Oleh : Rih Latifa
Wanita adalah Ibu dari manusia. Tidak hanya itu, ia adalah rahim yang melahirkan peradaban, sepatutnya memang segala rupa penghargaan dan perlindungan diberikan padanya. Dalam Islam Wanita memiliki kemuliaan dan dinilai sangat berharga. Bagaimana tidak, bahkan kakinya saja adalah aurat yang harus ditutup, sebab ia memang begitu indah, mampu menggoyahkan mata pria yang tidak tidak bertanggung jawab atas pandangan dan syahwatnya sendiri.
Beberapa fakta yang ada, pemahaman mendasar tentang menutup aurat dan menjaga pandangan ini masih sulit disampaikan dan diterapkan. Dari hal yang dianggap sekecil itulah kejadian besar bisa menimpa. Tidak sedikit kasus pemerkosaan terjadi di Indonesia, korbannya berbagai usia dan profesi. Data yang ada di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah terverifikasi dari awal tahun 2024 sampai saat ini, 13.164 menjadi korban pemerkosaan. Lebih jauh dari itu, siapa yang bisa disalahkan? Hal ini harus menjadi evaluasi pemerintah atas perlindungan terhadap rakyatnya, terkhusus wanita.
Saat ini permerintah sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU-TPKS) untuk menangani kasus pemerkosaan dan sejenisnya. Poinnya berisi hukuman bagi pelaku pemerkosaan adalah jerat penjara, hingga denda mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu bisa dihukum membayar restitusi (ganti rugi pada korban), hak asuhnya dicabut, identitasnya diumumkan, dan kekayaannya dirampas. Lalu apakah itu saja cukup membuat jera bagi korban dan cukup membuat “calon” pelaku lain merasa takut dan terancam? Bagaimana nasib masa depan korban yang sudah ternodai, psikisnya, sosialnya dan kehancuran batinnya? Jika pelaku pemerkosaan adalah si pemilik kekayaan, mudah saja bukan dia membeli hukum dan menyumbat siapa saja yang menyebarkan aibnya?
Belum selesai masalah terkait dengan keamanan bagi Perempuan, kini pemerintah seakan beranggapan memberikan “obat” atas dampak dari perkosaan itu. Pemerintah membolehkan tenaga kesehatan dan tenaga medis untuk melakukan aborsi terhadap korban tindak pidana perkosaan atau korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. Hal itu diatur dalam aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Apakah ini “obat” bagi kehormatan perempuan yang sudah hilang dirampas begitu saja? Aborsi bukanlah sesuatu yang mudah dan membuat wanita menjadi baik-baik saja. Janin dalam rahim wanita ia adalah calon manusia yang akan memiliki jiwa, dengan demikian tidakkah terpikir bahwa Undang-Undang tersebut sama dengan melegalkan untuk membunuh? Jelas sekali dalam Islam ini adalah sesuatu yang haram. Beberapa yang harus diperhitungkan, jika melihat dari unsur kemanusiaan yang selalu mereka agung-agungkan, tentu janin dalam rahim perempuan itu berhak untuk hidup, sekalipun yang mengandung dan yang menghamili menginginkan janin itu untuk lenyap. Lalu, masih dalam sisi kemanusiaan, korban pemerkosaan telah mengalami sakit yang begitu dalam secara batin dan juga fisik, apakah aborsi itu membuat sakit itu hilang? Tentu tidak, sebaliknya aborsi juga tidak kalah menyakitkan dan begitu beresiko.
Begitu peliknya masalah ini, akarnya tetap pada bagaimana sistem yang mengaturnya. Berawal dari bagaimana penerapan pemaham tentang menutup aurat secara sempurna dan menjaga pandangan. Islam sudah mencegah untuk terjadinya sesuatu yang merugikan dan dosa yang besar. Terdengar sepele, menjaga pandangan dan menutup aurat tapi dampaknya luar biasa. Manusia memiliki naluri, seperti laki-laki misalnya yang memang memiliki syahwat terhadap wanita, ini yang harus dibekali dengan ilmu, jika tidak penyaluran atau pemenuhan naluri itu menjadi salah dan sesat.
Selain dari penjagaan yang sifatnya individu juga keamanan umat adalah tanggung jawab pemimpin. Islam sangat memuliakan wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Abdirrahman al-Baghdadi dari Imam as-Syafi'i, dari berbagai riwayat para sejarawan seperti Ibnu Ishaq, Musa bin 'Uqbah dan lain-lain, Bani Qainuqa pernah mengadakan perjanjian damai dengan Rasullullah, namun perjanjian itu akhirnya batal karena mereka melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan dari golongan Anshar yang akhirnya mengakibatkan Rasulullah saw memerangi mereka.
Demikian berharganya seorang wanita di dalam Islam, kasus pelecehan bukan sesuatu yang sepele dan hanya dinilai seakan bukan apa-apa dibanding urusan memperbanyak “harta” negara. Begitupun dengan penanganan pelaku, sanksi yang diberikan dalam Islam adalah sanksi yang tegas, membuat jera dan menjadi contoh agar tidak ada lagi pelaku yang sama. Sebuah riwayat menyebutkan Rasulullah Saw., menjatuhkan hukuman rajam bagi pelaku pemerkosaan.
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari menggunakan batu atau sejenisnya. Hukuman ini umumnya dijatuhkan kepada pelaku zina. hadis Nabi Saw., yang boleh digunakan dalam kasus pemerkosaan ini ialah hadis yang diriwayatkan oleh Wa’il Al Kindi yang bermaksud; “sesungguhnya seorang wanita telah keluar (dari rumahnya) pada zaman s.a.w kerana mahu mengerjakan solat (dimasjid). Lalu seorang lelaki menemuinya (ditengah Jalan), lalu menindih dan memperkosanya serta melepaskan hajatnya (nafsu). Lantas wanita tersebut bertempik, lalu sipelakunya melarikan diri. (Selepas itu) seorang lelaki menemui wanita tersebut, lalu beliau berkata, “ Sesungguhnya lelaki itu telah melakukan sekian dan sekian keatasku (memperkosaku).Kemudian wanita itu bertemu pula sekumpulan muhajirin, lantas berkata, Sesungguhnya lelaki itu telah melakukan sekian dan sekian (memperkosaku). Lalu mereka terus beredar dan menangkap lelaki yang disangka oleh wanita itu bahwa dia telah memperkosanya, lantas mereka membawanya kepada wanita tersebut, lalu dia berkata, ‘ya , dialah orangnya (yang telah memperkosa ku).’ Mereka terus membawa lelaki tadi kepada Rasulullah s.a.w . Ketika Baginda memerintahkan supaya lelaki itu direjam, bangun seorang lelaki (sebenar) yang telah memperkosa wanita itu sambil berkata, ‘Wahai Rasulullah, akulah orangnya (yang memperkosa wanita itu).’ Lantas Rasulullah s.a.w kepada wanita tersebut, ‘ Pergilah, sesungguhnya Allah telah mengampunkanmu.’ Kemudian,Baginda s.a.w berkata kepada lelaki (yang didakwa oleh wanita itu sebagai pemerkosanya) dengan kata-kata yang baik, dan bersabda kepada lelaki (yang mengaku) memperkosa itu, :’ Rejamlah dia, ‘sambil bersabda, ‘ Sesungguhnya dia telah bertaubat (kepada Allah) dengan taubat yang jika seluruh Madinah bertaubat seperti itu, nescaya taubat tersebut diterima (Allah) daripada mereka.
Dipahami dari hadits Nabi Saw., di atas bahwa hukuman atas pelaku pemerkosaan di dalam syariat Islam ialah hukuman rajam, sama dengan hukuman atas penzina. Inilah Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, segala permasalahan jawabannya telah tersedia, sebagai makhluk ciptaan-Nya tidak ada aturan yang layak mengatur selain aturan dari-Nya. Bukanlah berlelah-lelah menciptakan aturan yang nyatanya menimbulkan dampak yang baru.
Sungguh Maha Benar Allah yang memiliki manusia beserta segala nalurinya.
Tags
Opini
