Kenaikan Harga Mi Instan, Bukti Rapuhnya Ketahanan Pangan






Oleh : Bunda Hanif


Mi Instan merupakan makanan favorit masyarakat Indonesia, terutama kaum remaja. Di Indonesia, konsumen tertinggi mi instan adalah usia 10-19 tahun. Namun, apakah mereka tahu bahwa mi instan sekarang harganya merangkak naik?

Imdonesia merupakan negara peringkat kedua sebagai konsumen mi instan terbanyak di dunia (Cnnindonesia, April 2022). Sejumlah 68,3 persen remaja usia 10-14 tahun mengonsumsi mi instan 1-6 bungkus per pekan, sedangkan di usia 15-19 tahun mencapai 64,8% (Solopos, Maret 2022)

Mi instan menjadi makanan yang digemari remaja karena bisa langsung dinikmati dengan instan dan harganya murah, walaupun terkategori makanan yang kurang bergizi. Fakta tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia lebih mengutamakan harga yang murah ketimbang gizi. Dengan naiknya harga mi instan tentu saja akan menjadi problem bagi masyarakat, khususnya remaja. 

Beberapa alasan disinyalir menjadi penyebab kenaikan harga mi instan, diantaranya adalah  pasokan gandum yang berkurang dan mahal akibat perang sampai minim dan naiknya harga bahan-bahan tambahan seperti cabai dan minyak goreng. 

Indonesia sebagaimana kita ketahui adalah negeri yang luas daratannya dan subur tanahnya, tetapi mengapa untuk kebutuhan gandum harus impor dari negara lain? Apakah lahan yang ada tidak cukup luas untuk memproduksi dalam jumlah besar cabai dan minyak goreng. Tentunya hal ini dikarenakan ada yang salah pada pengelolaan lahan pertanian di negeri ini. 

Kebutuhan pangan masyarakat seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Bukan malah menyerahkannya kepada korporasi yang menjadikan semua barang termasuk kebutuhan makanan sebagai komoditas ekonomi yang berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya. Korporasi tidak akan perduli dengan kondisi daya beli masyarakatnya. Padahal masih banyak masyarakat Indonesia yang daya belinya rendah. 

Negara yang menganut sistem kapitalisme hanya sebagai regulator yang mengeluarkan kebijakan bagi perusahaan agar mereka bisa melakukan aktivitas ekonomi dengan nyaman yang nantinya akan memberikan pemasukan bagi negara. Rakyat tetap harus berjuang mencari nafkah agar mampu memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. 

Sangat jauh berbeda jika aturan Islam diterapkan. Islam mewajibkan pihak-pihak tertentu untuk bertanggung jawab dalam memenuhi pangan keluarga. Seorang ayah berkewajiban memberi makan anggota keluarganya. Jika ia tidak mampu, maka tanggung jawab tersebut beralih kepada wali yang lainnya. Dan jika semua tidak mampu, akan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.

Negara dalam sistem Islam akan memastikan semua masyarakatnya terpenuhi kebutuhan pangannya. Mengontrol para laki-laki apakah mereka mampu melaksanakan kewajibannya. Negara juga menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk para laki-laki agar mereka bisa mencari nafkah serta menyediakan pangan yang murah bahkan memberikan pangan secara cuma-cuma kepada rakyat yang tidak mampu. 

Negara Islam juga memperhatikan tersedianya bahan makanan yang berkualitas atau bergizi untuk seluruh masyarakat, khususnya remaja, Karena remaja adalah generasi muda penerus pembangunan bangsa. Kondisi mereka harus kuat dan tidak lemah baik fisik maupun mentalnya. Ini semua didapatkan salah satunya dari kebiasaan mengkonsumsi makanan yang bergizi. 

Sayangnya, saat ini Islam tidak diterapkan dalam kehidupan. Sistem kapitalisme tidak akan mampu mewujudkan ketahanan pangan. Semua aktivitas diukur dari pencapaian materi. Orientasi terhadap keuntungan menjadi ciri khas sistem rusak ini. Kebutuhan masyarakat terhadap bahan makanan pokok menjadi barang mewah yang sulit didapatkan, meskipun itu hanya sebuah mi instan. Lalu bagaimana negara mampu menghasilkan generasi yang sehat dan kuat manakala kebutuhan pangan mereka tidak tercukupi? 

Wallahu ‘alam bisshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak