Gen Z di Era Digital, akankan bisa Bertahan?



(Sari Isna_Tulungagung)




Jumlah pengguna internet di Indonesia kembali mencatat rekor baru. Berdasarkan laporan terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bertajuk “Profil Internet Indonesia 2025”, pada semester pertama tahun ini jumlah pengguna internet di Tanah Air telah mencapai 229.428.417 jiwa. Angka ini menunjukkan kenaikan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, menandakan internet kian menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Survei APJII juga mengungkap bahwa Generasi Z (lahir 1997–2012, usia 12–27 tahun) adalah kelompok paling dominan dalam penggunaan internet dengan kontribusi 25,54 persen dari total pengguna. Disusul Generasi Milenial (lahir 1981–1996, usia 28–43 tahun) dengan 25,17 persen, dan Generasi Alpha (lahir 2013 ke atas) sebesar 23,19 persen. Dominasi generasi muda ini menunjukkan bahwa pertumbuhan internet di Indonesia sangat dipengaruhi oleh digital native, generasi yang tumbuh bersama teknologi.

Banyaknya pengguna internet yang naik tajam menandakan era digital yang tak terelakkan, banyak kemudahan tetapi juga banyak kelemahan. Peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia membuka peluang besar di berbagai sektor:. E-commerce semakin berkembang pesat berkat penetrasi digital yang luas. Pendidikan daring dan pelatihan berbasis internet bisa menjangkau daerah terpencil. Serta ekonomi kreatif berbasis konten digital, seperti influencer dan kreator video, semakin menjanjikan. Namun, di sisi lain, ada tantangan yang perlu diantisipasi, di antaranya keamanan siber: meningkatnya pengguna berarti potensi kejahatan digital juga naik. Kesehatan mental:  durasi online yang panjang bisa memicu adiksi digita. Kesenjangan literasi digital: masih ada jutaan masyarakat yang belum memahami cara memanfaatkan internet secara produktif. (cloudcomputing.id, 12/08/2025)

Generasi Z dikenal sebagai generasi yang paling dekat dengan teknologi dan media sosial. Mereka tumbuh dalam era digital yang memberikan kebebasan berekspresi tanpa batas. Melalui berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, mereka dapat menampilkan identitas, minat, serta pandangan hidup mereka secara luas. Namun, di balik kebebasan ini, muncul pertanyaan besar: apakah mereka benar-benar bebas atau justru semakin terjebak dalam tekanan sosial yang diciptakan oleh media sosial itu sendiri?

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memberikan ruang untuk berekspresi, realitasnya sering berbeda bagi Gen Z. Media sosial bukan hanya tempat untuk berekspresi, tetapi juga arena persaingan yang tak terlihat. Dengan demikian, kebebasan yang ditawarkan media sosial sejatinya hanyalah ilusi. Alih-alih selalu bebas berekspresi, Gen Z justru semakin dikendalikan oleh tekanan sosial media yang menuntut kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Berbagai tekanan sosial imbas dari media sosial inilah yang menyebabkan gen Z dipandang sebagai generasi lemah.(news.detik.com, 21/04/2025)

Meskipun gen Z dipandang sebagai generasi lemah, tapi di satu sisi memiliki potensi kritis dan mampu menginisiasi perubahan melalui sosmed. Beberapa pekan belakangan muncul tagar #IndonesiaGelap yang berisikan kritik terhadap kondisi sosial dan politik. Tagar viral tersebut adalah bentuk kritis yang dipelopori oleh para pemuda termasuk di dalamnya gen Z. Setelah itu, berbagai demonstrasi pun muncul mulai dari Senin (17/2/2025) hingga Jumat (21/2/2025). Banyak mahasiswa dan warga sipil yang turun ke jalan. Tapi, ada juga anak muda gen Z (lahir pada 1997-2012) yang tidak bisa ikut demonstrasi sehingga lebih memilih untuk bersuara lewat media sosial. (kompas.id, 04/03/2025)

Ruang digital tidaklah netral, karena didominasi nilai sekuler kapitalistik yang jauh dari nilai-nilai agama dan hanya mementingkan keuntungan saja. Media sosial adalah tempat yang membuat standar benar salah berdasarkan mayoritas pengguna. Hal ini bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental generasi muda dan makin jauh dengan agamanya. Meski dampak positifnya juga ada yakni activism glocal, mudah belajar, dan lain sebagainya, namun dampak negatifnya juga lebih nyata. Adanya problem mental, inklusif-progresif, mempertanyakan agama-otentik, memiliki nilai sendiri yang berbeda dengan generasi tua. Pergerakan cenderung pragmatis, mencari validasi, karakteristik digital natif. Hegenomi digital yang terjadi di tengah umat mengancam genarasi muda hingga mereka bisa kehilangan identitas muslim kaffahnya.

Gen Z dengan berbagai potensinya mampu dijadikan generasi muslim pelopor perubahan. Oleh karenanya penting untuk menyelamatkan generasi dari pengaruh hegemoni ruang digital yang sekuler kapitalistik ini. Cara menyelamatkan mereka adalah dengan mengubah paradigma berpikir sekuler menjadi paradigma berpikir Islam. Kondisi ini harus disadari oleh umat dan kita perlu melakukan perubahan hakiki. Pergerakan gen Z harus diarahkan untuk memberikan solusi sistemis dan ideologis berdasarkan paradigma Islam. Sinergi keluarga, masyarakat dan negara dibutuhkan untuk menyelamatkan generasi dan mengarahkan pada pergerakan yang sahih. Dakwah idiologis akan membawa umat pada kesadaran tentang pentingnya sistem Islam untuk melindungi generasi dan mencetak mereka menjadi pemimpin peradaban

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak