Kenaikan UKT Batal, Apakah Masalah Selesai?




Oleh: N. Vera Khairunnisa



Setelah ramai aksi protes menolak kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) selama beberapa waktu ke belakang, pada hari Selasa, 28 Mei 2024, Mendikbudristek Nadiem Makarim menyatakan telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT pada tahun ini dan akan merevaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari PTN.

Menurutnya, keputusan tersebut diambil setelah pemerintah berdialog dengan para rektor universitas dan mendengar aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan terkait isu yang belakangan menjadi sorotan publik ini. (antaranews. com, 28/5/2024)

Meski begitu, pembatalan ini nampaknya bukanlah akhir dari masalah. Kita melihat bahwa isu kenaikan UKT kemarin, telah membuka berbagai fakta yang selama ini tidak terungkap. Misalnya, mengenai tanggapan dari Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie. 

Ia menyatakan bahwa kuliah atau pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier. Menurutnya, tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. (cnnindonesia. com, 16/05/2024)

Karena mendapat banyak kritik dari berbagai pihak, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek Abdul Haris melakukan klarifikasi terkait pernyataan sekretarisnya. Ia menyatakan bahwa pihaknya akan tetap berkomitmen kalau pendidikan tinggi adalah sebuah kebutuhan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Ia juga menyampaikan dengan berkomitmen terhadap pemenuhan pendidikan, akan mewujudkan sumber daya manusia (SDM) menuju Indonesia Emas 2045. (kompas. tv, 21/05/24)

Jika betul-betul komitmen bahwa pendidikan merupakan kebutuhan, dan memiliki cita-cita mewujudkan SDM berkualitas menuju Indonesia Emas 2045, seharusnya bisa dibuktikan dengan membiayai pendidikan secara penuh, bukan menyerahkan pembiayaan pada lembaga pendidikan. Karena jika hanya mengandalkan subsidi yang tidak seberapa, biaya kuliah tetap mahal dan tidak bisa dijangkau oleh semua pihak.

Hanya saja, pembiayaan secara penuh untuk pendidikan menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan dalam sistem kapitalisme dewasa ini. Karena sistem ini sangat minim sumber pendapatan. Sumber utama pembiayaan dari pajak, tentu tidak mencukupi. Jika pun negara mampu mencukupi pembiayaan, maka pajak yang ditetapkan untuk rakyat akan semakin besar. Kembali, rakyat lagi yang mendapat beban.

Pendidikan dalam Perspektif Islam

Masalah mahalnya biaya kuliah, ini muncul karena kesalahan dalam memandang pendidikan. Buktinya, muncul pernyataan pendidikan tinggi yang dianggap sebagai kebutuhan tersier. Jika pandangan ini terus diopinikan sejalan dengan biaya kuliah yang semakin mahal, maka akan semakin sedikit para pemuda yang memiliki tekad untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat tinggi.

Dalam Islam, pendidikan merupakan perkara yang sangat penting. Betapa banyak dalil yang menjelaskan tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu. Di antaranya ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw.:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Meraih ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR Ibnu Majah).

Dalil di atas saja sebetulnya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dalam Islam, menuntut ilmu itu wajib. Terkait dengan hukum wajib ini, Islam membaginya ke dalam dua bagian: 

Pertama, fadhu 'ain, yakni mempelajari ilmu agama yang wajib diamalkan oleh setiap individu. Setiap muslim diwajibkan untuk mempelajari akidah, fikih dan muamalah.

Kedua, fardhu kifayah, yakni memperdalam tsaqâfah atau ilmu-ilmu agama yang dibutuhkan umat, seperti ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadis, dsb. Jika jumlah ulama dalam bidang ini telah mencukupi kebutuhan umat secara keseluruhan, maka gugurlah kewajiban tersebut. Dasarnya adalah firman Allah SWT:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi kaum Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali, supaya mereka itu dapat menjaga diri mereka” (TQS at-Taubah [9]: 122).

Termasuk dalam fardhu kifayah ini adalah mencetak pakar sains dan teknologi yang dibutuhkan umat. Para ulama bersepakat akan hukum ini. Di antaranya dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn. 

Keberadaan ahli di bidang kedokteran, farmasi, kimia, nuklir, dan sebagainya vital bagi umat. Jika jumlahnya belum mencukupi, maka berdosalah kaum muslimin secara keseluruhan. Dalil bahwa kaum Muslim membutuhkan pakar di bidang sains dan teknologi adalah kebijakan Nabi saw. yang pernah mengutus Urwah bin Mas’ud dan Ghilan bin Salamah ra. untuk mempelajari cara membuat dababah (sejenis alat perang zaman dulu) dan manjanik (pelontar batu besar). (Buletin Kaffah edisi 344, Mei 2024)

Pembiayaan Pendidikan di dalam Islam

Karena menuntut ilmu dalam Islam itu wajib, maka negara sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk mengatur masyarakat, wajib menyediakan sarana prasarana yang bisa menunjang proses pendidikan. Setiap individu dalam negara berhak mendapatkan layanan pendidikan dengan biaya yang sangat murah bahkan gratis. Pertanyaannya, dari mana sumber pendapatan yang bisa digunakan untuk biaya pendidikan?

Dalam Islam, untuk membiayai seluruh kebutuhan pendidikan, negara mengambilnya dari Baitul Mal. Ada tiga sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan, yaitu:

Pertama, pos fa'i dan kharaj, yang merupakan kepemilikan negara, seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pungutan khusus).

Kedua, pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut dan hima (milik umum yang penggunaannua telah dikhususkan).

Ketiga, wakaf untuk pendidikan dari individu yang kaya dan cinta ilmu. Mereka menyediakan pendidikan gratis, riset, dll. 

Jika tiga sumber pendapatan itu tidak cukup dan dikhawatirkan berdampak negatif bagi keberlangsungan perguruan tinggi jika tidak segera dipenuhii, maka negara wajib segera mencukupinya dengan utang (qardh). Utang ini dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah yang dipungut dari kaum muslimin, laki-laki yang kaya dari kelebihan harta mereka.

Pandangan Islam yang begitu mengutamakan pendidikan, ditambah dengan penerapan sistem ekonomi Islam, maka negara bisa menunaikan kewajiban untuk menjamin pendidikan bagi rakyatnya. Hanya saja, semua ini tentu bisa diterapkan dalam negara yang menjadikan Islam sebagai asas dalam mengatur segala aspek kehidupan.

Maka, daya kritis kita jangan hanya cukup dengan menolak kenaikan UKT, namun harus dilanjutkan dengan menolak total sistem kapitalisme yang membuat terpuruk negeri ini dalam segala bidang, di sisi yang lain masyarakat juga harus memiliki kesadaran dan kerinduan mengembalikan sistem kehidupan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak