Pilkada dalam Demokrasi, Penuh Intrik dan Polemik



Oleh Dwi Maya Damayanti, S.Pd.
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja



Pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) telah berlangsung pada pertengahan Februari yang lalu. Indonesia kembali akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 27 November mendatang. Pilkada serentak ini akan melibatkan puluhan provinsi, ratusan kabupaten/kota, serta ribuan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu bentuk implementasi langsung dari demokrasi.

Kemenangan Prabowo-Gibran pada pilpres tidak dapat dipungkiri menghantarkan perubahan yang signifikan pada koalisi partai pendukung calon kepala daerah dalam pilkada mendatang. Pada pilpres yang lalu ada koalisi KIM (Koalisi Indonesia Maju), KP (Koalisi Perubahan) dan koalisi PDIP. KIM diusung 8 parpol ( 4 diantaranya berhasil melenggang ke senayan), KP diusung 3 parpol,sementara koalisi PDIP didukung PPP dan partai Hanura.  Menjelang pendaftaran calon kepala daerah dan wakil calon kepala daerah, KP bubar dan merapat ke KIM. Sehingga namanya berubah menjadi KIM plus. Secara umum koalisi parpol berbeda-beda pada setiap provinsi dan kabupaten/kota.

Pilkada yang digadang-gadang akan dilaksanakan serentak ini, tidak lain tidak bukan akan menampakan wajah demokrasi yang sesungguhnya. Pertanyaannya, apakah penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 bisa memberi gambaran ideal sistem demokrasi ? Apakah ada peluang untuk terpilihnya kepala daerah yang kompeten secara jujur? 

Kita perlu melakukan evaluasi kritis terhadap mekanisme yang ditawarkan oleh sistem politik demokrasi. Setidaknya, ada beberapa penyebab sistem politik demokrasi gagal dalam menjamin terlayaninya urusan rakyat dengan adil dan manusiawi. Sistem demokrasi juga meniscayakan berjalannya politik pragmatis. Dalam demokrasi, tujuan politik ialah meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Itulah mengapa dalam demokrasi tidak ada kawan ataupun lawan abadi, semua bergantung pada kepentingan yang hendak diraih. Koalisi bisa menjadi oposisi, ataupun sebaliknya.

Polemik Pilkada 2024 Memicu Unjuk Rasa Besar-besaran

Polemik persyaratan pencalonan kepala daerah pada Pilkada 2024 berawal dari putusan Mahkamah Agung (MA) pada 29 Mei 2024, yang membatalkan Pasal 4 Ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang batas minimal usia calon kepala daerah. MA memutuskan bahwa usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota harus dihitung sejak pelantikan, bukan sejak penetapan pasangan calon.
Keputusan ini dinilai kontroversial dan diduga sarat muatan politik, terutama terkait dengan kemungkinan pencalonan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo. Hal ini mendorong sejumlah pihak mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 20 Agustus 2024, MK memutuskan bahwa syarat usia minimal harus dipenuhi pada saat penetapan calon, dan membatalkan ambang batas pencalonan yang mengharuskan partai politik memiliki 20 persen kursi atau 25 persen suara sah.

Namun, pada 21 Agustus 2024, Badan Legislasi DPR mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada yang membangkangi keputusan MK, di mana tetap mencantumkan ambang batas pencalonan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah bagi parpol untuk mengajukan paslon di pilkada. Selain itu, isu soal syarat usia calon gubernur juga dimaknai berbeda oleh Baleg DPR yang memutuskan dihitung saat pelantikan paslon terpilih.
Ribuan massa berdemonstrasi di depan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Perwakilan Rakyat (DPR/MPR), di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (22/8), menolak revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) karena akan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pilkada. Massa mewakili berbagai elemen masyarakat, mulai dari buruh, mahasiswa hingga sejumlah komika, menuntut pemerintah dan wakil rakyat untuk mematuhi putusan MK pada Selasa (20/8) lalu. 

Seperti diberitakan sebelumnya, MK pada Selasa mengeluarkan putusan yang menyatakan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Putusan itu, menurut pakar akan berimplikasi memunculkan jumlah kandidat yang lebih banyak, sehingga masyarakat diberi lebih banyak pilihan.

Namun, sehari setelah MK mengeluarkan putusan itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendadak menggelar rapat dan dalam sehari menyepakati revisi UU Pilkada untuk disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang rencananya digelar Kamis (22/8). Alhasil, hal tersebut memicu protes dari berbagai elemen masyarakat, yang kemudian diwujudkan dalam gelombang unjuk rasa. Masyarakat kecewa terhadap revisi UU Pilkada yang dianggap mencederai konstitusi dan semangat negara hukum, mendesak DPR dan pemerintah patuh terhadap putusan MK.
Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ketua tim kuasa hukum Partai Buruh sebagai pemohon, Sauid Salahuddin (VOA, 2024), menjelaskan bahwa alasan partai itu menggugat Pasal 40 UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016 tentang ambang batas pengajuan calon adalah karema merasa risih dengan konstelasi politik di tingkat bawah.

Dia menambahkan yang terjadi saat ini adalah upaya pemborongan partai politik oleh pasangan calon tertentu. Ini, katanya, bertentangan dengan prinsip-prinsip Partai Buruh yang mengedepankan prinsip demokrasi. "Kami nggak ingin pilkada itu justru menjauhkan kita dari tujuan besar untuk membangun demokrasi yang sehat. Kami melihat ada kerugian konstitusional yang kami alami ketika kebetulan kami tidak punya kursi (di DPRD) di sejumlah daerah. Itu menjadi tidak adil jika dibandingkan parpol yang punya kursi," tuturnya.

Sineas Joko Anwar, yang kondang dengan nama Jokan, mengatakan (VOA, 2024) dia mengikuti demo karena sudah muak dengan para penguasa yang selama ini menggunakan instrumen hukum untuk melenggangkan apa yang mereka mau. “Mungkin kalau dilihat sekarang, secara ekonomi, kita bisa bekerja dengan baik, berkecukupan, tapi apa gunanya kalau tata negara kita hancur. Mengerikan sih ke depannya, kalau dibayangkan, bahwa ada penguasa yang bisa berbuat apa saja demi apa pun yang mereka mau,” kata Jokan.
Herdiansyah mengemukakan (VOA,2024) tidak habis pikir mengapa DPR dan pemerintah sebagai pembentuk UU lebih memilih putusan Mahkamah Agung ketimbang putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal, menurutnya, lembaga yang memiliki otoritas menafsirkan undang-undang adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Agung. Oleh sebab itu, lanjutnya, derajat putusan Mahkamah Konstitusi jauh lebih tinggi dibandingkan putusan Mahkamah Agung.
Herdiansyah menegaskan jika revisi UU Pilkada disyahkan maka revisi itu tidak akan mendapatkan legitimasi di masyarakat. Dia menilai pernyataan pihak Istana yang meminta menggugat kembali ke MK jika tidak setuju dengan hasil revisi UU Pilkada sebagai cara berpikir yang rusak dan kotor.

Dalam siaran persnya (VOA, 2024), Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang beranggotakan 27 pakar hukum tata negara dan pemilu menyebutkan Presiden Joko Widodo dan Koalisi Indonesia Maju Plus ditengarai hendak menghalalkan segala cara untuk mempertajam hegemoni kekuasaan koalisi gemuk dan gurita dinasti politik dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024. CALS menegaskan Presiden Joko Widodo bersama partai-partai politik pendukungnya tengah mepertontonkan pembangkangan konstitusi dan pamer kekuasaan yang berlebihan tanpa kontrol. 

Cendekiawan muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menilai, istilah ‘begal konstitusi’ merupakan wujud nyata perubahan negara dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. “Saya kira ini adalah wujud nyata dari apa yang sering disampaikan oleh para pengamat politik dan hukum, yaitu berubahnya secara dramatis negara kita ini dari apa yang disebut negara hukum (rechtsstaat) menuju negara kekuasaan (machstaat),” ungkapnya di Focus to The Point: “Kisruh Keputusan MK, Mencederai Demokrasi atau Cacat Demokrasi?” melalui kanal UIY Official, Jumat (23-8-2024).

Antara Idealisme dan Realitas

Sejauh ini, sistem demokrasi memang masih disebut-sebut sebagai sistem politik terbaik karena dipandang melibatkan seluruh rakyat dalam pengambilan keputusan meski melalui konsep perwakilan. Dilihat dari sisi ini, demokrasi seakan sangat ideal. Setiap individu rakyat seakan diberi ruang aspirasi dan kontribusi dalam setiap pengambilan keputusan. Kesetaraan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang adil bagi semua warga negara pun seolah mendapat jaminan. 
Hanya saja, realitasnya tidak seindah teori. Keterlibatan rakyat dalam politik hanya bersifat prosedural, yakni ketika mereka menyalurkan suaranya di bilik-bilik suara. Itu pun dibuat dengan penuh rekayasa karena nyatanya kekuasaan dalam demokrasi dibentuk oleh politik uang dan pencitraan. Adapun pada praktiknya, aspirasi rakyat nyaris selalu bertentangan dengan kebijakan penguasa yang dipilihnya.

Seperti akhir-akhir ini. Di media sosial muncul narasi “Peringatan Darurat” dengan Garuda berlatar biru, diikuti aksi turun ke jalan oleh mahasiswa di seluruh Indonesia. Mereka memandang gerakan cepat elite berkuasa sudah sangat keterlaluan, terutama ketika DPR dan pihak pemerintah berusaha membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi soal ambang batas usia dan syarat pencalonan Kepala Daerah yang ada pada UU Pilkada. Diduga, tujuan gerakan cepat tersebut adalah untuk mengukuhkan dinasti politik Jokowi yang dipandang sebagian masyarakat dapat melumpuhkan demokrasi dan melanggengkan kekuasaan korup dan otoriter yang didukung oligarki.

Bahkan, pada rezim ini, tingkat keparahan nyaris sampai pada puncaknya. Semua lembaga yang secara teori berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, dengan berbagai cara berhasil dilumpuhkan. Kita lihat betapa mandul fungsi lembaga legislatif, yudikatif, KPK, MK, partai politik, hingga ormas dan para tokohnya. Bahkan, partai Islam atau partai yang berbasis masa Islam pun ramai-ramai memilih jalan aman dengan mendukung kekuasaan, lalu selangkah demi selangkah meninggalkan panggung partai. Pada faktanya uang memang begitu menggiurkan.
Pada dasarnya, perubahan sistem sangat kita butuhkan untuk memperbaiki negeri ini. Sistem yang baik akan melahirkan pemimpin yang baik. Sebaliknya, sistem yang buruk juga akan melahirkan pemimpin yang buruk. Ini karena sebaik-baik pemimpin jika sistemnya buruk pasti kecipratan buruknya. Seburuk-buruk pemimpin, jika sistemnya baik, keburukan tersebut akan tertambahkan oleh kebaikan yang terbentuk dari sistem yang baik.

Pilkada dalam Kacamata Islam

Melihat hasil PKPU dan batalnya upaya revisi UU Pilkada oleh DPR RI, sepertinya sulit untuk saat ini mengutak-atik UU Pilkada untuk meloloskan putra kedua Presiden Jokowi. Pilkada yang akan dilaksanakan sepertinya sulit jika UU Pilkada akan direvisi. Bahkan, Presiden tidak bisa mengeluarkan perppu tentang  pilkada, tetapi ketika menilai situasi politik yang ada, bisa dilihat siapa yang mampu “membegal” konstitusi, bisa Presiden, DPR, atau bahkan MK sendiri. MK seharusnya menjaga konstitusi, tetapi juga bisa menjadi “pembegal” konstitusi.

Pemilukada (pemilihan umum  kepala daerah) adalah pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat (propinsi/kabupaten/kota) yang memenuhi syarat. menyelenggarakan dan memilih dalam pemilukada hukumnya haram dan tidak sah (batil) menurut syara’. Dalil keharamannya ada dua; Pertama, karena pemilukada menyalahi tatacara pengisian jabatan kepala daerah dalam Islam. Kedua, karena pemilukada akan menjadi sarana (wasilah) untuk memilih penguasa yang akan menjalankan hukum yang bukan Syariah Islam.

Sistem pemerintahan Islam yang berasaskan akidah Islam menjadikan kedaulatan hanya berada di tangan syara.  Allah, sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia yang memiliki hak menentukan baik dan buruk sehingga manusia hanya sebagai pelaksana hukum-hukum Allah. Khilafah sebagai bentuk pemerintahan Islam, menjadikan lembaga negara bekerja sesuai tuntunan hukum Islam.  Lembaga negara tidak akan bisa disetir oleh individu atau kalangan tertentu karena batasan salah dan benar sudah sangat jelas.

Tagar peringatan darurat mestinya membangun kesadaran kita bersama bagaimana bobroknya sistem yang ada saat ini. Maruk kekuasaan sebagai fokus politik para elite penguasa negeri ini membuat mereka abai bagaimana menderita dan rusaknya kehidupan rakyatnya.

Islam kaffah atau penerapan Islam secara menyeluruh, bukan hanya sebuah solusi alternatif, tetapi merupakan satu-satunya sistem yang mampu mengatasi segala kerusakan yang diakibatkan oleh demokrasi. Islam kaffah menawarkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan hukum yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan seluruh umat manusia. Dalam Islam kafah, kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk menerapkan syariat Allah secara utuh, tanpa campur tangan kepentingan segelintir elite atau oligarki.

Adapun dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa rakyat adalah pemilik kekuasaan. Konsep ini seolah mirip dengan demokrasi, tetapi sebenarnya sangat jauh berbeda. Perbedaannya, dalam sistem Islam, rakyat memilih penguasa bukan untuk menjalankan hukum dan aturan rakyat, melainkan untuk menjalankan hukum dan aturan dari Allah Swt., sedangkan dalam demokrasi justru sebaliknya.

Islam juga membingkai kekuasaan dengan tujuan mulia, yakni untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Alhasil, tidak akan ada penguasa di dalam sistem Islam yang menginginkan kekuasaan demi tujuan-tujuan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta, jabatan, ataupun kedudukan. Tidak akan ada penguasa dalam sistem Islam yang menyelewengkan kekuasaannya demi untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Sistem Politik Islam

Hal ini dikemukakan oleh Ustazah Siti Muslikhati, S.I.P.,M.Si. kepada Muslimah News (2024) sistem politik Islam mampu menciptakan kehidupan bersama yang adil dan manusiawi, sekaligus mengatasi kegagalan sistem demokrasi melalui beberapa cara.
Pertama, efisiensi proses pemilihan pemimpin politik.
Dalam politik Islam, rakyat dilibatkan dalam proses memilih dan mengangkat penguasa (pihak yang mempunyai otoritas untuk mengatur urusan-urusan rakyat). Sebab kedaulatan ada di tangan Allah Swt., maka penguasa adalah wakil rakyat dalam menerapkan atau menjalankan hukum Allah di tengah kehidupan masyarakat.

Kepemimpinan politik (pemerintahan) dalam Islam adalah tunggal, tidak ada pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Khalifah adalah kepala negara sekaligus secara riil menjadi kepala pemerintahan. Rakyat hanya sekali dilibatkan dalam proses memilih dan mengangkat kepala negara (yang gelarnya adalah khalifah, imam, atau amirulmukminin) sepanjang kepala negara terpilih tetap menjalankan Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah.

Selanjutnya, hanya khalifah yang berwenang mengangkat orang-orang yang dianggap mampu membantunya (berkapasitas dan berintegritas) dalam menjalankan roda pemerintahan, seperti muawin (wakil kepala negara), wali (setingkat gubernur) dan amil (setingkat bupati), serta orang-orang lain yang akan duduk dalam struktur negara. Mekanisme ini sangat efisien dalam pembiayaan (anggaran) maupun soliditas penguasa sehingga penguasa bisa fokus pada alokasi anggaran untuk melayani rakyat.

Kedua, efisien dalam proses pengambilan hukum.
Karena kepemimpinan politik sifatnya tunggal, maka hanya khalifahlah pihak yang berwenang untuk mengadopsi (legalisasi dan formalisasi) syariat Islam menjadi hukum yang mengikat seluruh warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Mekanisme menggali hukum dari nas-nas syarak (Al-Qur’an dan Sunah) juga berjalan secara individual, dalam arti bisa dilakukan oleh individu yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid, tidak membutuhkan kerja kolektif. Penetapan hukum secara kolektif justru akan cenderung mewujudkan kompromi dalam penetapan hukum yang hal ini akan melanggengkan berjalannya mekanisme demokrasi.

Jaminan bagi akuntabilitas dalam penetapan hukum, ada pada mekanisme ini, berupa adanya argumentasi syar’i dalam setiap produk hukum yang argumentasi tersebut bisa dipelajari dan dipahami oleh setiap muslim. Mekanisme ini sekaligus efisien secara pembiayaan karena cukup mengambil pendapat dari seseorang yang sudah bersungguh-sungguh menggali hukum dari Al-Qur’an dan Sunah, hukum yang diadopsi sudah sah secara syar’i.

Sistem Islamlah yang seharusnya diperjuangkan. Sistem Islam telah menjadikan Allah sebagai Al-Hakim, serta membingkai kekuasaan dengan bingkai ketaatan kepada Allah sehingga lahirlah sosok penguasa yang bertakwa, adil, sangat memperhatikan rakyat, serta tidak akan menyusahkan mereka. Ia tidak akan mungkin menerapkan hukum buatan manusia. Pastilah hukum dan aturan Allah yang akan diterapkannya. Inilah yang akan mendatangkan kebaikan dan berlimpahnya keberkahan dari Allah Swt. bagi umat manusia seluruhnya. Wallahu 'alam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak