Kapitalis Demokrasi Niscayakan Pemimpin Abai

Oleh: Delina Ismawati, S.S

Member TSC


Musibah datang susul menyusul, belum kering air mata masyarakat Indonesia dengan adanya gempa di Lombok, kini duka itu bertambah lagi dengan adanya gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Kesedihan itu semakin pilu menyayat hati melihat cara pemerintah menanggapi bencana Sulteng. Rakyat menganggap pemerintah setengah hati menyelesaikan permasalahan Palu dan Donggala. Sudah jatuh ditikam pula.

Sebagaimana di Lombok, pemerintah juga enggan menetapkan bencana Sulteng sebagai bencana Nasional. Apapun alasannya, mengingat jumlah korban meninggal sudah mencapai ribuan dan diperkirakan terus bertambah, harusnya pemerintah menetapkan bencana Sulteng sebagai bencana Nasional. Tidak ditetapkannya sebagai bencana Nasional seolah menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk membantu seadanya.

Padahal, kondisi masyarakat Sulteng pasca gempa masih menjadi sebuah perjuangan antara hidup dan mati. Mereka yang wilayahnya jauh dari kota kesulitan mengakses bantuan. Kerusakan infrastruktur yang parah menjadi penyebab tidak meratanya bantuan. Terlebih sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM), yang notabene merupakan senjata penting untuk mobilisasi menjemput bantuan. Banyak SPBU yang dijarah, kalaupun ada antriannya mengular.

Luka itupun bertambah perih tatkala harus dihadapkan pada mekanisme konyol untuk mendapatkan bantuan. Bagaimana tidak konyol, di tengah penderitaan tersebut pengungsi diminta menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga (KK) agar bisa memperoleh bantuan. Padahal, realitasnya ketika gempa terjadi banyak yang hanya membawa baju yang melekat pada badan saja saat menyelamatkan diri. KTP dan KK mungkin telah terkubur di bawah puing-puing reruntuhan bangunan atau terpendam dalam lumpur yang menelan sanak keluarga dan rumah mereka.

Kini, momok baru yang harus dihadapi para korban adalah perjuangan bertahan hidup. Tidak tanggapnya pemerintah memaksa mereka memberlakukan hukum rimba demi menyelamatkan jiwa. Demi sekadar mendapatkan beberapa makanan dan minuman, penjarahan pun dilakukan. Bukan hanya pada toko-toko yang di sana, melainkan juga pada relawan yang datang membawa bantuan.

Sebuah kesalahan besar memang, jika umat menaruh harapan bisa diayomi sistem kapitalis demokrasi. Sebab, konsep penting yang diemban  kapitalis demokrasi adalah keuntungan. Tak dapat dinafikkan hubungan yang terjalin antara rakyat dan negara adalah hubungan bisnis. Oleh karenanya, bukan sesuatu yang mengherankan jika sekarang masayarakat Sulteng merasakan kurang tanggapnya pemerintah dalam mengurusi permasalahan mereka. Sebab, negara sedang hitung-hitungan, sebagaimana pebisnis. Akibat sistem kapitalis demokrasi yang telah meracuni mereka, nyawa manusia pun masih bisa diperhitungkan.

Jangan salah sangka pula dengan upaya negara membuka kran bantuan asing. Sebagaimana yang disampaikan Juru Bicara Kementrian Luar Negeri, Armanatha Nasir dilansir dari VOA mengatakan ada 18 negara dan dua organisasi internasional telah memberikan daftar bantuan. Sebab, umat harus sadar tak ada makan siang gratis, selalu ada balas jasa dibalik bantuan-bantuan tersebut. Dan lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban sebagai pihak pembalas jasa. Bantuan hanyalah kedok bagi mereka untuk mengokohkan pengaruhnya di negeri ini. Sebuah penjajahan gaya baru untuk merampas kemandirian hukum dan ekonomi di negeri katulistiwa.

Sementara itu telah nampak dengan jelas di mata kita, solusi hakiki atas setiap permasalahan, yaitu solusi Islam. Islam sebagai agama yang paripurna memiliki seperangkat aturan dan sistem yang datang dari Zat Yang Maha Sempurna untuk menyelesaikan setiap permasalahan manusia. Sebagaimana firman Allah:

"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu." (An-Nahl: 89)

Oleh karena itu, umat harus memperjuangkan untuk hidup dibawah sistem Islam. Menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan mereka sebagai konsekuensi keimanan, dan jalan untuk memperoleh kesejahteraan kehidupan.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak