Kapitalisasi UKT, akan kemana arah pendidikan negeri ini ???





Oleh: Susanti Widhi Astuti, S.Pd  (Guru)


Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terjadi di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN), seperti di di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tjitjik Sri Tjahjandarie membantah saat ini ada kenaikan UKT. Menurutnya, bukan UKT-nya yang naik, tetapi kelompok UKT-nya yang bertambah.
"Ini sebenarnya secara prinsip bukan kenaikan UKT. Tetapi penambahan kelompok UKT," kata Tjitjik.
Pemerintah mengaku telah mengucurkan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Namun, bantuan itu belum bisa menutup semua kebutuhan operasional atau setara dengan biaya kuliah tunggal (BKT).
Seluruh biaya yang ada di PTN merujuk pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Perubahan PT menjadi PTN BH ikut berpengaruh dalam menentukan UKT
       Slah satu hal yang mempengaruhi konsisi PT adalah adanya program WCU (World Class University) yang mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu yang tentu membutuhkan biaya yang mahal, termasuk konsep triple helix yang menjalin kerja sama antara pemerintah, perusahaan, dan perguruan tinggi, sehingga membuat orientasi tak lagi Pendidikan , namun lebih banyak memmenuhi tuntutan dunia industri. Meski terkategori sebagai program lanjutan, pendidikan di tingkat tinggi menjadi batu loncatan untuk menghasilkan inovasi dan teknologi berbekal ilmu pengetahuan yang mumpuni. Peran krusial ini akhirnya terkesan “sepele” karena paradigma pendidikan tinggi yang saat ini bergeser pada komersialisasi pendidikan.
        Kemendikbudristek menjadi sorotan publik setelah Sekretaris Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengeluarkan pernyataan bahwa pendidikan tinggi adalah tertiary education. Tjitjik menyatakan bahwa pendidikan tinggi tidak masuk dalam program wajib belajar sehingga pendanaan pemerintah tidak difokuskan pada pendidikan tinggi, melainkan untuk program wajib belajar.
         Di tengah ramainya polemik UKT, pernyataan ini disayangkan sejumlah pihak. Salah satunya oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemerhati Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. Ubaid menilai pernyataan Tjitjik salah.
        Ubaid dalam siaran persnya, Jumat (17-5-2024), menyatakan apabila pendidikan tinggi itu tersier, negara lepas tangan soal pembiayaan pendidikan tinggi. Itu tidak boleh terjadi. Di sisi lain, menurut Ubaid, pendidikan dasar dan menengah yang merupakan program wajib belajar 12 tahun juga masih belum sepenuhnya memberantas populasi Anak Tidak Sekolah (ATS) sampai saat ini. Ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 yang menunjukkan masih terdapat ATS, yakni SD (0,67%), SMP (6,93%0, dan SMA/SMK (21,61%). (detik.com).
    *Peran Pendidikan* 

     Sejatinya, pendidikan adalah kebutuhan dasar rakyat. Negara berkewajiban menjalankan prosesnya tanpa mengalihkannya kepada pihak mana pun. Hal ini diindikasikan oleh berbagai aspek.

 *Pertama* , pendidikan merupakan tonggak berjalannya satu peradaban.

 *Kedua* , upaya pemenuhan kemaslahatan rakyat berpijak pada para ahli yang aktif melakukan inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Negara seharusnya berinvestasi di bidang pendidikan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat.

 *Ketiga* , masa depan satu peradaban sesungguhnya tidak lepas dari sistem pendidikannya. Sudah selayaknya negara menaruh perhatian terhadap hal ini.

Sayangnya, sistem kapitalisme yang hari ini berlaku tidak mampu mewujudkannya. Sistem ini bahkan mendukung terwujud negara yang menjalankan bisnis dengan rakyatnya di semua lini kehidupan.

     Hal ini tentu berbeda dengan konsep Islam yang di masa kejayaannya mampu menjadi role model dalam mewujudkan peradaban tangguh dan menjadi pusat pendidikan yang maju pada masanya.

 *Perspektif Islam* 
Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia. Bahkan, perhatian Islam terhadap pentingnya pendidikan masyhur dengan ayat pertama yang Allah Swt. wahyukan kepada Rasulullah dalam surah Al-Alaq, “Iqra bismirabbillaadzi khalaq.”

       Pada banyak ayat lainnya, kita menemukan bagaimana Allah memerintahkan manusia untuk mengkaji berbagai fenomena yang ada di alam melalui proses berpikir. Islam bahkan mengibaratkan ilmu sebagai pelita yang menerangi kehidupan.

        Atas dasar ini, setiap muslim—termasuk para penguasa—yang mengemban amanah pemerintahan, memahami dengan cermat peran strategis pendidikan. Tentu saja, pemahaman ini akan benar-benar terwujud jika individu, masyarakat, dan negara memaksimalkan perannya.

       Individu akan terpacu menuntut ilmu karena besarnya ganjaran pahala bagi siapa pun yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu. Masyarakat akan menjadi ruang sosial sekaligus laboratorium bagi siapa saja yang hendak menelaah ilmu. Sementara itu, negara menyediakan fasilitas, menyusun kurikulum, membangun infrastruktur, sekaligus menyelenggarakan pendidikan dengan tanpa membebankan biaya kepada rakyat.

      Negara tidak boleh berlepas tangan atau mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain. Untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat dalam sistem Islam, negara mengandalkan sumber pemasukannya yang ada di baitulmal. Sumber pemasukan itu antara lain kharaj, jizyah, ganimah, ‘usr, dan sumber-sumber yang berasal dari kepemilikan umum, seperti sumber tambang, dan sebagainya. Jika kas baitulmal kurang, negara dapat mengerahkan rakyatnya yang memiliki kelebihan harta (aghniyah) untuk menginfakkan hartanya. Sebagaimana hari ini pun kita menyaksikan banyak yang tulus menyumbangkan hartanya di bidang pendidikan.

Inilah sebagian rangkaian mekanisme negara dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan. Sungguh, sejarah kejayaan peradaban Islam tidak lepas dari peran ilmuwannya. Sangat mudah untuk menemukan fakta ini dalam berbagai manuskrip sejarah maupun ilmiah.

Secara konsep, paradigma Islam jauh berbeda dengan kapitalisme. Pendidikan adalah kebutuhan dasar, tidak akan bergeser statusnya kecuali karena hadirnya konsep kapitalisme pendidikan seperti yang ada hari ini. Sudah selayaknya konsep-konsep Islam kembali mengisi ruang diskusi akademik sebagai komparasi atas sistem kapitalisme yang berjalan hari ini. 
      Dalam Islam Pendidikan menjadi salah satu kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara, sehingga biaya pun ditanggung oleh negara. Negara Islam memliki sumber pemasukan yang banyak sehingga akan mampu menyediakan Pendidikan berkualkitas dengan biaya murah bahkan gratis. Pendidikan tinggi dalam Islam bertujuan untuk membangun kapasitas keilmuan, bukan memenuhi tuntutan industri.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak