Penistaan Agama Kian Subur dalam Sistem Kufur




Oleh. Rus Ummu Nahla
 ( Aktivis Dakwah)



Kasus penistaan agama masih terus berulang terjadi, kali ini dilakukan seorang pria berinisial AK yang merupakan seorang pejabat di Kementerian Perhubungan dan menjabat sebagai kepala kantor otoritas bandara di wilayah 10 Merauke. Dalam aksinya, pelaku (AK) melakukan sumpah sambil menginjak Al Quran demi meyakinkan istrinya bahwa dia tidak berselingkuh. Kejadian ini kemudian dilaporkan ke pihak kepolisian oleh istri AK. Menurut sang istri, pelaku kerap kali berbohong, meski sebenarnya perilaku selingkuh AK sudah diketahui sebelumnya oleh sang istri. Kompas.com , Kamis (16/5/2024)


Penistaan terhadap agama Islam sering terjadi. Pada kasus penistaan kali ini, meski dilakukan bukan karena faktor kebencian terhadap agama, namun tindakan tersebut tetap saja terkategori menistakan agama Islam. Bagaimana bisa, seorang muslim dalam keadaan sadar, berani menginjak Al Quran yang merupakan kitab sucinya? Terlebih Al Quran merupakan kitab yang dimuliakan umat Islam. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa lemahnya iman dan jauhnya seseorang dari nilai ketakwaan. Perbuatan tersebut sungguh diluar akal sehat yang mungkin hanya dilakukan oleh hanya orang yang tidak waras saja, tersebab hilang akalnya.

Sejak sekulerisme bercokol, telah terjadi banyak penistaan terhadap agama (Islam) dan ajarannya. Ironisnya ini bukan dilakukan oleh orang non muslim saja, melainkan juga oleh orang muslim sendiri. Semestinya hal ini tidak boleh terjadi, terlebih Indonesia berpenduduk mayoritas muslim. Agama serta kitab suci saat ini sudah bukan lagi dianggap sesuatu yang sakral, sehingga dengan mudah dan entengnya seseorang mengolok-olok dan menistakan agama. Ide kebebasan berekspresi yang dijajakan dan ide kebebasan berpendapat menjadi pelegalan bagi orang yang melakukan penistaan. Selain itu atas nama hak asasi manusia serta derasnya arus moderasi yang digencarkan menjadi pelengkap faktor penyebab munculnya penistaan agama yang kerap terjadi.


Muara dari semua persoalan ini adalah sekularisme dalam negara. Agama dinihilkan perannya dalam mengatur kehidupan. Agama (Islam) hanya masuk ke ruang sempit ibadah saja. Terlebih saat ini, dakwah Islam semakin dipersempit ruangnya dengan kebijakan pencabutan dan pembubaran ormas Islam yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa. Penguasa lebih memilih aturan yang dibentuk berasal dari warisan Belanda yakni KUHP. Sebagai contoh dalam menghukumi para penista, undang-undang menyatakan, bahwa seseorang yang melakukan penistaan agama di Indonesia akan dikenakan sanksi hukuman penjara selama lima tahun. Hal ini diatur dalam KUHP ayat 156a. Namun, pada praktiknya pelaku penistaan dihukum tidak selama itu. Bahkan pelaku bisa bebas dari hukuman, karena pemberlakuan sistem pengadilan berjenjang. Dalam banyak kasus yang terjadi, banyak juga pelaku penistaan bisa bebas dengan sekedar melakukan permintaan maaf, baik itu dilakukan dengan ucapan secara langsung maupun hanya tertulis, setelah itu kasusnya selesai.


Melihat realitas demikian, penguasa abai terhadap kejahatan ini. Terlepas disadari atau tidak, sekularisme yang mengakar dalam sistem saat ini menjadi sumber masalah dalam pengaturan bermasyarakat dan bernegara. Satu sisi masyarakat tersinggung karena kitab sucinya dinistakan, namun sisi lain menganggap hal tersebut sebagai ekspresi kebebasan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan kata lain, sekularisme telah menjadikan nilai nilai manusia lebih tinggi daripada ajaran Islam. Hal ini telah juga sekaligus menyingkirkan Islam sebagai sebuah aturan kehidupan yang paripurna.

Beda halnya dengan pengaturan yang didasarkan pada Islam, dalam Islam pelaku penistaan akan dihukumi dengan hukuman berat hingga hukuman mati. Sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah. Dalam kitab Nizam Al Uqubat dinyatakan, “ jika pelakunya muslim maka dia akan diberikan sanksi had murtad yakni hukuman mati. Namun, jika dia bertaubat maka hukuman akan dikembalikan kepada kebijakan Khalifah.
Dan jika penista agama adalah non muslim dari kalangan kafir dzimmi  maka Khalifah akan melepaskan jaminan terhadapnya dan diusir dari negara Islam, bahkan dibunuh. Dan jika pelaku penistaan bukan dari kalangan kafir dzimmi, maka Daulah Islam akan menyatakan perang terhadap Negara yang bersangkutan”. (Syaikh Abdurahman Al Maliki)

Jelas hal tersebut terlihat betapa negara dalam Islam sangat menjaga kemuliaan ajaran agama dan kitab sucinya. Dan penerapan hukuman tersebut dapat langsung memberikan efek jera sekaligus dapat mencegah orang bahkan negara untuk melakukan penistaan. Bukan hanya itu, negara akan mampu menciptakan masyarakat yang nyaman dalam menjalani kehidupannya.


Penistaan terhadap agama akan terus subur sepanjang sekularisme masih bercokol di benak manusia dan penguasa. Oleh karena itu, harus ada upaya dari umat dengan bantuan penguasa yang ikhlas untuk mengubur dalam-dalam Sistem Kufur sekularisme dan menggantinya dengan penerapan syariat Islam secara kafah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak