Perang Pemikiran di Balik Moderasi Beragama



Oleh: Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)




Baru-baru ini pemerintah provinsi Kalimantan Selatan melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) menggelar Rapat Koordinasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) se-Kalsel dengan tema “Penguatan Peran FKUB Menuju Indonesia Emas 2045.”

Kegiatan ini bertujuan memperkuat sinergi antarumat beragama di daerah demi menjaga kerukunan dan toleransi sebagai fondasi kemajuan bangsa.

Kepala Bakesbangpol Kalsel, Heriansyah, membuka acara tersebut di salah satu hotel di Banjarmasin pada Senin (Kalimantanlivecom./19/5/2025).

Sebagaimana diketahui, pemerintah menjadikan gagasan moderasi beragama sebagai program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024. Moderasi beragama adalah salah satu gagasan yang dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan potensi konflik terkait isu agama di berbagai wilayah di Indonesia.

Meski terus digaungkan pemerintah, moderasi beragama sendiri tidak boleh lepas dari kritik, utamanya dari umat Islam. Selain tegak atas alasan absurd pemerintah mengenai konsep intoleran, moderasi beragama juga sejatinya merupakan perang pemikiran yang membahayakan akidah umat Islam termasuk generasi sekaligus mengaburkan akidah sahih kaum muslim.

Sebuah gagasan bisa dipandang sebagai gagasan ilmiah jika para penggagasnya mampu menghadirkan alasan tepat dan tampak rasional. Dalam pengarusan moderasi beragama, para penggagas konsep ini menganggap bahwa identitas agama menjadi dasar fundamentalisme yang menafikan nilai-nilai kebenaran dari kelompok lain. Untuk menunjukkan kesan urgensitas gagasan moderasi ini, mereka lantas mengatakan bahwa fundamentalisme dan sikap fanatik berlebihan terhadap agama (Islam) akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Dengan memanfaatkan perang istilah, kata “fundamentalisme” disandingkan dengan kata “radikal” yang telah dimonsterisasi. Hal ini menyebabkan penganut agama yang memegang teguh ajaran agamanya—khususnya Islam― menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ditambah dengan kondisi umat yang tidak memahami adanya perang pemikiran dari istilah-istilah tersebut membuat mereka berada pada posisi serba salah. Hendak memegang teguh syariat Islam secara kaffah, tetapi harus siap disebut radikal. Terlebih jika melawan arus, tentu harus siap menyandang gelar fundamentalis.

Walhasil, umat memilih bersikap defensif apologetik. Sebuah sikap yang muncul sebagai respons atas tuduhan terhadap Islam sebagai agama yang intoleran. Sikap ini merupakan respons spontan karena tidak memahami hal yang ada di balik konsep dan gagasan yang menyudutkan Islam. Implementasi dari sikap ini terlihat dari cara umat menjawab tuduhan yang salah terhadap Islam dengan cara yang juga salah.

Hal ini terjadi, misalnya, saat sejumlah pembenci Islam menggulirkan opini pemerintahan Islam sebagai pemerintahan keji dan gemar perang. Atas opini ini, seseorang yang bersikap apologetik akan mengatakan bahwa Islam tidak mengajarkan tentang sistem pemerintahan. Sedangkan dalam berbagai kitab klasik dan manuskrip, para ulama jelas mengatakan bahwa Islam mengajarkan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Dengan demikian, ide moderasi ini justru akan mengaburkan sejumlah ajaran Islam yang jelas-jelas ada dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw..

Ide moderasi agama sejatinya juga membawa derivat ide lainnya, yakni pluralisme beragama. Para pengusung ide moderasi beragama menganggap bahwa heterogenitas agama harus diikat dalam spirit pluralisme yang menganggap semua agama sama. Kemunculan ide pluralisme―terutama pluralisme agama—didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim (klaim tentang kebenaran) yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstremisme, radikalisme agama, perang atas nama agama, serta penindasan yang mengatasnamakan agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama akan sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar, yang dengan kata lain adalah lenyapnya truth claim.

Pluralisme secara langsung mengabaikan keberadaan ajaran hakiki pada masing-masing agama. Sejatinya, ajaran agama memang tidak perlu diseragamkan karena berbeda adalah realitas yang wajar. Untuk itu, meski gagasan moderasi tegak di atas berbagai dalih, masalah sebenarnya adalah hasrat para pembenci Islam untuk melunakkan militansi beragama umat Islam serta mengarahkan mereka untuk memoderatkan ajaran Islam yang sahih dengan ajaran agama lainnya.

Dengan memanfaatkan generasi muda dan cendekiawan muslim yang telah terjajah hati dan pikirannya, kaum kafir penjajah melancarkan serangan pemikirannya pada umat Islam. Perang pemikiran yang terintegrasi dengan kebijakan negara ini seharusnya dikaji mendalam agar solusi untuk menghadirkan kerukunan antar umat beragama yang hakiki bukan dengan cara mengaburkan ajaran agama. Jika demikian adanya, alih-alih mendamaikan, negara justru berpotensi memantik kisruh kehidupan antar umat beragama.

Moderasi beragama sendiri adalah upaya untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam yang lurus. Jika upaya memoderasi Islam muncul dengan alasan karena Indonesia sedang krisis toleransi, ada baiknya kita melihat realitas secara utuh.

Situasi Indonesia dengan segala keberagaman di dalamnya, sesungguhnya telah ada sejak dulu. Keberagaman ini tidak pernah terusik, bahkan saat konsep Islam jalan tengah muncul dengan berpijak di atas dalih intoleran. Kerukunan antar umat beragama baik-baik saja. Justru dengan munculnya ide moderasi yang tegak atas dalih intoleran ini kerukunan antar umat beragama terusik.

Demikian pula antar umat seagama, malah saling tuding dan curiga karena gagasan moderasi ini. Dampak yang lebih buruk, banyak generasi yang akhirnya menganggap semua agama sama. Mirisnya pula, tidak sedikit generasi yang bangga memilih agnostic, bahkan ateis karena menganggap konsep ketuhanan yang terintegrasi dalam ajaran agama hanya melahirkan banyak perdebatan yang tidak berkesudahan.

Sistem sekularisme yang hari ini diterapkan sesungguhnya tidak peduli dengan konsep beragama. Kaum sekularis menganggap bahwa agama merupakan perkara privat dan keberadaannya hanya diakui di altar peribadahan. Sekularisme yang lahir dari konflik kaum gerejawan dengan para cendekiawan yang kini diterapkan dalam konstitusi yang melahirkan sekularisme negara yang diusung negara Barat, telah menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap Islam yang ajarannya paripurna hingga dalam tataran kenegaraan.

Untuk itu, Barat berkepentingan untuk memadamkan pemahaman generasi muslim mengenai Islam kaffah termasuk dalam perkara pemerintahan. Geliat bangkitnya umat Islam yang saat ini menguat, jelas membuat Barat berupaya untuk membajak pemahaman umat melalui sejumlah kampanye global mulai dari War on Terorism hingga kampanye deradikalisasi.

Lebih lanjut, Barat mengaruskan perang pemikiran melalui proyek moderasi beragama yang bertujuan untuk mengadang kebangkitan Islam kaffah melalui berbagai program-program moderasi beragama Melalui proyek ini, Barat melancarkan strategi pecah belah dengan membuat pemetaan kelompok Islam dan mengembangkan peta jalan bagi terbentuknya jaringan muslim moderat yang digagas oleh lembaga think tank Barat, RAND Corporation. Jaringan muslim moderat bekerja untuk mengampanyekan gagasan Islam moderat sebagai upaya mencegah bangkitnya Islam kafah yang mereka sebut dengan Islam fundamentalis maupun radikalis.

Tidak tanggung-tanggung, Barat mendanai sejumlah proyek dalam rangka mengaruskan proyek moderasi beragama. Mereka juga menggelontorkan dana untuk membiayai berbagai program yang bertujuan untuk mendukung kampanye moderasi. Mereka juga melakukan brain washing (cuci otak) terhadap generasi muda dan cendekiawan muslim melalui program pendidikan, pelatihan, penelitian hingga studi banding untuk mengaruskan pemahaman Islam moderat yang mereka gagas.

Sudah selayaknya umat Islam menyadari aktor utama di balik proyek moderasi ini. Kesadaran ini penting agar umat memiliki kesamaan dalam melihat musuh sejati bagi umat Islam. Dengan ini pula, umat dapat menghadirkan solusi Islam mengenai konsep toleransi sesuai standar syariat.

Islam sesungguhnya memiliki konsep yang jernih dan khas mengenai toleransi. Konsep ini bersumber dari syariat yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep ini juga relevan bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas. Dengan konsep toleransi ala Islam justru dapat dengan bijak memaknai dan melaksanakan toleransi.

Konsep toleransi dalam Islam bersandar pada aturan syariat yang bersifat khas. Ini karena Islam adalah agama yang memiliki aturan tertentu dan menetapkan definisi tertentu mengenai perbuatan hamba sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya yang menjadi pedoman dalam berinteraksi di tengah masyarakat.

Umat dapat menjelaskan aspek fikih mengenai konsep toleransi (tasamuh) dalam Islam. Di sisi lain, umat wajib memahami adanya gazwu al-fikr (perang pemikiran) yang bertujuan untuk meredupkan pemahaman umat terhadap ajaran Islam kaffah. Ini karena gagasan moderasi beragama muncul dengan semangat untuk menjegal Islam kaffah. Alhasil, ketika menerjemahkan makna wasathiyah, arahnya selalu pada dua hal yakni tawassuth (pertengahan) dan tasamuh (toleran).

Makna ummatan wasathan sejatinya adalah umat pilihan dan adil (khiyaran ‘udulun), yakni umat yang adil dengan menegakkan ajaran Islam, bukan umat yang menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran Islam kaffah. Allah Taala telah memberi tuntunan untuk hal itu sebagaimana dalam Surah Al-Kafirun. Ayat yang artinya, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” begitu tegas mengajarkan batas-batas toleransi.

Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan dan menghindari segala bentuk kezaliman. Islam melarang keras berbuat zalim dan melarang merampas hak-hak mereka yang di luar Islam. Allah Taala berfirman, “Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

Syariat Islam juga melarang pembunuhan terhadap orang kafir kecuali mereka yang memusuhi Islam secara riil. Adapun bagi orang-orang kafir selain mereka, yaitu orang-orang kafir yang mendapat suaka atau telah mengadakan perjanjian dengan umat Islam seperti kafir zimi, kafir musta’man, dan kafir mu’ahid, dilarang keras untuk membunuh mereka. Jika terjadi pelanggaran, negara akan memberi sanksi sesuai ijtihad khalifah. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak akan mencium bau surga. Padahal sungguh bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR An-Nasa’i).

Islam memberikan keleluasaan bagi umat lainnya untuk menjalankan ajaran agamanya, sebagaimana umat Islam menjalankan syariat. Dalam lingkup bermasyarakat dan bernegara pun Islam memberikan jaminan kebebasan bagi agama lain untuk menjalankan ibadah dan segala sesuatu yang mereka yakini menurut batas yang diatur oleh negara. Hal ini dalam arti, terdapat sejumlah ajaran yang hanya boleh dilaksanakan dalam lingkup umat tertentu dan tidak dibolehkan untuk dilaksanakan di ruang publik. Ini dalam rangka menjaga akidah umat Islam, juga sebagai bentuk toleransi nyata dalam kehidupan bermasyarakat di bawah naungan negara Islam.

Untuk mewujudkan atmosfer kerukunan hidup antarumat beragama ini jelas membutuhkan institusi Islam yang berperan memastikan jaminan kedamaian antarumat beragama, sekaligus menerapkan sanksi bagi siapapun yang melanggar aturan ini. Konsep Islam inilah yang seharusnya dipahami oleh generasi muslim. Hal ini pula yang semestinya diemban sebagai sebuah gagasan global untuk menyelamatkan dunia. Bahkan, untuk mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi umat manusia sebagai implementasi dari konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak