Mahalnya Harga Sebuah Keadilan





Oleh: Asma Sulistiawati 
(Pegiat Literasi)

Keadilan menjadi barang mahal dan langka di negeri ini. Meski bergelar negara hukum, keadilan dalam aspek hukum masih sulit terwujud, apalagi jika korban adalah rakyat jelata. Lantaran lemahnya hukum pula, tak heran jika banyak pelaku kejahatan yang lolos dari jeratan hukum atau hanya dihukum ringan.

Salah satu contohnya adalah kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti yang dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur. Dalam kasus tersebut, Hakim Erintuah Damanik memutuskan vonis bebas terhadap Ronald. Damanik menyatakan bahwa dakwaan pembunuhan, penganiayaan yang mengakibatkan orang tewas, dan kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal disebut tidak terbukti. (Detik.com, 5-8-2024)

Terang saja, vonis tersebut mendapat kritik dari keluarga dan banyak kalangan. Salah satunya adalah Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, yang menilai putusan hakim hanya berdasarkan pemikirannya sendiri, bukan berdasarkan fakta yang tersaji di persidangan. Seharusnya, kata Harli, jika sudah ada dua alat bukti di persidangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 183 (KUHP), yang mana membuat hakim yakin ada peristiwa pidana dan ada pelakunya, maka seseorang sudah bisa dihukum. Sayangnya, meski bukti sudah tersaji di depan mata, pelaku justru tetap melenggang bebas.

Krisis Keadilan

Fakta di atas hanyalah satu dari banyaknya kasus serupa yang berakhir bebasnya tersangka kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan masih menjadi barang langka dan mahal dalam sistem demokrasi. Jika kalangan elite terjerat kasus kejahatan, hukum seolah kelu. Andaipun dihukum, hukuman yang diberikan sangat ringan. Hal sebaliknya terjadi saat pelaku kejahatan adalah rakyat biasa. Hukum menjadi sangat ganas dan seolah tidak ada kompromi.

Di sisi lain, hukum dalam sistem demokrasi tidak mampu memberi efek jera. Hal ini terbukti dengan banyaknya pelaku kejahatan yang berulang kali keluar masuk penjara, baik disebabkan oleh kejahatan yang sama ataupun berbeda. Tanpa efek jera, kejahatan sulit dihentikan. Mirisnya lagi, hukum saat ini mudah dikompromikan bahkan rentan diperjualbelikan. Siapa pun bisa memperoleh keadilan, jika memiliki banyak koneksi dan uang meski ia adalah si pelaku kejahatan.

Inilah akibatnya jika hak membuat hukum diserahkan pada akal manusia yang lemah. Manusia sangat sulit berlaku adil, apalagi jika sudah berbenturan dengan kepentingan pribadi maupun golongannya. Akal manusia yang lemah tidak layak dijadikan rujukan dalam membuat hukum. Hal ini karena setiap orang bisa memiliki pandangan berbeda meski menghadapi satu kasus yang sama. Lemahnya penegakan hukum dan mudahnya hukum diperjualbelikan, justru membuka celah terjadinya banyak kejahatan. 

Keadilan Hakiki dalam Islam

Dalam pandangan Islam, kejahatan adalah pelanggaran terhadap aturan syariat yang mengatur interaksi manusia dengan Allah, dengan sesamanya, dan diri sendiri. Karena itu, Islam telah menetapkan batasan terhadap segala aktivitas manusia agar sesuai dengan hukum-hukum syarak. Ketika ada salah satu interaksi yang dilanggar, berarti dia telah berbuat kejahatan. Untuk setiap kejahatan yang dilakukan manusia, Islam telah menetapkan sanksi tegas. 

Sanksi tegas diperlukan agar setiap manusia tak mudah berbuat kejahatan terhadap orang lain. Bagi mereka yang sudah terlanjur melakukan kejahatan, syariat Islam telah menerangkan bahwa setiap kejahatan yang dilakukan oleh seseorang akan dikenai sanksi di dunia dan akhirat. Untuk sanksi di akhirat terhadap setiap pelanggaran, semua urusannya dikembalikan pada Allah Swt. 

Sementara itu, terkait dengan sanksi di dunia, maka pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi adalah khalifah ataupun orang-orang yang sudah ditunjuk untuk mewakilinya. Seseorang yang sudah diberi sanksi di dunia, maka gugurlah siksanya di akhirat. Hal ini karena sifat hukum Islam adalah sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).

Namun, sebelum sanksi diberikan, negara akan menetapkan upaya pencegahan secara menyeluruh, yakni dengan menetapkan tiga pilar. Pertama, memerintahkan keimanan dan ketakwaan individu. Kedua, kontrol dari masyarakat, yaitu aktifnya masyarakat dalam melakukan amar makruf nahi mungkar, dan sanksi tegas dari negara terhadap para pelaku kriminal. Penerapan tiga pilar tersebut akan menjadi pencegah terhadap kasus-kasus kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. 

Satu hal yang pasti, dalam pembuatan hukum, Islam tidak menyerahkannya kepada akal manusia yang lemah. Pembuatan hukum adalah hak prerogatif Allah. Artinya, Allah-lah yang berhak membuat hukum sebagaimana tercantum dalam surah Al-An'am ayat 57: "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang baik."
Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak