Oleh : Lulu Sajiah, S.Pi
Pemerhati Agromaritim
Air kebutuhan dasar manusia. Sudah menjadi anggapan umum dimana kita menemukan air, maka di situ ada harapan kehidupan. Jumlah air yang terbatas dan semakin banyaknya manusia menyebabkan terjadinya krisis air bersih. Selain jumlahnya, kualitas air tawar yang ada pun semakin rusak. Perebutan penggunaan air bersih untuk berbagai penggunaan menyebabkan hilang akses yang layak terhadap air bersih bagi sebagian orang. Pola hidup boros air bersih menyebabkan semakin banyak lagi orang yang kehilangan akses terhadap air bersih.
Penggunaan Air Minum dalam Kemasan
Sejarah mencatat, selama ratusan tahun masyarakat Indonesia mengonsumsi air bersih baik dari sumur atau sungai dengan cara merebusnya hingga mendidih. Menurut sejarawan Anthony Raid dalam Asia Tenggara Kurun Niaga (1993), merebus air tidak efisien karena bahan bakar dan waktu. Meski begitu, kebiasaan ini tidak biasa ditolak sebab menjadi satu-satunya cara mengonsumsi air yang benar-benar bersih.
Sampai akhirnya, tahun 1870-an muncul ide cemerlang dari Hendrik Freesk Tilema asal Belanda yang mencari peruntungan sebagai apoteker di Semarang. Setelah lama merintis karir, dia kemudian memilih fokus berbisnis, yakni air minum dalam kemasan. Alhasil, pada 1901, dia mendirikan pabrik Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) pertama di Indonesia, yakni Hygea. Pada akhirnya, Hygea sukses di pasaran Indonesia, yang mampu semua orang menjadikan sebagai konsumsi utama, kecuali orang miskin dengan mengonsumsi air sumur.
Ekonom senior Bambang Brodjonegoro mengatakan kebiasaan sehari-hari masyarakat pada air kemasan yakni air galon, air botol , dan sebagainya menggerus pendapatan bulanan yang diperoleh. Hal ini menyebabkan jutaan warga kelas menengah Indonesia turun kelas. Penurunan kelas tersebut lebih dipengaruhi juga oleh Covid-19 dan Putus Hubungan Kerja (PHK).
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Angka kelompok masyarakat rentan miskin ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas pada kedua kelompok ini.
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) mengungkapkan masyarakat mengonsumsi air kemasan karena tidak ada pilihan lain, karena pemerintah telah gagal menyediakan air siap minum yang aman, di tempat-tempat umum.
Semua ini karena diterapkannya sistem ekonomi Kapitalisme dimana hanya korporasi dan para pemilik modal bergerak dengan tujuan-tujuan bisnis dan keuntungan semata. Rakyat yang seharusnya dilayani penyediaan air bersih, hanya menjadi tumbal dari berbagai kebijakan yang menjadikan masyarakat hidup dalam kubangan kemiskinan dan krisis air bersih.
Sistem Islam sebagai Solusi
Hal ini tentu berbeda ketika negara ini menerapkan sistem Islam. Negara dalam Islam yakni Khilafah Islamiyyah berperan sebagai ra’in yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dengan penerapan sistem politik dan ekonomi Islam termasuk dalam pengaturan air dan kesejahteraan rakyatnya. Konsep kepemilikan dalam Islam, air akan dikelola negara sebaik mungkin dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk pelayanan publik oleh negara atas Islam. Rasulullaah saw. bersabda :
"Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : air, padang dan api " (HR Abu Dawud). Negara akan selalu menyediakan fasilitas air bersih baik untuk kebersihan maupun untuk konsumsi langsung di tempat tinggal rakyat dan tempat-tempat umum. Penyediaan air bersih juga sebagai sarana penyucian mempermudah ibadah dan kesehatan (sanitasi). Dalil tersebut terdapat larangan baik individu maupun sekelompok orang untuk memiliki dan menguasai air yang merupakan fasilitas umum.
Negara tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun sebagaimana sistem kapitalis sekularisme hari ini.
Wallahu’alam Bish-shawwab
Tags
Opini
