Generasi Muda Takut Nikah: Luka Ekonomi Kapitalisme




Oleh: tsuroyya

Fenomena ketakutan generasi muda terhadap pernikahan semakin nyata di tengah kondisi ekonomi yang kian menekan. Di Indonesia, negara yang telah berusia 80 tahun dan telah delapan kali berganti presiden, kemiskinan masih menjadi persoalan serius. Ratusan juta rakyat masih hidup dalam kondisi sulit, sementara narasi pertumbuhan ekonomi terus digaungkan. Kondisi ini memperlihatkan jurang antara klaim kemajuan dan realitas keseharian masyarakat. Di sisi lain, peningkatan pendapatan per kapita nasional tidak otomatis menghadirkan kesejahteraan riil karena biaya kebutuhan pokok, hunian, pendidikan, dan kesehatan terus melonjak. (Kompas.com, 22 November 2025).

Realitas tersebut paling kuat dirasakan oleh generasi muda, kelompok yang seharusnya berada pada fase membangun masa depan dan keluarga. Tak mengherankan jika banyak anak muda kini menilai kestabilan ekonomi sebagai prasyarat mutlak sebelum menikah. Lonjakan harga kebutuhan hidup, sulitnya memperoleh pekerjaan layak, serta upah rendah yang tidak sebanding dengan beban hidup menjadi alasan utama penundaan pernikahan. Narasi populer seperti “marriage is scary” pun kian menguat, menggambarkan pernikahan sebagai sumber masalah finansial dan tekanan psikologis, bukan sebagai fitrah dan kebutuhan dasar manusia.

Ketakutan ini sejatinya bukan lahir dari kelemahan individu, melainkan dari sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan biaya hidup tinggi dan kompetisi kerja yang kejam. Dalam sistem ini, negara cenderung berperan sebagai regulator yang lepas tangan dari tanggung jawab menjamin kesejahteraan rakyat. Beban hidup akhirnya dipikul sendiri oleh individu. Pernikahan pun dipersepsikan sebagai risiko ekonomi, bukan sebagai jalan kebaikan dan keberkahan.

Lebih jauh, sistem pendidikan sekuler dan kuatnya pengaruh media liberal membentuk gaya hidup materialistis dan hedonis. Ukuran kebahagiaan direduksi menjadi standar materi dan kenyamanan duniawi. Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ibadah dan sarana menjaga keturunan, melainkan sebagai proyek mahal yang harus ditunda hingga tercapai standar “mapan” versi kapitalisme.

Padahal, Islam memandang pernikahan sebagai bagian dari penjagaan agama, jiwa, dan nasab. Ketakutan akan kemiskinan tidak seharusnya menjadi penghalang, karena Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, negara bertanggung jawab memastikan setiap individu mendapatkan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, serta akses pekerjaan yang layak.

Pengelolaan milkiyyah ‘ammah seperti sumber daya alam dan aset strategis harus berada di tangan negara, bukan swasta atau asing. Hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga biaya hidup dapat ditekan dan ketimpangan dikurangi. Dengan mekanisme ini, ketakutan ekonomi yang membayangi pernikahan akan teratasi secara sistemik.

Selain itu, pendidikan berbasis akidah Islam akan melahirkan generasi berkarakter kuat, tidak terjebak hedonisme dan materialisme. Mereka justru tumbuh sebagai generasi penyelamat umat. Institusi keluarga pun diperkuat dengan mendorong pernikahan sebagai ibadah, sumber ketenangan, dan pondasi peradaban.

Rasulullah ﷺ bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketakutan generasi muda terhadap pernikahan adalah luka sistemik akibat kapitalisme. Selama negara abai dan sistem rusak dipertahankan, pernikahan akan terus dipersepsikan sebagai beban. Hanya dengan perubahan mendasar melalui penerapan sistem Islam secara kaffah, negara mampu menghadirkan kesejahteraan, menenangkan generasi muda, dan mengembalikan pernikahan pada posisinya yang mulia: fondasi keluarga, umat, dan peradaban.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak