Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
“ Politik Balas Budi” ramai dibicarakan lagi, praktik ini bisa dipastikan akan selalu berulang setiap kali ganti periode pemerintahan dan sudah muncul presiden dan wakil presiden terpilih. Sejumlah pendukung presiden terpilih akan ditempatkan di jajaran petinggi BUMN. Widodo.
Pada periode kali ini ada Fuad Bawazier (Gerindra) dan Grace Natalie (PSI), dua mantan petinggi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, ditetapkan masuk jajaran komisaris di induk BUMN tambang, PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID).
Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) pada Maret 2021 ada 14,73 persen jabatan komisaris BUMN diisi oleh tokoh berlatar belakang relawan calon presiden hingga anggota partai. Angka ini setara dengan 71 dari 482 komisaris saat itu. Selain itu, terdapat 51,66 persen kursi komisaris yang diduduki pejabat birokrasi sebagai perwakilan pemerintah selaku pemegang saham BUMN. Sedangkan dari kalangan profesional hanya sekitar 17,63 persen. Sisanya berasal dari aparat penegak hukum, personel militer dan mantan menteri.
Pengamat dan aktivis menilai “politik balas budi” dan semacamnya bisa merongrong kinerja BUMN dan merugikan negara sekaligus menjadi indikasi penyalahgunaan kekuasaan dari praktik “bagi-bagi jabatan” ini, sementara aktivis menyerukan agar BUMN tidak sekadar menjadi “sapi perah” penopang rezim.
Konsultan komunikasi Joko Widodo saat masa pemilu presiden 2014, Riza Primadi meminta publik memberi waktu pada para komisaris baru untuk membuktikan diri. Setidaknya dalam 6 bulan akan terlihat layak tidaknya. Di sisi lain, pemerintah menegaskan para komisaris BUMN terpilih telah melalui uji kelayakan dan kepatutan (BBC.com, 14/6/2024).
Menurut Riza, adalah hal yang lumrah siapa pun yang terpilih sebagai pemimpin membawa “orang-orang yang dipercaya” untuk menempati jabatan penting, entah sebagai menteri ataupun komisaris BUMN, bahkan di Inggris dan Amerika Serikat (AS).
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko mengatakan, jelas ada konflik kepentingan. Yang diutamakan lebih pada faktor kedekatan, bukan profesionalitas atau kompetesi. Padahal sebagai ujung tombak ekonomi, BUMN seharusnya memiliki langkah-langkah pencegahan korupsi yang kuat dengan mengatur konflik kepentingan agar tak merugikan perusahaan (voaindonesia.com,16/6/2024).
Disinilah muncul spekulasi bisnis, dimana BUMN seharusnya melakukan PSO (public service obligation) atau kewajiban pelayanan publik menjadi tidak berjalan karena mengabaikan kompetesi.
Fenomena “ balas Budi” terhadap partai politik atau aktor parpol yang memberi dukungan ini menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto sudah lama terjadi, terutama pasca pemilu. Semestinya, organisasi yang semakin “modern,” perlu diterapkan merit system, yaitu penempatan seseorang di jabatan publik, termasuk di BUMN, berdasarkan kompetensi mereka melalui proses seleksi terbuka.
Politik Transaksional Adalah Keniscayaan Dalam Demokrasi
Hal yang sangat normal dalam sistem demokrasi, politik transaksional adalah keniscayaan karena semua dinilai dari manfaat dan materi yang didapat. Kerjasama juga karena ada kepentingan atau imbalan yang hendak diraih. Tak ada basa-basi bahkan menjadi semacam tradisi yang diamini oleh semua pihak yang terlibat.
Padahal akibatnya tak sepele, mengurusi urusan rakyat, mengelola perusahaan yang tak sekadar menghasilkan laba, dikerjakan tanpa standar termasuk dalam hal kemampuan/kapabilitas menunjukkan pemerintah tidak serius. Yang terjadi adalah hanya mengamankan kepentingan segelintir orang yang kebetulan memiliki kedekatan dengan pemimpin terpilih.
Padahal jelas sabda Rasulullah Saw. “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).
Penguasa Ada Untuk Rakyat, Bukan Orang Dekat
Islam menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanat yang akan diminta pertanggungjawaban di akherat kelak. Ada dimensi ruhiyah yang sangat diperhatikan. Inilah alasan mengapa Rasulullah menahan sahabat Abu Dzar Al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi SAW berkata, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut” (HR Muslim).
Islam menentukan para pejabat termasuk penguasa harus memiliki kapabilitas agar dapat menjalankan perannya dengan optimal, jangan sampai rakyat yang dipimpinnya terzalimi akibat kebijakan yang ia keluarkan. Tak ada tempat untuk orang dekat, Umar bin Khattab saja tidak menginginkan anaknya menjadi pejabat, bukan karena tak mampu tapi hanya ingin tak terzalimi. Hal yang demikian hanya bisa diwujudkan dalam sistem Islam, bukan yang lain. Wallahualam bissawab.
