Oleh: Firda Isnaini
(Aktivis Muslimah)
Gen Z terancam menyandang gelar ‘tunawisma’ menjadi persoalan yang sudah diprediksi jauh hari. Tentu, bukan tunawisma yang diartikan sebagai gelandangan, tetapi tunawisma yang mereka bisa ngekos atau tinggal di apartemen tetapi tidak punya kemampuan untuk memiliki rumah. Menurut menkeu, Sri Mulyani menyatakan bahwa gen Z saat ini makin sulit punya rumah karena kenaikan harga rumah yang tidak sebanding dengan pendapatan (cnnindonesia.com, 14/07/2022). Faktanya, meskipun sudah sangat hemat dengan pendapatan yang dimiliki, gen Z masih kesulitan untuk bisa memiliki rumah.
Misalkan saja, dengan gaji 8jt, kebutuhan hidup yang harus dipenuhi sekitar 3jt, seperti makan, bensin, kost, dll., maka sisa 5jt bersih bisa ditabung untuk beli rumah. Walaupun, gaji 8jt ini juga bukan perkara yang mudah untuk dicari. Sisa 5jt tadi akan terkumpul 60jt selama setahun dan 10 tahun lagi sudah terkumpul 600jt untuk membeli rumah. Setelah 10 tahun, gen Z baru bisa membeli rumah dengan standar harga 600jt. Itupun tidak boleh sakit, tidak boleh kecelakaan, tidak boleh memberi hadiah, tidak boleh ada hp rusak, dan tidak boleh ada dana insidental lainnya. Tentu, hal ini tidak mungkin karena variabel hidup pasti bermacam-macam.
Di sisi lain, pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna memberikan pernyataan bahwa penyebab gen Z susah punya rumah adalah peningkatan ppn sebanyak 12% (detik.com, 22/03/2024). Tentu, kenaikan ppn ini bukan perkara yang sepele. Ini bukan hanya tentang perkara harga rumah yang tidak mudah dicapai atau kpr yang mahal. Namun, ketika kita hidup, kita butuh makan, minum, membeli barang, air, listrik, sarana mobilisasi. Sedangkan, ppn itu melekat pada semua hal tersebut, semua yang kita makan, minum, pakai, gunakan, dsb. Bahkan, sesepele permen saja itu ada ppnnya. Ketika pajak meningkat, itu benar-benar memberikan beban berat bagi masyarakat, khususnya dalam kasus ini adalah gen Z. Padahal, gen Z juga butuh hidup dan pasti memiliki kebutuhan hidup. Ketika ppn meningkat, otomatis harga barang ‘ganti’. Mungkin bagi pemerintah, ppn memberikan tambahan pemasukan APBN, tetapi hal ini cukup memberatkan walaupun hanya ditingkatkan sedikit saja. Peningkatan ppn ini menjadi beban tersendiri bagi gen Z sehingga menjadi faktor ketidakmampuan gen Z untuk bisa memiliki rumah.
Persoalan ini tidak bisa dipandang hanya secara individu. Gen Z cukup boros dalam membelanjakan pendapatannya, tidak mampu mengelola keuangan, malas bekerja, tidak memiliki keinginan untuk mengasah skill untuk bekerja lebih optimal, atau tidak berusaha mencari pekerjaan dengan gaji yang layak. Sehingga, Gen Z dilabeli “layak” untuk tidak mampu membeli rumah. Bukan hal itu, tetapi perkara ini merupakan persoalan yang sistemik.
Ketidakmampuan gen Z ini bukan dialami hanya satu dua gelintir orang saja, tetapi dialami oleh mayoritas gen Z di negeri kita. Sementara itu, populasi usia gen Z mendominasi mayoritas penduduk negara Indonesia (liputan6.com, 26/01/2024). Ketika mayoritas warga negaranya tidak mampu memiliki rumah atau menjadi ‘tunawisma’, hal ini cukup membahayakan bagi peradaban suatu bangsa.
Misalnya saat ini, pengamat sudah mulai menghubungkan dampak permasalahan ini dengan penurunan angka pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak ada kepercayaan diri dan tidak ada jaminan kesejahteraan hidup untuk bisa membangun kehidupan berumah tangga. Kepercayaan diri ini pudar atau bahkan sudah hilang karena suatu kebutuhan primer saja mereka tidak mampu memilikinya, yaitu hunian.
Angka pernikahan yang menurun ini dapat menimbulkan rentetan dampak lain. Bahkan, pengamat menyatakan kekhawatiran akan Indonesia menjadi seperti Jepang, krisis populasi (kaltimpost.jawapos.com, 06/03/2024). Ketika angka pernikahan menurun, suatu negeri akan mengalami stagnasi pertumbuhan generasi yang akan berdampak pada populasi. Artinya, tidak ada generasi yang dapat mengisi peradaban suatu bangsa di masa depan. Memang, hal ini merupakan sesuatu yang seolah-olah masih terlalu jauh. Namun, hal yang dianggap “masih nanti” ini bisa jadi terjadi, atau bahkan bisa dipastikan terjadi apabila persoalan tidak segera diatasi.
Berat beban hidup yang ditanggung generasi serta tidak ada jaminan atas kesejahteraan hidup, ini semua akan berdampak bagi negara itu sendiri. Ketika suatu negara tidak mampu memberikan jaminan kesejahteraan, generasi tidak akan memberikan seluruh pemikiran dan dedikasinya untuk kebaikan bangsa. Generasi cukup sibuk berkutat pada pemikiran tentang hidup dirinya sendiri karena mereka belum selesai terhadap permasalahan pribadi mereka. Permasalahan makan, minum, hunian saja mereka masih pusing dan bingung, bagaimana kita menuntut mereka menjadi generasi unggul yang memikirkan persoalan bangsa. Padahal, keberadaan mereka sangat penting bagi suatu bangsa. Artinya, ini persoalan sistemik yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Maka tidak salah, sejarah Islam telah mencatat perlakuan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat memperhatikan para pemuda. Ketika semasa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hal yang menjadi poin perhatian itu bukan hanya sekedar pendidikan gratis dengan kualitas terjamin, pemuda harus sehat, tangguh, dan kuat dengan jaminan kesehatan yang berkualitas, kebutuhan pokok yang harus murah, dsb., bukan hanya sekedar itu. Tetapi, khalifah sangat memperhatikan kemudahan bagi para pemuda dalam hal pernikahan. Selain itu, khalifah juga memastikan jaminan kehidupan bagi generasi itu untuk percaya diri dalam menyegerakan pernikahan. Hal ini tercantum dalam kisah yang cukup terkenal bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan modal bagi pemuda yang belum menikah untuk menyegerakan pernikahan, baik dana untuk pernikahan maupun dana untuk membuka usaha sebagai upaya dalam memampukan kepala rumah tangga.
Artinya, sebuah negara besar itu pasti akan memikirkan tingkat kesejahteraan generasi penerus bangsanya. Sedemikian besar negara itu saat ini, ketika generasi penerusnya itu terancam kehidupannya, dalam arti tidak ada jaminan kesejahteraan, tidak ada kemampuan dalam hal kemapanan hidup dan bertahan hidup, bangsa itu akan kehilangan masa depannya. Sebab, mereka tidak bisa mengharapkan peran generasi penerus bangsa tersebut untuk berkiprah menyelesaikan persoalan negara demi membangun bangsa.
Seharusnya, persoalan ini menjadi persoalan yang serius untuk dikaji. Sudah saatnya sebagai muslim mengkaji sistem peradaban Islam agar bisa belajar bagaimana peradaban Islam di masa kekhalifahan itu sungguh luar biasa dengan sistem yang utuh mampu membentuk pendidikan gratis, kesehatan gratis, keamanan terjamin, bahkan perkara nikah saja diberikan modal. Bagaimana bisa suatu bangsa begitu surplus dan kaya berlimpah sehingga mampu mensejahterakan rakyat dari seluruh sisi kehidupan?
Sehingga, sebagai muslim, hendaknya kita mulai mengkaji lebih dalam Islam secara kaffah atau secara keseluruhan untuk diimplementasikan di dalam kehidupan. Terbukti secara empiris, sistem ini mampu mensejahterakan dan menjamin kehidupan negaranya, begitupun generasi penerusnya.
Tags
Opini
