Pilu Duka Palu

Oleh: Yanyan Supiyanti A.Md

(Akademi Menulis Kreatif)


Barangkali di sana ada jawabnya

Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita

Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa

Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita


Sepenggal lagu Ebiet G Ade di atas menjadi gambaran Indonesia saat ini yang terus menerus dilanda musibah.


Belum kering duka di Lombok, duka Palu-Donggala menyusul. Ini salah satu cara Allah Ta'ala menegur manusia, agar mereka kembali kepada Syari'ah-Nya. Dan agar manusia mencampakkan sistem buatan manusia, yakni sistem kapitalisme yang sedang mencengkeram dunia saat ini.


Duka masih menyelimuti wilayah Palu dan sekitarnya. Daerah Mutiara Khatulistiwa itu lumpuh total usai diguncang gempa 7,4 SR disusul sapuan tsunami.

Pasca dua bencana dahsyat tersebut, tinggallah bangunan rata dengan tanah, listrik padam, air bersih, makanan, dan BBM langka, hingga warga yang tak tahu sampai berapa lama akan bertahan hidup.

Semuanya yang menjadi serba sulit membuat hukum rimba berlaku di lokasi gempa. Seperti dilansir Liputan6.com, salah seorang korban gempa mengatakan bahwa, "Pokoknya sekarang siapa yang kuat, dia yang menang," ucap Boike menggambarkan kondisi palu pada tanggal 3 Oktober 2018 lalu.

Dilansir Liputan6.com, Kepala Pusat Data Informasi Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan bahwa BNPB akan menghentikan status tanggap darurat Palu-Donggala, Sulawesi Tengah pada 11 Oktober 2018.

"Evakuasi korban akan selesai pada 11 Oktober, kalau tidak ditemukan akan dinyatakan sebagai korban hilang," ujar Sutopo di kantor BNPB, Jakarta Timur, Minggu (7/10/2018).

Miris mendengar kabar korban gempa dan tsunami di Palu-Donggala, lambatnya penguasa menyelesaikan masalah kemanusiaan di sana, ini menjadi bukti bahwa birokrasi di Indonesia belum "ramah rakyat".

Sistem kapitalisme yang tengah mencaplok negeri ini, menyebabkan penguasa malah memertimbangkan untung-rugi ketika rakyat dilanda bencana.

Penguasa lebih mementingkan citra di mata dunia daripada bekerja keras membantu kebutuhan rakyatnya. Inilah bukti tidak maksimalnya riayah penguasa atas rakyat.

Islam mewajibkan penguasa bekerja maksimal mengurus urusan rakyatnya dengan Hukum Syara. Kewajiban ini melekat pada tupoksi seorang pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Kepemimpinan dalam Islam sebagai ra'in dan junnah, memiliki prioritas dalam menyelesaikan masalah bencana dibandingkan pencitraan nama baik dunia.

"Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya." (HR Al-Bukhari)

Penguasa bertaqwa dalam sistem Islam yang juga bertaqwa akan menjadikan bencana sebagai bentuk muhasabah, bukan sebagai ajang kampanye politik oleh oknum.

Wujud hakiki dari ketaqwaan adalah dengan penerapan Syari'ah Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Jika Syari'ah Islam diterapkan secara kaffah, tentu keberkahan akan berlimpah-ruah memenuhi bumi, sebagaimana firman-Nya:

"Andai penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) sehingga Kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat." (TQS al-A'raf [7]:96)

Berkaca ketika Khalifah Umar bin Khaththab sigap meminta 'Amr bin al Ash untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah ketika dilanda musim paceklik. Penguasa sigap menghadapi bencana, yang penting rakyat selamat dan aman, tak perlulah birokrasi yang rumit.

Saatnya mencampakkan sistem kapitalisme dari muka bumi ini. Berganti dengan sistem yang berasal dari Sang Pencipta alam, bumi, dan seisinya, yakni sistem Islam yang telah terbukti mampu menyejahterakan umat sampai dua pertiga dunia di masa kejayaannya.

Wallahu a'lam bishshawab.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak