Oleh : Yuli Yana Nurhasanah
Polemik dari putusan MK tentang peraturan PILKADA, memicu unjuk rasa besar-besaran rakyat Indonesia dari berbagai kalangan terkhusus para mahasiswa. Unjuk rasa ini adalah bentuk protes rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang begitu mudah merubah peraturan dan kebijakan yang dihasilkan hanya menguntungkan para elite yang punya kepentingan.
Buntut panjang dari aksi unjuk rasa, ketua YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Muhammad Isnur mengungkapkan terdapat banyak kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa berlangsung di setiap daerah, dari intimidasi sampai kekerasan terhadap massa aksi.
Pengaduan yang masuk di Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) Isnur mengungkapkan, terdapat ratusan massa aksi ditangkap ketika menuju lokasi aksi, tindakan kekerasan, doxing, sampai penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian. Tindakan represif ini jelas melanggar peraturan internal Kapolri, pelanggaran hukum dan tindak pidana (nasional.tempo.co, 23/8/2024).
Aparat harusnya menyadari, umat unjuk rasa karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara dan aksi ini menjadi salah satu cara mengingatkan pemerintah. Mirisnya aparat justru menyemprot gas air mata dan melakukan tindakan represif lainnya. Hal ini menunjukkan sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat. Seharusnya negara memberi ruang dialog, menerima utusan, dan tidak mengabaikannya.
Teori Demokrasi seakan sangat ideal. Individu rakyat seakan diberi kesempatan untuk berkontribusi dan mengeluarkan aspirasi dalam pengambilan keputusan, kesetaraan hak dan kewajiban, seolah mendapat jaminan dan perlakuan adil bagi semua warga. Salah satu kredonya menyebut vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan.
Akan tetapi realitas tidak seindah teori. Rakyat terlibat politik hanya bersifat prosedural, mereka menyalurkan suaranya hanya di bilik-bilik suara, itupun penuh rekayasa. Kenyataannya kekuasaan dalam demokrasi dibentuk oleh pencitraan dan politik uang. Nyatanya aspirasi rakyat seringnya bertentangan dengan kebijakan penguasa yang di pilihnya.
Faktanya suara manusia tidak sesakral suara Tuhan. Fitrahnya manusia membutuhkan aturan yang menihilkan perbedaan dan pertentangan, karena pada dasarnya manusia rawan perbedaan kepentingan, baik itu individu, masyarakat atau lembaga negara.
Demokrasi saat ini tidak lebih sebagai alat politik yang menopang kekuasaan pejabat yang bersekongkol dengan pemilik modal. Inilah kecacatan demokrasi yang memang sudah cacat sejak lahir.
Memang ada yang berpendapat Islam dan demokrasi ada kesamaan dalam asas musyawarah. Tetapi bila dipelajari secara seksama jelas perbedaannya, musyawarah dalam Islam hanya sebatas cara, sementara sistem demokrasi menganggap musyawarah satu-satunya jalan untuk mengadopsi suatu aturan itupun jika tidak ditunggangi kepentingan pihak tertentu.
Dalam Islam menasihati dan mengkritik kebijakan penguasa itu kewajiban umat, semua dilakukan untuk kemaslahatan umat dan bentuk ketakwaan kepada Allah SWT, bukan untuk kepentingan pribadi apalagi kelompok. Dan tidak boleh mengkritik penguasa dengan menghina pribadi penguasa terkait fisik karena itu adalah ciptaan Allah SWT.
Saat ini tanggung jawab besar bagi setiap umat muslim adalah menghidupkan kewajiban muhasabah lil hukkam, seperti yang dilakukan oleh majelis ummah dan Qadli madzim dalam sejarah umat Islam. Kritik ini terutama dikaukan kalangan intelektual dan pemuda karena merekalah martir kebangkitan umat.
Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Imam Ghazali menyatakan tradisi intelektual masa lalu adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Walaupun sistem dan rezim saat ini represif, namun pantang untuk umat Islam menyurutkan suara untuk menegakkan kebenaran ajaran Islam dan kebutuhan Khilafah sebagai solusi negara saat ini. Cukuplah balasan terbaik dari Allah SWT apapun resikonya.
Islam menjadikan amar makruf nahi munkar sebagai kewajiban setiap individu, kelompok dan masyarakat. Seharusnya penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah, yaitu tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi, sehingga terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Wallahualam bishawab
