Erni Setianingsih
(Aktivis Dakwah Kampus)
Indonesia kembali merayakan hari kemerdekaannya. Di tahun ini, Indonesia memasuki usia ke-77 tahun. Bagi Indonesia 77 tahun yang lalu, merdeka berarti terbebas dari penjajahan. Tetapi, di usianya yang kini menginjak 77 tahun, makna kemerdekaan bagi masyarakat Indonesia tidak terbatas pada melawan penjajah saja, tetapi juga melawan berbagai permasalahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari kata merdeka adalah bebas dari perhambaan, penjajahan dan sebagainya. Negeri ini memang telah merdeka dari penjajahan secara fisik atau militer. Tapi, nyatanya sekarang perayaan hari kemerdekaan yang digelar di setiap sudut kota dan desa, ditemani rakyatnya yang mayoritas sengsara. Akibat banyaknya kemiskinan, pengangguran, kriminalitas merajalela, jutaan anak-anak kurang gizi, kesehatan tidak menjamin kehidupan untuk rakyat miskin tapi sangat menjamin oleh mereka yang kaya, kebodohan generasi, dan sebagainya. Begitulah serba-serbi kondisi umat sekarang yang jauh dari kata sejahtera.
Negeri ini tidak butuh teriakan merdeka dari para intelektual yang telah terbeli oleh harta. Tapi, hanya butuh kemerdekaan hakiki yang mampu mengeluarkannya dari seluruh permasalahannya. Masyarakat Indonesia sudah terbelenggu dengan pemikiran barat yang kufur. Kebebasan bertingkah laku, seperti L967 yang malah makin dipropagandakan. Sedangkan ceramah-ceramah Islam justru dibatasi. Citayam Fashion Week diapresiasi, sedangkan pengajian massal di Malioboro Jogja dipersekusi. Apakah seperti ini masyarakat yang merdeka?
Sedangkan masyarakat yang merdeka adalah masyarakat yang terbebas dari budaya kufur. Kehidupannya terpelihara dari nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Dan mereka pun pasti memiliki perasaan, pemikiran, dan aturan yang sama. Karena tujuan mereka adalah meraih rida Allah Swt.
Bercermin pada perjalanan bangsa ini hingga hari ini, kemerdekaan justru dimaknai dengan kebebasan, termasuk bebas dari aturan-aturan Allah Sang Maha Pemberi nikmat. Bahkan muncul sejumlah tindakan untuk mendiskreditkan ajaran Islam di alam kemerdekaan seperti melarang anjuran berjilbab di sekolah-sekolah, adanya kerusakan moral yang berkeliaran di mana-mana: perzinaan, prostitusi, tukar-menukar pasangan (swinger), pornografi, dan sebagainya. Inikah kemerdekaan yang mereka katakan adalah bebas melakukan apa saja.
Nilai-nilai agama makin dijauhkan dari pengaturan kehidupan dan dalam pemecahan berbagai persoalan. Bahkan rakyat, khususnya generasi muda kita, terus dicekoki narasi tentang bahaya radikalisme dan pentingnya moderasi Islam yang toleran terhadap nilai-nilai Barat. Padahal, mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat adalah jalan mulus mengukuhkan penjajahan.
Ironinya, dalam bidang hukum dan politik, kemerdekaan justru tidak membuat negeri ini bebas dari cengkeraman ideologi dan sistem politik asing, demokrasi. Demokrasi terbukti melahirkan oligarki, kekuasaan yang berada di segelintir orang. Hasilnya, muncullah kebijakan kapitalistik yang menguntungkan oligarki.
Menkopolhukam Mahfud MD pernah menyatakan bahwa 92% pemilihan kepala daerah dikuasai cukong. Lahirlah kemudian para kepala daerah yang bermental koruptor. Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menyatakan ada 429 kepala daerah ditangkap KPK karena terlibat korupsi. (muslimahnews.net, 20/08/2022).
Katanya merdeka, tapi dalam skala negara, skema investasi telah menenggelamkan negeri ini pada jerat utang ribawi. Per Juni 2022, utang luar negeri kita angkanya kian fantastis saja, yakni mencapai Rp7.123,62 triliun. Ironisnya, pihak pemerintah terus meyakinkan kita bahwa kondisi seperti ini aman-aman saja. (bisnis.tempo.co, 04/08/2022).
Pertanyaannya, bagaimana bisa merasa aman, sedangkan faktanya kita sudah tidak punya aset untuk membayar?
Bukan rahasia lagi jika berbagai aset kekayaan strategis milik rakyat sudah lama dikuasai para kapitalis lokal maupun asing. Atas nama kontrak karya dan kepemilikan saham asing dalam perusahaan-perusahaan umum milik negara, kekayaan yang jumlahnya melimpah ruah, baik hasil tambang, hutan, laut, dan aset lainnya, semuanya nyaris lepas dari genggaman.
Melihat realitas ini, tidak aneh, meski sudah 77 tahun merdeka, kondisi negeri justru makin terpuruk. Semua terjadi karena salah memahami makna kemerdekaan sebagai kebebasan. Kemerdekaan yang dirasakan umat hari ini justru mendorong manusia melampiaskan hawa nafsu untuk mencari kesenangan saja (hedonisme) yang malah melahirkan tekanan jiwa dan sosial.
Sungguh negeri ini belum merdeka secara hakiki. Penghambaan kepada sesama manusia serta ketundukan pada ideologi dan kepentingan asing masih terjadi. Kekayaan alam negeri ini masih terus dieksploitasi oleh asing sebagaimana dulu mereka merampok rempah-rempah dari negeri ini.
Hanya dengan kedatangan Islamlah yang akan memberikan kemerdekaan sejati kepada manusia. Islam datang di tengah penderitaan umat manusia akibat penindasan kekuasaan yang zalim dan sistem perbudakan yang berlaku. Islam lalu memerdekakan manusia dari semua itu.
Kebangkitan dan kemerdekaan hakiki sejatinya bisa diraih manakala bangsa ini mau kembali mengukuhi ideologi Islam dan menerapkan sistem Islam dalam kehidupan. Ini karena ideologi dan sistem ini memang Allah ciptakan untuk menuntun manusia meraih kemuliaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hakiki yang didambakan.
Inilah kemerdekaan hakiki, yakni saat manusia terbebas dari kekufuran. Kehidupan masyarakatnya terbebas dari nilai-nilai selain Islam dan negaranya terbebas dari dikte pihak luar.
Wallahu a'lam bishawwab.
