Muliakan Perempuan, Stop Prostitusi

Oleh Tuti Rahmayani, dr


Terungkapnya prostitusi yang melibatkan artis menyita perhatian publik akhir-akhir ini. Angka puluhan juta adalah nominal yang tidak sedikit untuk satu kali "transaksi" di bisnis prostitusi. Prostitusi sejatinya menempatkan posisi perempuan semata sebagai obyek pelampiasan syahwat. 


Jelas ini adalah upaya merendahkan nilai perempuan itu sendiri. Bisnis ini menihilkan peran perempuan lainnya. Bisnis ini juga menodai ikatan suci pernikahan. Di mana seseorang bisa dengan bebas melakukan hubungan seksual tanpa disertai ikatan atau tanggung jawab sedikitpun. 


Di era serba kapitalistik dan materialistik, tak sedikit manusia hampir-hampir mendewakan uang. Apapun dilakukan demi meraih materi sebanyak-banyaknya. Namun, hakikatnya dalam kehidupan, ada nilai-nilai yang tak bisa dinilai dengan materi atau uang. Nilai ketulusan, kasih sayang, perlindungan, martabat, akhlak. Bila manusia menjaga baik nilai-nilai ini, maka mulialah dirinya. Bekerja berpeluh lebih bermartabat dari para koruptor yang bermental pengemis. Demikian pula seorang perempuan yang menjaga kesuciannya lebih mulia dari mereka yang menjual diri. 


Betapa nilai-nilai akhlak ini tergerus dan tak sedikit mereka yang mengabaikan karena menilai sebagai hal yang tak berguna di tengah himpitan ekonomi. Sehingga lebih memilih menggadaikan nilai ini dengan sedikit recehan uang. Jadilah bisnis prostitusi ini. Entah prostitusi elit ataukah artis, nominal yang didapatkan jauh lebih kecil dari martabat kemanusiaan yang tergadaikan. 


Lantas, apakah perempuan dalam Islam tidak boleh bekerja dan memperoleh penghasilan? Tentu saja boleh. Hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah. 


Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia menuturkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, “Orang yang paling cepat menyusulku (meninggal setelahku) di antara kalian (para istri Nabi) adalah yang paling panjang tangannya.” ‘Aisyah berkata, “Kami pun mengukur tangan kami, siapakah yang paling panjang tangannya. Ternyata, yang paling panjang tangannya di antara kami adalah Zainab karena dia bekerja dengan tangannya sendiri dan bersedekah dengan hasil pekerjaannya.” (HR. Muslim no. 2452).


Tentu saja kebolehan perempuan bekerja tetap dengan memperhatikan syariat Allah yang lainnya. Seperti harus seijin suami, harus menutup aurot, tidak boleh ikhtilat (campur baur), tidak boleh tabarruj (berhias berlebihan), dsb. Juga dianjurkan untuk bersedekah dari hasil pekerjaannya tersebut.


Sungguh Islam begitu memuliakan manusia dengan syariatNya, termasuk perempuan. Maka sudah saatnya kita berjuang mewujudkan penerapan syariat Islam agar tak ada lagi perempuan yang terhina.



Tuti Rahmayani, dr (praktisi kesehatan di Surabaya)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak