PP Tapera, Menzalimi Para Pekerja




Oleh : Eti Fairuzita



Program pemerintah tabungan perumahan rakyat (Tapera) bak bola panas yang menuai hujan kritik masyarakat. Betapa tidak, pasalnya pekerja swasta ‘dipaksa’ untuk ikut menjadi peserta.
Tapera dibentuk sejak 2016 melalui UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Sebelumnya, hanya PNS yang diwajibkan menjadi peserta program ini, tetapi kali ini pekerja swasta dan mandiri ikut dilibatkan.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera, pemerintah menetapkan iuran sebesar 3 persen yang dibayarkan secara gotong royong yakni 2,5 persen oleh pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja.

Menanggapi Tapera, Aktivis Reforma Agraria, Maradang Hasoloan Sinaga memplesetkan sebagai ‘Tabungan Pembawa Prahara’. Dia menyampaikan, Tapera ini merujuk Peraturan Pemerintah  No. 21 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaran Tabungan Perumahan Rakyat

“Pada Pasal 15, ayat 1 disebutkan Besaran Simpanan Peserta ditetapkan 3 % (tiga persen) dari gaji atau upah untuk peserta Pekerja dan Penghasilan untuk Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (3).
“Terkait peraturan ini, Pasal 54 …..dst. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaran Tabungan Perumahan Rakyat, telah menetapkan Sanksi Administratif kepada Pekerja maupun Pemberi Kerja selaku Peserta,” kata pria yang berprofesi sebagai advokat kepada pewarta, Kamis (30/5/2024).

Bahkan yang lebih berbahaya lagi, sambungnya, sanksi yang diberikan kepada Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
“Pada ayat 1, Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dikenai sanksi berupa peringatan tertulis, denda administrative hingga pencabutan izin usaha,” tukasnya.

Jadi intinya, sambung Hasoloan Sinaga, setiap warga negara yang bekerja baik sebagai PNS/ASN, karyawan/buruh perusahaan swasta, maupun pekerja mandiri/pekerja bebas dan pemberi kerja wajib hukumnya untuk setoran Tapera.
“Jika tidak, maka siap-siap kena sanksi. Ini  namanya ‘Tabungan Pembawa Prahara’, mesti dilawan!,” tegasnya. 

Pemerintah pun bakal mengoperasikan program Tapera untuk pekerja mandiri atau informal selambat-lambatnya pada 2027. Itu artinya, penarik ojek daring, pelaku UMKM, hingga sapam di lembaga swasta turut diwajibkan dalam program tersebut.
Ekonom Indef, Eisha Maghfiruha Rachbini pun menilai iuran Tapera akan merugikan para pemberi kerja dan juga penerima kerja. Eisha menyampaikan iuran Tapera dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. Menurut Eisha, penurunan konsumsi masyarakat tentu memiliki implikasi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Harus diakui bahwa kewajiban Tapera yang akan diberlakukan oleh pemerintah ini menambah beban ekonomi masyarakat. Pasalnya, sebelum adanya tabungan wajib ini, sejumlah iuran seperti BPJS, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pajak, dan potongan lain-lain telah banyak memotong penghasilan masyarakat. Kebijakan pemerintah ini sekilas nampak baik karena bisa mengatasi persoalan hunian masyarakat di negeri ini. Namun dibatasinya peserta Tapera menunjukkan iuran wajib ini hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir masyarakat. Selain itu, waktu pencarian dana sangat panjang. Hal ini tentu menjadikan pemilik tabungan sulit memanfaatkan rumah yang merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat.

Kehidupan dalam sistem kapitalisme memang cukup sulit, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja rakyat harus memutar otak untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Apalagi sistem ekonomi kapitalisme meniscayakan mahalnya harga kebutuhan pokok, pelayanan pendidikan maupun kesehatan. negara sendiri abai terhadap peran utamanya sebagai pengurus rakyat. Sebagaimana kebijakan Tapera ini, sungguh negara menunjukkan jati dirinya hanya sebagai pihak penyedia tanpa mempedulikan apakah rakyat mampu mengakses rumah yang layak atau tidak.

Sementara proyek pembangunan KPR negara selalu mengandalkan pihak swasta yang tentu akan memberi keuntungan cukup besar bagi para pengembang.
Karena itu, kebijakan Tapera yang dipaksakan ini diduga kuat merupakan regulasi yang pro kepada korporasi karena dana yang terkumpul pada akhirnya akan diserahkan kepada korporasi. Inilah buah penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan negara sebagai pelayan korporasi, bukan pelayan rakyatnya.

Berbeda dengan penerapan sistem Islam dalam negara Islam, yakni Khilafah yang menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Dalam Islam, pemimpin diposisikan sebagai pengurus (raa'in) dan pelayan rakyatnya. Tugasnya adalah mengurus seluruh urusan rakyat bukan mengeruk keuntungan dari rakyat.
Khilafah menjamin terpenuhinya semua kebutuhan pokok setiap warga negara Islam secara menyeluruh mulai dari sandang, pangan, dan papan dengan mekanisme yang telah ditetapkan syariat.

Sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, maka semestinya penyelenggaraan perumahan rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara tanpa kompensasi yaitu berupa iuran wajib. Untuk memampukan rakyat memiliki rumah, Khilafah pun memastikan terbukanya lapangan kerja yang luas untuk rakyatnya.
Hanya saja, tingkat pendapatan rakyat tentu berbeda-beda sesuai kapasitasnya. Karena itu, 
jika ada rakyat miskin yang sulit membeli rumah, maka Khilafah akan hadir sebagai penjamin pemenuhan pokok ini.

Dalam menjalankan tanggung jawabnya ini
Khilafah tidak dibenarkan berperan sebagai regulator. Apalagi hingga mengalihkan tanggung jawab ini kepada pihak swasta atau korporasi.
Sementara untuk pembiayaan pembangunan perumahan rakyat miskin diambil dari Baitul Maal yang bersifat mutlak. Dimana sumber-sumber pemasukan dan pintu-pintu pengeluaran Baitul Maal sepenuhnya berdasarkan ketentuan syariat. Artinya, pemerintah tidak dibenarkan menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja apapun alasannya. Apalagi sampai mengkomersialkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok perumahan. 

Bagi rakyat miskin yang memiliki rumah, namun tidak layak huni serta mengharuskan direnovasi maka Khilafah harus melakukan renovasi langsung dan segera, sehingga hasilnya langsung bisa dirasakan oleh mereka.
Khilafah tidak boleh menyerahkan dana pembangunan kepada operator properti sehingga dengan leluasa mengomersilkan hunian yang dibangun dari dana tersebut untuk mencari keuntungan.
Khilafah bisa langsung membangun rumah untuk rakyat miskin di lahan-lahan milik negara. Khilafah juga boleh memberikan tanah miliknya kepada rakyat miskin secara gratis untuk dibangun rumah selama bertujuan untuk kemaslahatan kaum muslim. Demikianlah jaminan terpenuhinya perumahan bagi rakyat hanya akan terwujud dalam Khilafah Islamiyyah.

Wallahu alam bish-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak