Oleh: Akah Sumiati
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan mengatakan, kekerasan seksual pada anak dalam tahap darurat dan mengkhawatirkan. Pada 2023, KPAI mencatat, dari 3.877 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 1.866 aduan terkait kasus perlindungan khusus anak dan didominasi kasus kekerasan seksual. Selain itu, sebanyak 262 kasus pengaduan kekerasan pada anak dilakukan oleh ayah kandung dan 153 kasus dilakukan oleh ibu.
Indonesia benar-benar darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak (KStA). Suburnya kekerasan seksual terhadap anak tersebut, akibat diterapkannya sekularisme dan liberalisme.
Pada 2013, KPAI menyatakan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual pada anak. Padahal saat itu sudah ada UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, juga KUHP.
Sebelas tahun kemudian, yakni 2024, Indonesia nyatanya masih darurat kekerasan seksual. “Sejak 2019, kekerasan seksual menduduki jumlah tertinggi di antara berbagai jenis kekerasan terhadap anak. Mirisnya, sudah ada banyak regulasi tentang persoalan tersebut, di antaranya adalah UU 35/2014 dan UU 17/2016 yang merupakan revisi dari UU Perlindungan Anak. Juga ada UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Nyatanya, regulasi yang banyak tersebut tidak mampu menyelesaikan kerusakan besar ini. Bahkan, bisa dikatakan gagal mencegah terjadinya KStA. KStA justru bertambah parah dan mengerikan.
Ini tecermin dari pelaku terbanyak yang merupakan orang terdekat dengan korban, baik teman, guru, maupun ayah, bahkan ibu kandung.
Realitas ini menjadi bukti bahwa negara tidak mampu melindungi anak-anak dari kejahatan luar biasa bernama KStA. Oleh karenanya, regulasi ini tidak sekadar perlu ditinjau ulang, tetapi harus ada perubahan paradigma kehidupan yang melandasi tegaknya aturan.
Terjadinya KStA jelas akibat banyak faktor yang saling terkait. Mulai dari lemahnya pengawasan orang tua, gagalnya sistem pendidikan membina akhlak mulia, hingga belum dipahaminya regulasi oleh aparat penegak hukum. Semua ini berakar pada sekulerisme yang telah mencengkeram kuat dalam kehidupan.
Jauhnya agama dari kehidupan,membuat manusia kehilangan nilai kemanusiaannya sehingga berprilaku seperti binatang. Akal manusia yang seharusnya mampu membedakan yang baik dan buruk, terpuji dan tercela telah masuk dalam perangkap hawa nafsu. Akibatnya, sesama teman tega berbuat nista, guru tega berbuat keji pada muridnya, ayah ibu bahkan tega merusak anak kandungnya sendiri.
Itu semua terjadi, karena tidak ada lagi rasa takut kepada Allah. Kalau kepada Allah saja tidak takut, aturan buatan manusia pun tidak akan mampu menumbuhkan rasa takut. Apalagi hari ini regulasi pun dapat disiasati, hukum bahkan bisa dibeli.
Terlebih lagi, landasannya adalah liberalisasi perilaku yang lahir dari sekulerisme. Sekularisme dan liberalisme menjadi asas semua pengaturan hidup manusia, menjadikan manusia berbuat sekehendak hawa nafsunya tanpa peduli akan akibat yang ditimbulkannya. Inilah penyebab gagalnya aturan dalam menyelesaikan KStA. Akibatnya rusaklah kemuliaan manusia,”.
Untuk itu, revolusi pemahaman manusia adalah satu kebutuhan mendesak. Tentu saja bukan model revolusi mental yang sekadar slogan. Namun, revolusi yang mengukuhkan iman kepada Allah dan akan datangnya hari pembalasan. Keimanan inilah yang akan menjadi perisai setiap individu.
Hal ini,tentu harus disertai dengan sistem pendidikan yang mampu melahirkan insan mulia. Oleh karena itu, asasnya haruslah akidah Islam sehingga akan terwujud ketakwaan, baik pada individu maupun keluarga. Masyarakat pun peduli dan budaya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran akan tumbuh dengan subur. Semua itu akan mencegah kerusakan dan mendorong kebaikan.
Hanya saja, ini mengharuskan peran nyata negara untuk menegakkannya. Negara juga harus membangun sistem dengan landasan Islam agar dapat sempurna memberikan perlindungan pada anak-anak dan semua warga negara.
Pada era transformasi digital ini, negara juga harus mewujudkan media yang menguatkan keimanan dan aman dari pengaruh negatif, seperti pornografi dan kekerasan. Kemudian mewujudkan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Keberadaan aparat yang amanah akan mampu memberantas KStA secara tuntas. Semua itu hanya akan terwujud nyata, ketika tegak negara yang menerapkan Islam kafah, yaitu Khilafah Islamiah.
Tags
Opini
