By :Ummu Aqsha
DEPUTI Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Budi Irawan, memastikan penanganan tanggap darurat tanah longsor di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang saat ini masih menyisakan korban hilang agar dilakukan dengan cepat sebagaimana instruksi dari Presiden Prabowo Subianto.
"Presiden menyampaikan turut berduka. Beliau memerintahkan BNPB untuk bergerak ke lapangan dan membantu menyelesaikan penanganan longsor di Majenang hingga masa tanggap darurat selesai," kata Budi, Sabtu (15/11).
Dalam rapat koordinasi bersama Pemerintah Kabupaten Cilacap itu, Budi memastikan sebanyak 512 personel petugas gabungan sudah dikerahkan melibatkan Basarnas, BPBD, TNI, Polri, Tagana dan berbagai organisasi relawan lainnya.
BNPB juga menambah jumlah alat berat menjadi delapan unit dan menurunkan anjing pelacak
untuk mempercepat pencarian korban tanah longsor yang melanda Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Cilacap ini.
BNPB mengkonfirmasi data dari posko darurat di Majenang melaporkan setidaknya sampai dengan Jumat (14/11) malam ada sebanyak 20 orang korban hilang dalam pencarian.
Operasi pencarian dilakukan dengan sangat hati-hati mengingat medan yang sulit dan ditambah masih diguyur hujan sedang-ringan sehingga rawan terjadi longsor susulan.
BNPB mengimbau warga tetap waspada karena hujan intensitas ringan hingga sedang masih berpotensi terjadi hingga Minggu (16/11), terutama di kawasan cekungan Majenang yang rentan pergerakan tanah. (Ant/P-2). (MediaIndonesia.com 15/11/2025).
Banyaknya Bencana karena Tata
Kelola Ruang yang Salah.
Jika kita amati polanya, bencana yang terjadi disebabkan oleh kesalahan dalam tata kelola ruang hidup yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Kesalahan dalam tata kelola tersebut biasanya direpresentasikan dengan masifnya perubahan penggunaan lahan.
Perubahan penggunaan lahan menjadi faktor dominan pemicu bencana hidrometeorologi karena manusia memodifikasi bentang alam dalam skala besar pada satuan wilayah.
Dan juga makin memperkuat temuan tersebut bahwa alih fungsi lahan menyumbang 63,15% kerusakan lingkungan pada satuan wilayah DAS, jauh melampaui pengaruh curah hujan yang hanya 36,84%. Temuan ini juga menepis narasi lama yang selalu menjadikan hujan sebagai satu-satunya penyebab bencana.
Masifnya kegiatan alih fungsi lahan menunjukkan terjadinya kesalahan paradigma dalam tata kelola ruang–yang saat ini menggunakan paradigma kapitalisme. Logika kapitalisme mendudukkan lahan sebagai komoditas sehingga nilai suatu lahan lebih ditentukan oleh potensi keuntungan ekonomi, bukan fungsi ekologis, sosial, atau keberlanjutannya. Akibatnya, keputusan pemanfaatan lahan cenderung didasarkan pada motif profit jangka pendek yang mengabaikan keselamatan dan keseimbangan lingkungan.
Penanganan bencana selama ini berlangsung lamban dan insidental. Pemerintah lebih sering merespons setelah bencana terjadi, bukan melakukan upaya sistematis dalam fase pencegahan.
Untuk penyebab berulangnya korban besar bukan semata karena faktor alam, melainkan lemahnya komitmen pemerintah dalam melakukan mitigasi sejak tahap awal. Ini termasuk upaya pencegahan di dalamnya, yaitu menjaga zona kawasan lindung agar tidak masif dikonversi menjadi kawasan budidaya.
Postur anggaran atau pendanaan juga memperlihatkan betapa penanganan bencana tidak ditempatkan sebagai prioritas strategis. Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2025, total dana transfer ke daerah mencapai Rp919,9 triliun, tetapi alokasi khusus penanggulangan bencana hanya Rp5 triliun atau sekitar 0,54%. Dana tersebut hanya dapat digunakan untuk tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Tahapan krusial seperti pencegahan, mitigasi risiko, dan kesiapsiagaan tidak memperoleh pendanaan memadai.
Penanganan Bencana Butuh Paradigma Yang Benar
Pemerintah sebagai penanggung jawab penanganan kebencanaan tidak serius menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana,,
Secara teknis,seharusnya pemerintah memberikan manajemen bencana yang terdiri atas beberapa tahapan yang saling berkaitan dan menentukan kualitas penanganan di tingkat wilayah. Tahapan tersebut meliputi pencegahan, mitigasi (melalui kajian bahaya, kerentanan, kapasitas, dan risiko), kesiapsiagaan dan peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi. Tiga tahap awal merupakan fase persiapan prabencana yang berperan paling krusial dalam menurunkan tingkat risiko. Porsi perhatian pemerintah terhadap fase prabencana menjadi indikator penting sejauh mana sistem manajemen bencana berlangsung, berporos pada keselamatan nyawa masyarakat
Sementara itu, pada aspek struktur pendanaan kebencanaan yang berlangsung saat ini, menunjukkan kecenderungan berbeda. Realitas menunjukkan bahwa anggaran negara umumnya banyak terserap pada tahapan tanggap darurat hingga rekonstruksi, sedangkan kebutuhan pada fase pencegahan, mitigasi, hingga membangun kesiapsiagaan dan peringatan dini, berada pada posisi yang paling minim terpenuhi. Kondisi ini mengindikasikan belum hadirnya orientasi pembangunan wilayah yang berbasis mitigasi bencana, meskipun di berbagai literatur sudah dinyatakan bahwa Indonesia memiliki eksposur yang sangat tinggi terhadap berbagai jenis ancaman alam sehingga membutuhkan pemetaan risiko secara detail, dan itu semua butuh biaya yang tidak sedikit.
Situasi di daerah juga memperlihatkan tantangan tambahan dalam melakukan penanggulangan bencana karena penanganan prabencana di daerah bergantung pada postur APBD. Posisi BPBD di provinsi maupun kabupaten/kota tidak berada dalam satu jalur koordinasi struktural dengan BNPB, melainkan berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Konstelasi kelembagaan ini menjadikan keberadaan anggaran BNPB di tingkat pusat tidak secara otomatis terdistribusi menjadi program mitigasi di daerah karena mekanisme perencanaan dan penganggarannya berada sepenuhnya di bawah kewenangan pemerintah daerah masing-masing.
Keseluruhan persoalan tersebut menegaskan bahwa hambatan dalam penanggulangan bencana bukan semata persoalan teknis, melainkan bersumber dari kerangka struktural yang bersifat sistemis. Paradigma negara dalam sistem kapitalisme menempatkan kebijakan publik dalam logika transaksional sehingga keselamatan masyarakat tidak hadir sebagai prioritas pelayanan, melainkan sebagai beban anggaran yang harus ditekan. Konsekuensinya, potensi bencana terus diperlakukan secara reaktif, tidak pernah dikelola melalui orientasi pencegahan yang menyeluruh. Siklus ini akan terus berulang tanpa perubahan mendasar pada paradigma bernegara. Pada akhirnya, sistem manajemen bencana hanya dapat berjalan efektif apabila didukung oleh paradigma yang benar.
Islam Memberikan Solusi
Tentang Tata Kelola Ruang
Islam sebagai ideologi menawarkan paradigma berbeda dalam tata kelola ruang hidup. Seluruh bumi adalah milik Allah Swt. sehingga pengelolaannya tidak boleh diorientasikan pada keuntungan, melainkan sebagai amanah langsung dari Allah Swt. yang perlu dikelola berdasarkan ketentuan syariat-Nya. Paradigma mendasar tersebut, secara alami akan mengondisikan setiap kebijakan wajib mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kemaslahatan umat, sebagai wujud ketaatan total pada hukum syariat-Nya.
Kepemimpinan dalam Islam berlandaskan paradigma riayah (pelayanan), bukan transaksional. Negara berkewajiban melakukan mitigasi bencana secara serius untuk melindungi nyawa rakyat. Upaya ini bukan sekadar prosedur teknis, melainkan kesadaran atas dorongan akidah Islam dalam mengemban amanah kepemimpinan dari Allah Taala.
Nyawa manusia dalam pandangan syariat-Nya memiliki kedudukan sangat agung dan tidak boleh dikorbankan karena kelalaian pengelolaan ruang hidup. Firman-Nya dalam QS Al-Maidah ayat 32, “Barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” Prinsip ini menjadi landasan filosofis atas kewajiban negara dalam mengelola ruang hidup secara adil.
Secara politik ekonomi Islam, sebagaimana dijelaskan tata kelola ruang hidup merupakan bagian dari kewajiban negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu serta memastikan terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara kolektif. Politik ekonomi Islam tidak bertumpu pada akumulasi kapital, melainkan pada distribusi dan penjagaan kemaslahatan umum sesuai ketentuan wahyu. Kepemilikan umum, seperti air, hutan, sungai, dan seluruh sumber daya yang menjadi prasyarat kehidupan, tidak boleh diprivatisasi oleh individu atau korporasi karena hal tersebut menghalangi pemanfaatannya bagi masyarakat luas. Prinsip ini secara alami menutup peluang kerusakan lingkungan yang biasanya muncul akibat orientasi kapitalisasi dan eksploitasi lahan.
Pengaturan kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam juga sekaligus dapat menjadi instrumen pengendali tata ruang. Kepemilikan individu, umum, dan negara memiliki batasan syar‘i dalam proses pengelolaannya. Lahan yang termasuk kategori kepemilikan umum, seperti kawasan hutan lindung, mata air, padang rumput, atau wilayah pelindung ekologis, wajib dikelola negara untuk kemaslahatan masyarakat dan tidak boleh dialihfungsikan demi kepentingan komersial.
Pada konteks ini, negara hadir memastikan kawasan lindung atau area konservasi atau kawasan resapan tidak dikonversi sembarangan, yang dapat mengubah siklus hidrologi. Jadi, riset-riset para ilmuwan, betul-betul digunakan negara dalam pertimbangannya mengambil keputusan dalam konversi lahan.
Proses distribusi bantuan menjadi lebih sigap, tepat waktu, dan terarah. Keterlambatan penanganan bencana yang sering terjadi akibat kerumitan administrasi dalam sistem sekarang tidak muncul dalam sistem Khilafah karena negara memandang penyelamatan nyawa sebagai amanah langsung dari Allah Swt. yang harus segera dipenuhi. Seluruh pembiayaan merupakan tanggung jawab negara sebagai pelayan umat, bukan bergantung pada utang luar negeri atau skema korporasi.
Kehadiran sistem kepemimpinan Islam pada akhirnya mampu mengondisikan negara sebagai pelindung rakyat, bukan operator kepentingan ekonomi. Hal tersebut sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Anbiya’ ayat 107, “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh, pengelolaan ruang hidup dan penanganan bencana dapat berjalan terencana, cepat, adil, dan tidak insidental. Terkhusus bagi seorang muslim, penerapan tata kelola ruang hidup berbasis syariat Islam ini merupakan wujud dari konsekuensi keimanan. Jadi, sudah saatnya kita berjuang bersama mewujudkan Islam menjadi ruh dalam bernegara.
Wallahualam bisawabb.
Tags
opini