Gen Z Menganggur, Negara Gagal Menciptakan Lapangan Pekerjaan



Oleh: Nita Nur Elipah



Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Bila dirinci lebih lanjut, anak muda yang paling banyak masuk dalam ketegori NEET justru ada di daerah perkotaan yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan.

Fenomena maraknya pengangguran di kalangan Gen Z menjadi ancaman serius bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045. Gen Z adalah mereka yang lahir pada 1997 hingga 2012. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan banyak dari pengangguran berusia muda tersebut tercatat baru lulus SMA sederat dan perguruan tinggi.

Banyaknya pemuda yang menganggur tentu sangat memprihatinkan. Karena mereka sedang berada pada masa puncak produktivitas sehingga seharusnya mendayagunakan seluruh potensinya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, membantu orang tua, dan lebih-lebih adalah untuk memberi manfaat kebaikan di tengah-tengah masyarakat. 

Sayangnya, kini potensi tersebut seolah terbuang percuma karena Gen Z tidak memiliki kesempatan untuk bekerja. Dampaknya tidak hanya pada kesejahteraan dirinya, tetapi juga pada para orang tua yang masih harus terus menanggung nafkah anak yang sebenarnya sudah dewasa dan bisa hidup mandiri. 

Namun, banyaknya pemuda tanpa kegiatan bukan semata disebabkan faktor diri Gen Z yang kurang tangguh sehingga mudah menyerah ketika mengalami penolakan demi penolakan. Faktor yang lebih dominan adalah kegagalan pemerintah dalam mencegah tingginya angka NEET. 

Kegagalan ini mewujud pada tiga hal, yakni pertama, negara gagal menyiapkan para pemuda untuk menjadi sosok yang berkualitas melalui sistem pendidikan. Seharusnya sistem pendidikan mampu membentuk para pemuda menjadi orang-orang yang memiliki keahlian tertentu untuk bekal mereka hidup. 

Kedua, negara gagal menyediakan pendidikan tinggi yang terjangkau oleh setiap rakyatnya. Contohnya seperti tingginya UKT yang kini menjadi sorotan banyak pihak. UKT di kampus negeri naik secara gila-gilaan sehingga banyak pemuda yang gagal kuliah karena tidak mampu membayarnya.

Ketiga, negara gagal menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Pemerintah selama ini membanggakan proyek strategis nasional (PSN) bernilai triliunan rupiah dengan klaim akan menyerap tenaga kerja, tetapi hasilnya ternyata minim. Nilai investasi tidak sebanding dengan lapangan kerja yang ada, padahal berbagai regulasi sudah di buat melalui UU Cipta Kerja demi memuluskan investasi. 

Seharusnya bonus demografi berupa besarnya jumlah generasi muda diiringi dengan terbukanya lapangan kerja dalam jumlah yang besar. Namun sayangnya, negara abai terhadap hal ini sehingga berdampak meledaknya jumlah pengangguran usia produktif. Bonus demografi kini justru menjadi tragedi demografi.

Tragedi demografi ini sesungguhnya merupakan buah busuk penerapan ideologi kapitalisme yang liberal. Betapa tidak, kapitalisme telah menjadikan fungsi negara hanya sebagai pengawas. Negara tidak turun tangan menyolusi masalah warganya.  Padahal negara menguasai tambang, hutan, laut, sungai, pulau, gunung, sawah, dan uang dalam jumlah besar ternyata tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang mencukupi kebutuhan warganya.

Negara secara liberal menyerahkan berbagai kekayaan yang luar biasa tersebut kepada korporasi swasta, baik lokal maupun asing. Liberalisasi ekonomi ini menjadikan sumber daya alam dikuasai segelintir pemodal. Miris, setelah kekayaan alam diserahkan, anak bangsa pun kehilangan kesempatan untuk mengakses pekerjaan. Inilah pengkhianatan jahat yang dilakukan penguasa terhadap rakyat.

Kondisi yang berbeda 180° terjadi dalam sistem Islam. Sistem Islam (Khilafah) menjalankan isi Al-Qur’an dan Sunah yang menempatkan kekayaan alam, seperti tambang, hutan, sungai, laut, gunung, dan sebagainya sebagai milik umum sehingga haram diswastanisasi. Semua itu milik umum yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.

Dalam rangka pengelolaan kekayaan alam tersebut, Negara Khilafah akan melakukan industrialisasi sehingga membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar. Kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas akan bisa dipenuhi karena Khilafah menyelenggarakan sistem pendidikan Islam yang menghasilkan output generasi berkepribadian Islam dan sekaligus memiliki kompetensi tertentu.

Pendidikan di dalam Khilafah bisa diakses oleh siapa pun karena gratis. Generasi muda bisa sekolah setinggi-tingginya tanpa terkendala biaya. Tidak hanya gratis, mereka bahkan mendapatkan fasilitas berupa asrama, makan, minum, pakaian, buku pelajaran, alat tulis, layanan kesehatan, dan transportasi. Dengan demikian, generasi muda tidak akan dipusingkan dengan UKT, BKT, SPI, biaya kos, makan, transport, buku, dll..

Generasi muda dalam Khilafah bisa memilih, apakah setelah lulus pendidikan dasar (ibtidaiah, mutawasithah, dan sanawiah) memutuskan bekerja sesuai kompetensinya karena sistem pendidikan sudah mendidik mereka menjadi orang yang memiliki kompetensi tertentu, atau mereka kuliah di perguruan tinggi karena negara menggratiskannya hingga level pendidikan tertinggi, yaitu doktoral (S3) yang mencetak para pakar.

Inilah gambaran negara Khilafah yang menyejahterakan para pemuda. Mereka dijamin tidak menganggur. Mereka bahkan akan membaktikan segala potensinya untuk umat sehingga menghasilkan berbagai penemuan yang bermanfaat untuk umat dan bahkan menghasilkan peradaban nan terdepan dalam kemajuan. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak