Bencana Alam dan Runtuhnya Tata Kelola Lingkungan

Oleh : ANH


Akhir -akhir ini terjadi banjir, longsor, hingga puting beliung di beberapa daerah di Nusantara. Di Provinsi Aceh, banjir melanda di 16 Kab/Kota. BNPB melaporkan per 2 Desember 2025 bahwa ada 744 korban meninggal dan 551 hilang akibat banjir bandang di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Banjir bandang tersebut selain mengorbankan ratusan jiwa, juga mengakibatkan hilangnya harta benda dan rusaknya infrastruktur. 

Kemudian di Banjarnegara, Jawa Tengah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara memperkirakan 27 warga masih tertimbun tanah longsor di Desa Pandanarum, Di Cilacap, Korban Longsor belum Ditemukan, padahal Operasi pencarian sudah Masuki Hari ke-10. Belum lagi di Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta yang terendam banjir rob. Banyak warga menjadi korban dan belum terevakuasi. BNPB dan BPBD marasa kesulitan dalam proses evakuasi akibat kendala cuaca, medan, dan keterbatasan tim.

Kritik terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan banyak dikeluarkan oleh para ahli lingkungan, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Kesalahan tata kelola ruang dan lingkungan secara signifikan meningkatkan frekuensi, intensitas, dan kerentanan terhadap bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, kekeringan), yang memang mendominasi frekuensi bencana di banyak wilayah Indonesia.

Selain itu penanganan bencana yang berlangsung secara lamban mengindikasikan bahwa sistem mitigasi yang dimiliki saat ini masih jauh dari memadai. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan kesiapsiagaan belum dirancang maupun diterapkan secara kuat dan menyeluruh, baik pada tingkat individu, komunitas masyarakat, maupun pada level pemerintah dan negara secara keseluruhan. Pemerintah, yang memiliki mandat sebagai pihak utama yang bertanggung jawab dalam penanganan kebencanaan, tampak belum menunjukkan keseriusan dalam merumuskan maupun mengimplementasikan kebijakan yang bersifat preventif maupun kuratif. 

Hal ini terlihat dari kurangnya upaya sistematis untuk mempersiapkan langkah-langkah pencegahan serta penanganan lanjutan yang seharusnya menjadi bagian integral dari strategi mitigasi bencana. Sikap lamban negara menangani bencana alam tidak terlepas dari paradigma sekuler kapitalistik sehingga menyebabkan para penguasa tidak memiliki sensitivitas, kepedulian, dan keinginan serius untuk menyolusi bencana secara tuntas dan mengakar. Kita justru mendapati banyak kebijakan penguasa yang menjadi penyebab munculnya bencana, bahkan berpotensi menimbulkan bencana baru. Pembukaan lahan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan adalah bukti nyata.

Paradigma Islam dalam memahami fenomena bencana mencakup dua dimensi yang saling melengkapi, yaitu dimensi ruhiyah dan dimensi siyasiyah. Pada aspek ruhiyah, bencana dipandang sebagai salah satu bentuk manifestasi dari kekuasaan dan kehendak Allah, sehingga menjadi momentum bagi manusia untuk melakukan refleksi spiritual dan memperkuat keimanan. 

Sementara itu, pada aspek siyasiyah, bencana dihubungkan dengan kewajiban manusia dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan tata kelola ruang, perencanaan pembangunan, serta langkah-langkah mitigasi yang bertujuan meminimalkan risiko dan dampak yang dapat ditimbulkannya.
Pendidikan dalam aspek ruhiyah dilakukan dengan memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang menjelaskan bahwa sebagian bencana dapat terjadi akibat perbuatan manusia sendiri. Melalui edukasi ini, masyarakat diingatkan bahwa tindakan merusak lingkungan bukan hanya merupakan bentuk pelanggaran yang berdampak buruk bagi kelestarian alam dan keselamatan hidup, tetapi juga termasuk perbuatan dosa yang memiliki konsekuensi moral dan spiritual.

Dalam syariah Islam, kawasan tambang dan hutan adalah milik umum yang haram dikuasai oleh swasta. Rasulullah saw. bersabda: الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api " (HR Ibnu Majah).

Pemimpin di dalam sistem Islam akan membuat berbagai kebijakan seputar penataan lingkungan dan pemetaan lahan. Ada lahan-lahan khusus yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sehingga tidak boleh dialihfungsikan menjadi permukiman, pertanian, infrastruktur, apalagi pariwisata. Kawasan konservasi ini berperan sebagai penyangga ekosistem. 

Persoalan penanganan dan penanggulangan bencana ini sangat diperhatikan oleh sistem Islam. Bahkan, di dalam sistem keuangan negara Islam (Khilafah) terdapat pos keuangan khusus untuk rehabilitasi bencana. Persoalan penanganan dan penanggulangan bencana ini sangat diperhatikan oleh sistem Islam. Bahkan, di dalam sistem keuangan negara Islam (Khilafah) terdapat pos keuangan khusus untuk rehabilitasi bencana.

Perihal mitigasi, juga merupakan tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinannya. Sedangkan, aktivitas menolong yang bisa dilakukan oleh masyarakat secara swadaya, itu adalah amal saleh yang juga dianjurkan oleh Islam. Saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak, pendampingan, hingga para penyitas mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana. Dalam urusan penanganan bencana, para pemimpin di dalam sistem Islam dituntut untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana, sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana.

Maka dari itu, bencana yang hari ini menimpa penduduk Indonesia hari ini bukan semata karena fenomena alam, tetapi merupakan buah kebijakan kapitalistik yang keji. Keputusan yang diambil hanya semata-mata demi keuntungan sembari mengabaikan dampak kerusakan alam dan bencana yang menimpa masyarakat. Wallahu A'lam Bishawab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak