Kenakalan Remaja, Islam Solusinya!

Oleh : Fitriani, S.Sos

Hulu Sungai Tengah  geger dengan ditemukannya sekelompok anak membentuk perkumpulan anak di bawah umur usia SMP melalui fasilitas Whatsapp (WA).Group WA tersebut diberi nama Pasukan Siap Mati (PSM). Informasi yang diperoleh, mereka direkrut dan dipimpin oleh seorang ketua, dengan keanggotaan mencapai sekitar 150 orang. (http://banjarmasin.tribunnews.com). Kenakalan remaja di era ini memang tidak bisa dipungkiri lagi maraknya, walaupun status remaja tersebut adalah “Pelajar atau Mahasiswa”. Seolah jika kita mendengar kata remaja, yang terbayang di benak kita adalah kenakalan-kenakalannya. Mulai dari seks bebas, aborsi, menonton film porno hingga narkoba dan lain sebagainya. Fenomena gunung es ini menjadi bukti bobroknya moral para remaja kita dewasa ini. Melihat permasalahan moral anak bangsa yang notabenenya mereka adalah calon pemimpin di masa depan, rasanya memang sangat miris. 

Permasalahan  remaja marak disetiap daerah di negeri ini, Komisi Perlindungan Anak Daerah Kabupaten Bekasi Jawa Barat  mendapatkan temuan terkait tindak asusila melalui grup aplikasi mengobrol, whatsapp (WA) (3/10/2018). Ironisnya, grup tersebut berisikan para siswa di satu sekolah menengah pertama di Cikarang Selatan. Selain tindak asusila, di grup yang berisikan 24 siswa dan siswi itu, para anggota saling berbagi video porno. Dari video tersebut, para anggota saling mengajak untuk berhubungan badan. Sepanjang tahun 2017 terdapat 46.537 kasus narkoba. Terbanyak dari kalangan pelajar. BNN menyebutkan, data pengguna narkoba 27 persen dari kalangan remaja. Pelajar dan Mahasiswa. (Republika.co.id)

Miris memang ketika kita melihat angka kenakalan remaja yang begitu tinggi. Terus meningkatnya presentase kerusakan yang terjadi pada anak bangsa ini bagaikan bola salju yang terus-menerus menggelinding, yang menjadikannya semakin membesar dari waktu ke waktu. Apa yang menjadi penyebabnya? Banyak faktor penyebab yang membuat problematika remaja kerap kali terulang secara berkesinambungan. Yaitu pertama, lemahnya peran keluarga dalam mendidik anak. Kedua, rusaknya tatanan sosial di masyarakat dan ketiga, hilangnya fungsi negara sebagai pencetak generasi berkualitas.

Setiap anak yang dilahirkan di dunia ini tentu sesuai dengan fitrahnya, yakni berada dalam keadaan yang suci bersih tanpa noda. Ketika lahir, anak belum mempunyai informasi apapun tentang kehidupan dunia. Anak diibaratkan bagai kertas putih tanpa goresan pena. Untuk itu, keluarga (terutama orang tua) adalah peletak dasar pendidikan bagi anak. Di dalam keluargalah anak memulai kehidupannya. Di dalam keluarga pula anak akan memulai interaksinya dengan selainnya. Sehingga, pembentukan kepribadian pada anak pertama kali akan dibentuk di dalam keluarga. Di sinilah pentingnya peran keluarga, terutama orang tua. Karena merekalah yang akan “menentukan” masa depan anak. Orang tua adalah sebagai guru dan sekaligus orang yang akan di “taati” oleh anak. Orang tua lah pendidik utama bagi anak.  Namun, pada faktanya saat ini anak ditelantarkan orang tuanya yang sibuk dengan mengejar materi dalam sistem ekonomi eksploitatif, membuat orang tua kehilangan waktu bersama anaknya. Era industri, para buruh diperas habis oleh para kapital. Jam kerja tak manusiawi. Akhirnya, rumah hanya terminal. Tempat istirahat ayah. Anakpun kehilangan sosok ayah. Buah hati seperti duri yang menjadi beban keluarga. Sang anak pun mencari sosok yang peduli dengan eksistensinya. Terbentuklah komunitas-komunitas mubazir. Seperti komunitas game online, komunitas pecinta band musik, pecinta drama korea. Bahkan komunitas kriminal, geng motor, ayam kampus, ayam online dan masih seabrek tingkah polah remaja.

Orang tua yang sibuk anak dititipakn ke tempat penitipan  dan ketika usia sekolah anak dibiarkan begitu saja tanpa mengontrol bagaimana perkembangan si Anak. Bahkan orang tua mempercayakan 100% pendidikan anak kepada sekolah tanpa mau tahu problematika yang dihadapi si anak. Anak dibiarkan menonton tv sebebasnya tanpa didampingi, dibelikan gadget tanpa tahu konten yang ada di gadget tersebut. Padahal anak akan  berhadapan dengan serangan yang massif dari media tv dan  maya. Serangan massif yang harus mereka hadapi selama 24 jam tanpa batas memasuki ruang privasi dan ruang jiwa mereka, tanpa mereka sadari, bahkan melenakan karakter mereka dengan segudang potensi yang mati. Yang jika di biarkan tanpa didampingi orang tua akan menjadi bomerang bagi Si Anak maupun orang tua sendiri. Dari banyak kasus kenakalan remaja yang terjadi,  mereka belajar dari melakukan tindakan kriminal “Kenakalan” sumbernya adalah televisi atau media online/ dunia maya. Disinilah kegagalan orang tua memberikan pendidikan kepada anaknya, anak tumbuh tanpa sentuhan pendidikan orang tua.

Adapun keluarga, ia tetaplah sebagai bagian daripada masyarakat. Masyarakat merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi pendidikan bagi anak. Maka, rusaknya tatanan sosial di masyarakat akan berpengaruh pada pendidikan atau kepribadian (pola pikir dan pola sikap) anak. Jadi, apakah pendidikan di dalam keluarga merupakan jaminan tidak rusaknya anak ketika keluar dari lingkungan keluarga? Lingkungan adalah salah satu komponen pemebentukan anak. Lingkungan individualis saat ini melahirkan individu yang hanya memikirkan diri pribadi tanpa peduli terhadap lingkungan sekitar.

Belum lagi hal ini diperparah oleh negara yang abai alias tidak berperan sebagai pencetak generasi berkualitas. Negara tidak lagi menjamin terlahirnya anak-anak yang berkualitas, calon pemimpin masa depan. Slogan pendidikan yang disiarkan pemerintah hanyalah ilusi, bahwa pendidikan dalam sistem demokrasi melahirkan anak-anak yang beriman dan bertaqwa. Kurikulum pendidikan saat ini adalah kurikulum sekular yang pondasinya adalah memisahkan agama dari kehidupan.  Mata pelajaran agama dikurangi, agama tidak dijadikan pondasi dalam mendidik pelajar. Pelajar muslim jauh dari islam. Negara membiarkan sarana prasarana perusak moral dibiarkan. Bahkan negara “memfasilitasi” kenakalan remaja itu. Tempat hiburan malam dan tetek bengeknya dibiarkan. Negara membiarkan teknologi informasi yang menyuplai anak dengan berita-berita sampah yang meracuni otak anak. Demikian media mengepung anak dengan konten yang menyesatkan, pornografi beredar luas dimedia tanpa filter.  Remaja diajarkan gaya hidup hedonis, hidup mewah yang digencarakan di televisi yang membuat mereka terhipnotis akan kemewahan dunia,  makna kebahagiaan adalah materi. Disini lagi, diperlukan peran negara yang seharusnya bisa mengontrol tayangan-tayangan media dengan filter aqidah.

Kondisi remaja saat ini akan bertolak belakang jika kita hidup dalam syariat islam. Ketika seorang anak terlahir dari keluarga yang pondasi agamanya kuat. Anak akan dididik dengan agama sejak kecil, diajarkan halal dan haram. Ibu nya menjadi madrosah ula bagi anak-anaknya. Ayah hadir dalam kehidupan mereka. Menjadi sosok teladan dalam keseharian mereka. Insyaallah ketika mereka remaja, tak akan kehilangan identitas dirinya sebagai muslim sejati. Aqidah adalah hal pertama yang diajarkan di sekolah. Akhlak, adab pun tercipta. Kebijakan yang diterapkan negeri islam bukan hanya sekedar pro syariah. Lebih dari itu, seluruh kebijakannya berbasis syariat-Nya. Adapun di dalam Islam, negara akan berfungsi sebagai pilar utama dalam pendidikan anak. Negara akan membuat kurikulum pendidikan yang berdasarkan pada akidah Islam. Dengan kurikulum itulah negara akan mencapai tujuan pendidikan yang hakiki, yaitu melahirkan individu-individu yang bersyaksiyyah Islam (pola pikir dan pola sikap Islam) dan bertaqwa. Penerapan sistem pendidikan islam, menyibukan anak didik untuk haus ilmu. Anak-anak usia SD-SMP-SMA adalah anak yang sedang giat-giatnya belajar. Waktunya habis untuk belajar, menghafal al-qur’an, membantu orang tua, menggali potensi diri dan boleh jadi berlatih berdikari dengan usaha kreatif. Anak-anak ini berada dalam pendidikan berkualitas. Tidak ada ruang untuk anak bermain-main dengan dorongan syahwat. Sebab mereka ditanamkan aqidah yang kokoh.  Terbentuklah generasi Rabbani yang memikirkan ukhrowi, bukan sekedar kesenangan duniawi. Media akan dikontrol dengan ketat sehingga konten yang beredar adalah konten yang mendidik bukan yang merusak. Dan negara akan senantiasa mengedukasi masyarakat dan menumbuhkan sikap amar ma’ruf nahi munkar yang akan menjadi benteng bagi individu yang akan melakukan penyimpangan terhadap syariat Islam. Negara pula yang memberlakuan hukum yang memberikan efek jera bagi pelanggar syariat.

Maka, untuk menuntaskan segala macam problematika yang menimpa pada anak maupun remaja, perlu adanya pengembalian peran masing-masing komponen; keluarga sebagai peletak utama pendidikan pada anak, tatanan sosial masyarakat yang peduli akan lingkungan sekitar dengan berperan aktif dalam menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Diperkuat dengan adanya negara yang berfungsi sebagai perisai penjamin berjalannya masing-masing fungsi tadi sesuai Islam, serta memberikan sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar syariat Islam. Dengan demikian, satu-satunya harapan untuk mengatasi kenakalan remaja adalah tegaknya peradaban islam, yaitu sistem yang bersandar pada aturan Allah yang harus diambil. Wallahu'alambishawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak