensifikasi (memperluas lahan pertanian); (ii) Intensifikasi (memperbaiki teknik-teknik bertani), misal bibit unggul, pemupukan, pengairan, pengendalian hama dan penyakit tanaman (iii) Diversifikasi, variasi jenis tanaman disuatu area. Sehingga lahan selalu produktif. Negara memberi lahan pada siapa saja yang mampu dengan bantuan dan subsidi dari baitul maal. Kebijakan pertanian dalam negara yang menerapkan Islam memiliki konsep yang jelas. Tidak berpihak pada oligarki tapi adil kepada seluruh lapisan rakyat. Negara bersyariat islam, swasembada pangan merupakan arah prioritas utama pembangunan. Dengan Grand Desain komprehensif, sebab jaminan pemenuhan pangan adalah kewajiban syariat bagi pemimpin rakyat. Negara swasembada, berdaulat pangan adalah karakter negara yang menerapkan syariat islam. Wallahu 'alam.
Tags
Opini
