Gaza : Hungriest Place on Earth




Oleh : Ummu Bisyarah
  (pegiat literasi)




Gaza hari ini tidak hanya sekadar zona konflik. Ia telah berubah menjadi penjara terbuka terbesar dan wilayah paling kelaparan di dunia. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan bahwa seluruh penduduk Gaza—lebih dari 2 juta jiwa—kini berisiko kelaparan, dengan hampir 500 ribu orang berada dalam kondisi kelaparan akut. Situasi ini menjadikan Gaza sebagai “tempat paling kelaparan di muka bumi” (Aljazeera.com, 31/05/2025).

Penderitaan ini bukan akibat bencana alam, melainkan hasil rekayasa kolonial modern melalui blokade brutal dan serangan sistematis oleh entitas penjajah Israel. Sejak awal 2024, Israel memutus total pasokan makanan, bahan bakar, dan air bersih. Harga pangan melonjak hingga 1.400%. Banyak toko roti tutup karena kehabisan tepung dan bahan bakar. Lebih dari 65.000 anak dilaporkan mengalami malnutrisi akut, dan ribuan lainnya berada dalam ambang kematian (Wikipedia.org, akses 02/06/2025).

Ironisnya, bahkan bantuan kemanusiaan pun tidak luput dari kebiadaban. Dalam sepekan terakhir, sedikitnya 75 warga Gaza tewas saat mengantre makanan, akibat serangan langsung dari pasukan Israel di titik distribusi bantuan (Elpais.com, 02/06/2025). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut Gaza sebagai wilayah di ambang bencana total, dengan sistem kesehatan yang runtuh dan populasi yang “kelaparan, sakit, dan sekarat” (Who.int, 12/05/2025).

Kapitalisme: Sistem Global yang Tidak Punya Nurani

Apa yang terjadi di Gaza bukan sekadar tragedi kemanusiaan. Ini adalah kegagalan sistemik dari kapitalisme global—sistem yang menilai nyawa berdasarkan nilai strategis dan ekonomi. Amerika Serikat, Eropa, dan sekutu-sekutunya tidak hanya diam, mereka secara aktif mensponsori agresi Israel, baik melalui dukungan diplomatik maupun pasokan senjata dan dana militer.
Sementara itu, PBB hanya menjadi penonton, mengulang kecaman dan “keprihatinan mendalam” tanpa ada tindakan nyata. Struktur global hari ini memungkinkan kekuatan besar menekan, memveto, dan memanipulasi lembaga internasional agar tetap tunduk pada kepentingan geopolitik mereka.

Sistem kapitalisme membentuk dunia di mana keadilan tunduk pada kekuasaan, dan kemanusiaan dijalankan dengan selektif. Gaza tidak dijadikan prioritas karena tidak memberikan keuntungan politik maupun ekonomi bagi kekuatan besar. Inilah wajah asli demokrasi liberal—bukan pembela hak asasi manusia, tapi pelindung dominasi kolonial.

Dunia Islam Bungkam karena Terkunci Nasionalisme

Yang lebih menyakitkan adalah diamnya negara-negara Muslim. Mesir menutup perbatasan Rafah, Turki terus berdagang dengan Israel, Arab Saudi sibuk melakukan normalisasi, dan mayoritas negara Arab hanya tampil dengan narasi “solidaritas kemanusiaan” tanpa satu pun aksi militer atau politik yang konkret. Mereka terkunci oleh sistem nasionalisme buatan penjajah, yang memisahkan kekuatan umat menjadi negara-negara kecil yang tidak mampu bertindak independen.

Padahal, negara-negara Muslim memiliki populasi lebih dari 1,8 miliar jiwa, kekuatan militer yang besar, dan sumber daya alam yang melimpah. Namun semua itu menjadi tidak berarti karena tidak ada satu pun kepemimpinan yang menyatukan mereka dalam satu visi politik dan akidah.

Solusi Islam: Khilafah sebagai Kepemimpinan Nyata Umat

Islam tidak hanya menawarkan solusi spiritual, tetapi juga solusi politik yang sistemik dan historis. Dalam sejarahnya, Islam menerapkan sistem pemerintahan Khilafah yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad menjadi pelindung umat dan penegak keadilan. Khilafah bukanlah konsep utopis; ia adalah realitas sejarah yang pernah menyatukan tiga benua dan melindungi kaum Muslimin serta non-Muslim dengan keadilan.

Dalam sistem Khilafah:
Tidak ada batas nasional. Wilayah umat dipandang sebagai satu kesatuan.

Kepemimpinan bersifat tunggal, tidak terpecah oleh kepentingan geopolitik buatan Barat.
Militer digerakkan berdasarkan hukum syariah, bukan pertimbangan politik Barat.

Kehidupan rakyat menjadi tanggung jawab negara, termasuk kebutuhan pangan, keamanan, dan kesehatan.

Ketika satu wilayah diserang, seluruh kekuatan umat akan digerakkan. Ketika rakyat kelaparan, negara akan mengerahkan sumber daya sampai masalah itu diselesaikan—bukan dengan retorika, tapi dengan tindakan konkret.

Di masa lalu, Khalifah Umar bin Khattab mengirim konvoi bantuan ke wilayah yang dilanda kelaparan bahkan sebelum rakyatnya meminta. Khalifah Abdul Hamid II menolak permintaan pendirian negara Yahudi di Palestina, walau di tengah krisis ekonomi, demi menjaga kehormatan tanah umat.
Itulah perbedaan mendasar antara sistem Islam dan sistem kapitalisme sekuler: Islam membangun negara untuk melayani umat. Kapitalisme membangun negara untuk melayani korporasi dan penjajahan.

Penutup: Gaza Tidak Butuh Simpati, Gaza Butuh Kepemimpinan

Gaza tidak membutuhkan lebih banyak kecaman. Tidak butuh lebih banyak pertemuan diplomatik. Tidak butuh lebih banyak opini liberal. Gaza butuh pembebasan. Gaza butuh perisai. Gaza butuh persatuan umat!
Selama umat Islam terus bergantung pada sistem yang dibuat oleh penjajah, kita akan terus menyaksikan pembantaian demi pembantaian, kelaparan demi kelaparan, kehinaan demi kehinaan. Saatnya umat Islam mencampakkan sistem kapitalisme, menolak nasionalisme, dan kembali kepada Islam sebagai ideologi dan sistem hidup.
Tegaknya Khilafah bukan sekadar impian, tapi keniscayaan sejarah yang harus diperjuangkan kembali. Bukan untuk kekuasaan, tapi untuk menyelamatkan umat dan menegakkan keadilan yang telah lama dirampas.
Wallahualambishowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak