Oleh: Lina
Baru-baru ini Pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan ekspor sedimentasi laut. Kebijakan tersebut tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Kebijakan yang dibuat pemerintah ini menimbulkan polemik di tengah khalayak umum. Pada Bab IV Pemanfaatan Pasal 9 isi dari PP ini menyatakan bahwa hasil sedimentasi laut yang dapat dimanfaatkan adalah pasir laut, dan/atau material lain berupa semen/lumpur. Padahal sebelumnya Pemerintah pernah melarang ekspor pasir. Presiden RI ke-5 pun menetapkan SK Menperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut guna melindungi ekosistem laut dari kerusakan lingkungan. Namun Pemerintah resmi membuka kembali keran ekspor pasir laut seluas-luasnya setelah 20 tahun dilarang lewat dua peraturan, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor; dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Alasan pemerintah yang menjadi dasar kebijakan ini dibuat yaitu pertimbangan ekonomi dan untuk mengolah sedimentasi laut yang membuat tertutupnya karang di laut. Namun alih-alih meningkatkan kesejahteraan, nyatanya kebijakan ini diindikasi mengakibatkan banyak dampak negatif. Ditinjau dari segi perikanan laut, kebijakan ini berkemungkinan besar dapat merusak habitat biota laut. Karena adanya pengerukan, maka makhluk hidup di laut kehilangan habitatnya yang salah satunya menjadi tempat pemijahan. Ketika tempat pemijahan ikan terganggu, maka produksi ataupun keberlangsungan sumber daya ikan menurun. Kondisi lainnya karena habitat yang rusak, maka ikan akan bermigrasi untuk mencari tempat yang lebih aman, sehingga dapat berakibat pada wilayah penangkapan ikan yang menadi semakin jauh dari pesisir laut. Wilayah penangkapan ikan yang semakin jauh tersebut, mengakibatkan pengeluaran operasional nelayan bertambah banyak. Padahal pengeluaran operasional saat ini cukup tinggi dan ikan yang didapatkan belum tentu banyak. Belum lagi modal yang dikeluarkan oleh nelayan, tidak sepenuhnya adalah milik pribadi, namun hasil dari meminjam dari tengkulak. Tentu hal ini dapat berakibat berkurangnya pendapatan nelayan dan mengancam keberlanjutan pekerjaan nelayan.
Namun coba kita perhatikan dari sisi yang diuntungkan. Tak lama setelah peraturan ini disahkan, ada beberapa perusahaan yang mengajukan izin pemanfaatan pasir laut hasil sedimentasi. Dikutip dari nasional.kontan.co.id menyatakan bahwa kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat terdapat 66 perusahaan tengah melakukan pengajuan izin pemanfaatan pasir laut hasil sedimentasi yang dapat diekspor sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut.
Dengan adanya kebijakan ini, pengusaha bisa lebih bebas dalam melakukan kegiatan usahanya. Sebelumnya para pengusaha tersebut banyak melakukan kegiatannya secara ilegal, namun saat ini para pengusaha penambang pasir tersebut dapat lebih bebas mengeruknya.
Hasil sedimentasi di laut merupakan kategori SDA (Sumber Daya alam) yang seharusnya dimanfaatkan secara umum, akan tetapi dikelola oleh negara untuk kepentingan masyarakat bukan para pengusaha. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memuat tiga hal penting, yaitu : (i) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; (ii) Dikuasai oleh negara; (iii) dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penting akan pemerintah untuk mengawasi dan mengelola SDA dengan sebaik-baiknya hanya semata-mata untuk rakyatnya, serta menjaga ekosistem laut. Pemerintah seharusnya menetapkan kebijakan yang memudahkan rakyat untuk mengakses kebutuhan pangan, pakaian, dan rumah, seperti kemudahan mencari nafkah, memfasilitasi nelayan agar mudah menangkap ikan, menyediakan sarana produksi bagi petani, dan sebagainya.
Pemerintah semestinya memastikan setiap aktivitas eksplorasi dan eksploitasi SDA agar tidak merusak lingkungan. Karena merusak alam salah satu bentuk dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan tidak dibenarkan dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar–Rum: 41)
Dalam ayat lain, Allah Taala juga berfirman, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (TQS Al–A’raf: 56)