Oleh : Linda Maulidia, S.Si
79 tahun kemerdekaan RI rupanya masih belum memberikan kesejahteraan secara menyeluruh. belakangan ini laju penurunan angka kemiskinan di perdesaan agak melambat sedemikian rupa, sehingga kesenjangan angka kemiskinan desa-kota cenderung tidak berubah, bahkan stagnan. Gejala ini kurang menggembirakan karena dapat menjadi indikasi bahwa upaya penurunan angka kemiskinan di perdesaan sedang menemui hambatan. (Priyarsono dkk., 2023, Determinan Kesenjangan Kemiskinan Desa-Kota di Indonesia https://doi.org/10.22146/mgi.80932)
Bahkan, sejak lama, banyak yang berasumsi bahwa anak-anak yang hidup di desa itu tidak lebih pandai dari anak-anak kota atau mungkin daya saingnya tidak sehebat anak-anak yang ada di kota. Tentu saja, akan banyak data dan fakta yang menyangkal anggapan itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sarana dan prasarana menjadi aspek penting dalam pembangunan sumber daya manusianya. Mudah bagu masyarakat kota untuk mendapatkan aksea pendidikan, ilmu, internet, perpustakaan dengan alat transportasi yang cenderung lebih mudah ditemukan. Sedangkan di desa, bahkan viral anak-anak yang harus melewati sungai, jembatan rusak, bahkan jarak yang sangat jauh, belum lagi fasilitas yang kurang memadai.
Pembangunan ala Islam
Semua itu sungguh berbeda dengan peradaban Islam. Pembangunan pada masa Khilafah Islamiah tidak mendiskriminasi warga kota dengan desa, kendati perbedaan karakter masyarakat dan potensi wilayah tentu saja tetap ada. Namun, keberadaan kota-kota besar di masa Khilafah tidak lantas membuat masyarakat desa menjadi insecure terhadap modernisasi di kota.
Sebut saja Kairo dan Baghdad. Di satu sisi, keduanya adalah kota metropolis di zamannya yang juga dikenal sebagai pusat pendidikan pada era kegemilangan Khilafah. Di sisi lain, potensi wilayah di kedua kota tersebut sebagai kawasan pertanian juga tidak lantas disulap menjadi kawasan modern. Potensi pertanian keduanya tetap diberdayakan dan dipertahankan oleh Khilafah sehingga peluang disparitas dengan masyarakat dari luar kota—yang masih kurang modern—sangat bisa diminimalkan.
Untuk kita ketahui, Kairo—dan Mesir secara umum—adalah kawasan delta Sungai Nil yang terkenal akan kesuburannya sejak zaman sebelum masehi. Pembebasan Mesir pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. adalah berkah besar bagi kaum muslim. Ketika Madinah mengalami paceklik, Mesir adalah lumbung pangan utama yang menyuplai bantuan ke Madinah.
Ketika masa Khulafaurasyidin berlanjut dengan Khilafah Bani Umayyah, di Kairo dibangun salah satu universitas tertua di dunia, yakni Universitas Al-Azhar. Tidak ayal, Kairo pun menjadi salah satu kota modern pada masa peradaban Islam yang masih bertahan hingga sekarang.
Selanjutnya, pada masa Khilafah Abbasiyah dengan pusat pemerintahan di Baghdad, khalifah berhasil memanfaatkan Sungai Eufrat dan Tigris yang selain menjadi jalur perdagangan strategis juga memiliki lahan yang subur. Dari situ, Khilafah Abbasiyah dapat meningkatkan produksi pertanian untuk menopang perekonomian negara. Hasil bumi yang melimpah menjadi sumber pemasukan kas negara terbesar. Pada saat yang sama, Baghdad juga dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan global.
Adapun mekanisme pembangunan dalam Islam yakni, pertama paradigma pembangunannya adalah pelayanan oleh penguasa kepada rakyatnya, bukan dalam konsep transaksi jual beli seperti yang ada pada sistem kapitalisme. Hal ini karena negara memiliki kewajiban untuk menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya mulai dari sandang, pangan, dan papan, serta pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Kedua, pembangunannya bersifat sentralistik, yaitu seluruhnya dalam pantauan pemerintah pusat. Hal ini bertujuan agar pemerintah pusat mengetahui segala sesuatu yang menjadi kebutuhan suatu daerah dan yang menjadi surplus daerah tersebut.
Ketiga, negara sangat memperhatikan karakteristik desa dan kota yang memiliki ruang hidup yang berbeda. Desa adalah tempat dengan lahan yang luas sehingga pertanian, perkebunan, juga perikanan sangat cocok dikembangkan di sini. Peningkatan produktivitas pertanian akan menambah insentif para petani sehingga bisa meningkatkan taraf hidup rakyat perdesaan.
Oleh karena itu untuk mengentaskan warga perdesaan dari kemiskinan bisa dengan mengoptimalkan produksi pertanian dengan pemberian subsidi terhadap saprotan atau pemberian lahan kepada rakyat yang tidak memiliki lahan untuk bertani. Pemerintah juga harus memperhatikan rantai pasok sehingga produk pertanian bisa diserap pasar dengan baik. Dengan ini, tidak harus dibangun sektor pariwisata di desa yang justru bisa mengganggu produktivitas pertanian. Selanjutnya, tingginya produktivitas pertanian akan mengantarkan pada kedaulatan pangan.
Keempat, baitulmal akan menopang seluruh pembangunan baik di desa dan kota. Sebab pemasukan baitulmal begitu melimpah, khususnya pada pos kepemilikan umum. Haramnya penguasaan dan pengelolaan SDA melimpah oleh swasta menjadikan negara mandiri dalam mengelola SDAnya. Dari sini akan didapat keuntungan yang besar untuk bisa dikembalikan kepada umat dalam bentuk fasilitas atau barang siap konsumsi.
Kelima, penguasa yang amanah akan menjadikan seluruh program berjalan dengan baik. Pejabat pusat dan daerah bahu-membahu memberikan kinerja terbaik bagi rakyatnya, bukan saling mencari celah untuk memperkaya diri sendiri. Walhasil, kehidupan rakyat akan sejahtera, baik di kota maupun di desa.
Keenam, terbukanya jalur komunikasi antara rakyat dan penguasa agar ketika terjadi kelalaian penguasa dalam memenuhi hak rakyatnya, mereka bisa menyampaikan aspirasinya baik langsung secara individu ataupun dengan peran partai politik, Majelis Umat, dan Mahkamah Mazhalim. Empat perangkat inilah yang berperan melakukan muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa). Jalur komunikasi yang baik dan tingginya kepedulian umat ini akan menihilkan celah korupsi sebab oknum pejabat yang berwatak koruptor sudah terdeteksi sejak dini. Demikianlah sempurnanya aturan Islam dalam pengaturan pembangunan kota, mencegah dari adanya kesenjangan, serta menghasilkan pemerataan dalam pembangunan dan kesejahteraan. Wallahua'lam
Tags
Opini
