Oleh: Iven Cahayati Putri
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Pemerintah resmi menetapkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam peraturan tersebut, terdapat berbagai aturan terkait penyelenggaraan kesehatan, satu di antaranya tentang aborsi. Menyorot Pasal 116 PP 28/2024, bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis. Di samping itu juga tidak ada larangan untuk aborsi bagi korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan (detik.com, 3-8-2024).
Kebijakan ini pun menuai kontroversi, karena legalnya tindakan aborsi dengan kriteria "korban perkosaan atau korban kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan" oleh tenaga medis. Dalam UU menyebutkan, pembuktian korban yang hendak melakukan aborsi, dengan surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. Selain itu dapat menunjukkan bukti keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.
Memang, konon kebolehan aborsi bagi korban perkosaan sebagai bentuk kepedulian terhadap perempuan yang mengalami kehamilan di luar pernikahan dan menjaga martabat perempuan akibat rendahnya nilai mereka di masyarakat yang hamil di luar nikah. Hanya saja persoalannya tidak sesederhana demikian. Alih-alih merangkul kaum perempuan, di sisi lain justru banyak yang khawatir akan memudahkan aktivitas perzinaan yang menumbuhkan penyakit sekaligus perbuatan maksiat. Sebab, berikutnya siapa pun boleh melakukan aborsi jika kehamilannya tidak diinginkan. Akibatnya, kaum perempuan makin terjerumus dalam aktivitas yang diharamkan oleh agama, dan makin merusak kehormatan mereka.
Belum lagi akibat praktik aborsi cukup berbahaya. Selain pendarahan, pasien juga akan mengalami nyeri, infeksi, kerusakan pada organ intim dan rahim, mengalami masalah psikologis, dan tidak sedikit bertaruh nyawa. Tindakan aborsi sangat rentan terhadap perempuan. Selain itu, kutukan sosial tidak akan hilang meski telah melakukan aborsi.
Sampai detik ini pemerintah hanya fokus pada solusi bagi korban. Namun tidak pernah menelaah penyebab pemerkosaan yang semakin marak. Apalagi bentuk dan motifnya semakin variatif, mulai korban anak kecil hingga berumur, dan pelakunya bisa dari orang terdekat. Hal ini menunjukkan tidak adanya tempat aman bagi siapa pun dalam kehidupan saat ini. Seharusnya itulah yang menjadi fokus pemerintah, yakni mencari cara agar pemerkosaan tidak lagi terjadi.
Perlu diketahui bahwa pemicu kasus pemerkosaan dikarenakan beberapa hal. Pertama, minimnya pengetahuan akan sex education di tengah masyarakat. Padahal hal itu sangat penting diberikan keluarga terhadap anak sebagai bentuk langkah kewaspadaan.
Kedua, rusaknya pergaulan. Tidak ada tabir pemisah antara kehidupan laki-laki dan perempuan. Budaya pacaran, campur baur, bahkan kumpul kebo sudah membudaya di negeri ini. Padahal seringkali tindak pemerkosaan terjadi akibat pergaulan yang kebablasan.
Ketiga, kurangnya kontrol sosial di tengah masyarakat. Sikap malas pusing dan acuh tak acuh mulai mewabah di kalangan masyarakat. Sehingga mulai tumbuh sikap tidak peduli terhadap apa pun yang terjadi. Tak ayal, jika aksi bejat pemerkosaan seringkali terjadi di tengah masyarakat.
Keempat, sistem pendidikan yang rusak. Seringkali terjadi tindak penyimpangan seksual justru terjadi di area pendidikan. Bahkan pelakunya adalah tenaga pendidik. Hal ini membuktikan disfungsi lembaga pendidikan yang tidak sesuai dengan etika pendidikan yang ada.
Kelima, rusaknya media yang menyajikan tontonan yang tidak mendidik. Video-video pornografi dan pornoaksi berseliweran, pelakonnya mengumbar aurat, bahkan tak sedikit konten-kontennya mengundang syahwat. Alat kontrasepsi pun mudah diperoleh, tersedia di toko-toko. Kini, siapa pun boleh memilikinya, apalagi pasca dilegalkannya alat kontrasepsi bagi pelajar, semakin mempermudah tindak perzinaan.
Hal ini pun semakin diperparah akibat sanksi yang diberikan sama sekali tidak memberikan efek jera. Jangankan kapok, para pelaku justru makin tertantang untuk melakukan perbuatan serupa. Maka wajar jika pemerkosaan semakin tumbuh subur.
Perlu dipahami, pemerkosaan atau dengan kata lain perzinaan kian marak dan ketidakamanan perempuan akibat berlakunya sistem sekuler liberalisme yang dijadikan paradigma untuk mengatur kehidupan. Sangat lumrah, jika pendidikan, media, bahkan alat kontrasepsi yang tersedia dengan bebas. Selama tidak merugikan secara materi sekalipun bentuknya bermaksiat kepada Allah SWT, maka hal itu boleh-boleh saja. Dengan demikian kebolehan aborsi yang konon untuk menyelamatkan para pelaku zina, sama sekali tidak menghasilkan solusi yang benar. Bukannya tuntas, justru menambah masalah baru.
Berbeda halnya dengan Islam yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang dimuliakan. Ia dijaga kehormatannya, serta dijunjung tinggi harkat dan martabatnya. Siapapun yang merusaknya, akan dihukum dengan hukuman yang berat.
Berkaitan dengan aborsi, sejatinya ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Ada yang berpendapat jika janin telah memasuki usia 120 hari (4 bulan), maka haram membunuhnya. Namun jika belum ditiupkan ruh atau sebelum 4 bulan, maka para fuqaha memiliki perbedaan pendapat tergantung rincian aborsi dan kasus yang menimpa ibu.
Syekh Abdul Qadir Zallum berpendapat dalam kitabnya hukmu syarifil ijtihad halaman 31 bahwa, aborsi yang dilakukan setelah 40 hari atau 42 hari dari usia kehamilan dan pada saat pembentukan janin maka hukumnya adalah haram sehingga hukumnya sama dengan hukum aborsi pada saat ketika telah ditiupkannya ruh. Sehingga bagi orang yang melakukan aborsi wajib mendapat diyat hurrah baik budak laki-laki atau perempuan atau membayar diyat 1 per 10 manusia sempurna atau setara dengan 10 ekor unta.
Namun sebelum itu, sistem Islam sangat memperhatikan langkah pencegahan agar kasus semacam ini tidak sampai terjadi. Sistem Islam memperhatikan pendidikan keluarga dari yang paling dini. Salah satunya adalah memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan ketika berusia 7 tahun. Selain itu memberikan edukasi terhadap anak, misalnya terkait batasan aurat, siapa saja yang boleh/tidak boleh melihat auratnya, dan batasan antar lawan jenis.
Sistem Islam memperhatikan kualitas pendidikan. Mulai dari kurikulum pendidikan hingga layanan pendidikan. Basis pendidikan dalam islam adalah mencetak generasi yang berakhlak mulia yang berkepribadian islam. Selain itu sistem ini memperhatikan pergaulan. Bagaimana batasan antara laki-laki dan perempuan. Tidak adanya interaksi selain daripada hajat yang penting. Aturan untuk menutup aurat sesuai ketentuan yang berlaku.
Selain itu pemerintah dalam islam memperhatikan kontrol sosial masyarakat dengan menanamkan pemahaman amar ma'ruf nahi munkar kepada masyarakat. Menumbuhkan sikap kepedulian dan saling menasehati jika ada pelanggaran syariat di tengah-tengah masyarakat. Negara pun menutup konten-konten yang mengundang syahwat dan tidak mendidik.
Sistem Islam pula menjaga keamanan bagi seluruh umat manusia dengan menetapkan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera jika melanggar syariat. Tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh seseorang yang telah menikah makan dirajam sampai mati. Dan pelaku yang belum menikah maka ia dijilid 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Pasti, siapapun ia yang dihukum seperti sanksi dalam Islam maka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan memberikan efek jera. Sehingga tidak akan ada calon pelaku akibat tegas dan kerasnya sanksi yang berlaku. Wallahu'alambisshowwab.
