Oleh : Maulli Azzura
Setiap tahun Indonesia merayakan HUT RI dan disetiap moment tersebut pasti memberikan keuntungan bagi para terpidana di rutan yakni berupa remisi atau keringanan atau pengurangan masa tahanan.
Sebanyak 488 narapidana Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIB Gresik, Kanwil Kemenkumham Jatim, mendapat remisi umum pengurangan masa tahanan pada momentum Hari Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia. Tercatat 17 orang di antaranya langsung bebas. (suarajatimpost.com 17/08/2024)
Tentunya ada fihak yang diuntungkan tapi disisi lain banyak polemik yang terjadi semisal setelah terpidana keluar dari rutan, mereka kembali berulah atau tidak mencerminkan tindakan perubahan kearah yang positif. Padahal harapan pemerintah memberikan remisi pada terpidana agar berubah kearah yang lebih baik.
Demikianlah setiap tahunnya selalu terulang dengan segudang harapan. Kenyataan ini terbukti bahwa acap kali setelah keluar dari rutan mereka melakukan kejahatan serupa. Bahkan angka kriminalitas dinegeri ini selalu dihadirkan para pemain baru dan motive kejahaan yang berbeda-beda. Hukum buatan manusia memang bersifat tidak tetap dan senantiasa berubah sesuai kehendak mereka.
Produk hukum demokrasi kapitalis jelas hanya mendatangkan kemudharatan saja. Tidak akan membuat efek jera bagi pelaku kriminal. Disisi lain para aparat penegak hukum dan petugas lapas justru memanfaatkan kasus kriminal sebagai jalan untuk meraup pundi-pundi uang yang tak sedikit jumlahnya. Jelas hal ini dikarenakan perilaku hukum dinegeri ini tidak benar-benar komitmen dan konsisten memberantas kriminalitas. Jika demikian masih disebut layak-kah produk hukum demokrasi kapitalis?.
Itulah sebabnya manusia tidak boleh berhukum atau membuat hukum yang dilandasi pada hawa nafsu dan akalnya semata. Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman dalam ayatNya yang artinya :
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada ( hukum ) Allah bagi orang-orang yang yakin"
( QS. Al Maidah :50 )
Ayat diatas maknanya adalah tidak ada hukum siapapun yang lebih baik dari pada hukum Allah.( Imam as Suyuthi, tafsir Al jalalain hal. 91)
Sumber pidana Islam yang berasal dari wahyu Allah SWT akan melahirkan keunggulan-keunggulan lain sebagai implikasinya. Antara lain hukum pidana Islam akan dianggap sebagai wujud ketakwaan individu kepada Allah SWT. Sebaliknya yang terjadi dalam penerapan hukum sekuler tidak melahirkan ketakwaan, karena tidak bersumber dari wahyu Allah SWT. Misal saja ketika penerapan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian, hal itu adalah wujud dari ketakwaan kepada Allah. Sebab hukuman tersebut atas perintah-Nya dalam surat Al Maidah ayat :38.
Akan tetapi berbeda dengan hukum sekuler seperti dalam pasal 362 KUHP bagi pelaku pencurian, ini bukanlah sebuah ketaatan kepada Allah. Karena tidak merealisasikan seperti ketentuan syara', melainkan hanya sebuah sanksi yang dibuat oleh manusia sesamanya.
Hukum Islam berbeda dengan sekuler yakni mempunyai sifat yang tetap ( dawam ) , konsisten, tidak bergantung situasi kondisi waktu serta tempat.Inilah salah satu prinsip keadilan hukum yang hakiki , tidak sepert sekuler ang bebas ditawar bahkan diperjualbelikan sehkngga sangat jauh dari prinsip keadilan.
Hukum Islam juga bersifat zawajir (membuat efek jera di dunia). Sehingga kriminalitas yang ada ditengah-tengah umat tidak akan terjadi secara berulang bahkan dipastikan kondisi masyarakat dalam keadaan aman dan jauh dari rasa takut.Dan sifat jawabir ( menghapus dosa di akhirat ) yang kemudian jka ada pelaku kejahatan maka setelah ia dihukumi perbuatannya maka ia sejatnya telah diselamatkan dirnya dari siksa Allah kelak.
Hukum pidana Islam juga jauh dari peluang permainan hukum karena sifatnya yang spiritual yakni menjalankan berarti sebuah ketakwaan. Hakim yang menjatuhkan hukuman pidana secara curang, akan diancam oleh Allah dimasikan kedalam neraka bahkan digolongkan kafir.
Rasulullah saw bersabda :
"Hadiah yang diterima oleh seorang penguasa adalah suht ( haram ) dan suap yang diterma oleh hakim adalah kufur"
( HR. Ahmad )
Sehingga dalam proses peradilan akan benar-benar dijalankan penuh dengan ketakwaan kepada Allah SWT. Takut karena dosa besar serta sanksi yang tidak bisa terelakan.
Kemudian dalam pelaksanaan serta teknisnya, seorang Qodhi memiliki independensi yang kuat untuk mengadili kasus perkasus. Vonis yang dijatuhkan tidak bisa dibatalkan kecuali vonis tersebut menyalahi syariat Islam. Dalam kaidah fiqih mengatakan " al ijtihad laa yun qodhdhu bi mistlii ( ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijihad semisalnya ). ( Zallm nizham al hukm fi al islam hal : 193 ) yang artinya vonis yang dijatuhkan oleh seorang hakim sebagai hasil ijtihadnya, tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang dihasilkan oleh ijihad hakim lainnya. Maka dalam sistem peradilan islam tidak mengenal "banding " bagi yang tervonis. Berarti pula bahwa vonis bagi terpidana bersifat tetap, tegap laksana karang dan tak bergeser sedikipun bergeser meski diterjang oleh badai.
Begitulah bagaimana hukum pidana islam direalisasikan oleh orang yang amanah ,penguasa yang taat pada aturan Allah semata. Sehingga tidak ada permainan hukum serta kemudahan bagi
pelaku untuk terbebas dari hukuman. Fakta empiris tidak terhapuskan bahwa hanya hukum Islam satu-satunya aturan yang benar. Aturan yang tidak berkompromi dengan kebathilan , aturan yang tidak pandang bulu bukan hanya tajam ketas namun juga tajam kesegala arah. Siapapun yang bertindak krminal akan diadili seadil adilnya baik Muslim maupun non-Muslim. Karena Islam-lah sumber keadilan. Tidak seperti hukum pidana sekuler yang hanya gimmick semata. Maka seperti remisi
pun merupakan tipu muslihat para penguasa memainkan hukum untuk berbisnis dengan kebathilan semata.
Wallahu A'lam Bishowab
