Bullying: Gejala Sistemik yang Mengancam Generasi



Oleh : Wahyuni Mu
 (Aliansi Penulis Rindu Islam)




Di banyak ruang pendidikan hari ini, tekanan sosial dan kekerasan psikologis tumbuh tanpa terasa. Dimulai dari ejekan kecil, berlanjut menjadi pengucilan, hingga akhirnya meletup menjadi tragedi. Fenomena bullying yang dulu dianggap “kenakalan remaja biasa” kini berubah menjadi ancaman serius yang menjerat mental banyak peserta didik.

Dalam beberapa bulan terakhir, muncul dua kasus ekstrem yang menjadi alarm keras bagi kita semua. Dua kasus terbaru menunjukkan bahwa bullying di kalangan remaja telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Seorang santri di Aceh membakar asrama pesantren karena menahan sakit hati sebagai korban perundungan, sementara seorang siswa SMA Negeri di Jakarta diduga melakukan aksi ledakan di sekolah setelah lama menjadi target ejekan dan pengucilan teman. 

Kedua kasus ini memperlihatkan pola yang sama: tekanan sosial yang menumpuk, rasa putus asa, dan tidak adanya ruang aman bagi korban untuk mencari pertolongan. Ketika tindakan ekstrem menjadi pilihan, itu menandakan bahwa kekerasan psikologis di lingkungan pendidikan sudah melewati batas kemanusiaan yang semestinya dijaga oleh sekolah dan masyarakat.

Bullying sebagai Problem Sistemik Pendidikan

Fenomena ini bukan kejadian terisolasi. Bullying kini menggejala di berbagai daerah dan jenjang pendidikan, menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik, bukan sekadar persoalan individu.

Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman justru berubah menjadi arena kompetisi, tekanan sosial, dan relasi kuasa antar peserta didik. Minimnya pengawasan, lemahnya pendidikan karakter, serta tidak adanya mekanisme pendampingan yang efektif memudahkan praktik perundungan tumbuh menjadi budaya.

Ketika tindakan merendahkan, mengejek, atau mengucilkan dianggap hal biasa, itu menandakan bahwa ada kelemahan mendasar dalam filosofi pendidikan kita.

Peran Media Sosial dan Krisis Adab

Media sosial memperparah keadaan. Banyak pelaku bullying menjadikan ejekan, penghinaan, atau olok-olok sebagai bahan hiburan di dunia maya. Ketika konten yang merendahkan orang lain disukai, ditonton, dan dibagikan, batas moral menjadi kabur. 

Inilah krisis adab yang mulai menancap kuat di kalangan remaja: hilangnya empati, hilangnya rasa hormat, dan pudarnya kesadaran bahwa manusia memiliki kehormatan yang tidak boleh diinjak.

Dunia pendidikan kehilangan fungsinya sebagai pembentuk akhlak, sementara media sosial mengambil alih peran sebagai “guru baru” yang tidak mengenal nilai etika.

Media Sosial sebagai Pemantik Aksi Berbahaya

Ironisnya, media sosial bukan hanya memperburuk bullying, tetapi juga menjadi rujukan bagi korban untuk menyalurkan kemarahan atau dendam dengan cara yang membahayakan nyawa orang lain. Banyak remaja yang mengakses konten kekerasan, aksi balas dendam, hingga tutorial merusak, lalu menjadikannya inspirasi ketika tekanan emosi tak tertampung.

 Ketika sekolah gagal menyediakan tempat aman bagi korban untuk berbicara, media sosial justru menyediakan “pelarian berbahaya”. Kondisi ini mengungkapkan betapa rapuhnya sistem pendidikan dalam membangun kesehatan mental, pengendalian diri, dan manajemen emosi pada peserta didik.

Akar Masalah: Sistem Pendidikan Sekuler-Kapitalistik

Di balik seluruh rangkaian fenomena ini, terdapat akar masalah yang lebih besar, sistem pendidikan sekuler-kapitalistik yang berfokus pada capaian materi semata. Pendidikan diarahkan untuk meraih nilai tinggi, perguruan tinggi favorit, dan status sosial, sementara aspek kepribadian, akhlak, dan pembinaan ruhiyah dikesampingkan.

 Ketika nilai-nilai spiritual dan adab tidak menjadi pilar, maka lahirlah generasi yang cerdas secara akademik tetapi rapuh secara moral. Bullying tumbuh subur dalam sistem yang tidak memuliakan manusia, tetapi memuja kompetisi tanpa batas dan pencapaian individualistik. Inilah kegagalan fundamental pendidikan modern, menghasilkan generasi yang pintar, namun kehilangan arah.

Solusi dalam Kerangka Pendidikan Islam

Islam menawarkan konstruksi pendidikan yang berbeda secara menyeluruh. Tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak manusia berprestasi, tetapi membentuk kepribadian Islam yang kokoh, bersikap lembut, beradab, bertanggung jawab, dan takut menyakiti sesama.

Prosesnya dilakukan melalui pembinaan intensif yang membentuk pola pikir dan pola sikap islami, menyeimbangkan nilai materi dengan nilai maknawi dan ruhiyah. Kurikulum harus berbasis aqidah Islam, menjadikan adab sebagai dasar utama seluruh aktivitas belajar. 

Dalam konsep negara Islam (Khilafah), negara memikul kewajiban sebagai penjamin pendidikan dan penjaga moral masyarakat, menghadirkan lingkungan yang melindungi generasi dari kezaliman sosial seperti bullying. Dengan fondasi adab, aqidah, dan pengawasan negara yang kuat, pendidikan Islam mampu menumbuhkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkepribadian mulia dan bermental sehat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak