Menyoal Efisiensi Anggaran, Tepat Sasaran atau Salah Pengelolaan?




Oleh: Ustazah Diana Sutaty Satya. 



Dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD Tahun 2025 sedang menjadi polemik panas di tengah masyarakat, termasuk media sosial. Meski kebijakan ini diklaim demi menghemat anggaran dan memastikan alokasinya berjalan secara optimal di tengah kondisi kritisnya keuangan negara, tetapi implementasinya telah berpengaruh terhadap berbagai sektor yang menyangkut kepentingan publik. Di antaranya mempengaruhi biaya dan penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur di daerah, dll.

Sebelumnya, Utusan Khusus Presiden bidang Iklim dan Energi yang juga adik Presiden Prabowo, Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan alasan presiden memangkas anggaran pemerintah pusat maupun transfer ke daerah (TKD). Menurut Hashim, Prabowo melakukan hal itu lantaran banyak anggaran negara yang tidak dibelanjakan untuk program strategis, seperti program perjalanan dinas ke luar negeri. Bahkan, ia menyebut banyak program yang “konyol”. Ia juga menuturkan, setelah melakukan pemeriksaan APBN secara saksama beberapa pekan terakhir, pemerintah bisa melakukan penghematan. Selanjutnya epfisiensi anggaran dilakukan dalam rangka memenuhi program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan diinvestasikan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). BPI Danantara adalah lembaga superholding BUMN yang baru saja dibentuk Presiden. (Detik.com, 28/2/2025)

Sebagaimana kita ketahui, MBG ibarat “anak emas” di antara program lainnya. Tidak heran, alokasi anggarannya begitu diprioritaskan, bahkan tidak segan untuk ditambah. Badan Gizi Nasional (BGN) pun membenarkan program MBG akan mendapat tambahan Rp100 triliun dari hasil pemangkasan anggaran kementerian/lembaga. Namun, bukannya efisien atau berdampak positif, pemangkasan justru menyebabkan terjadinya ketimpangan anggaran. Ini juga sekaligus menegaskan bahwa MBG adalah program populis yang seolah-olah menunjukkan keberpihakan penguasa kepada rakyat, padahal di sisi lain membuahkan kezaliman kepada rakyat.

Dampak Efisiensi

Efisiensi anggaran tersebut berdampak pada program di sektor-sektor vital, seperti pendidikan. Diketahui, Kemenkeu membatalkan penawaran beasiswa tahun ini sebagai imbas dari pemangkasan anggaran, padahal beasiswa ini baru saja dibuka pada 10 Januari 2025. Ministerial Scholarship merupakan program beasiswa yang diperuntukkan bagi kader pemimpin atau talenta terbaik Kemenkeu. Beasiswa ini dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di luar negeri.

Senasib, Kemendiktisaintek juga terkena pemangkasan anggaran sebesar Rp22,5 triliun. Mau tidak mau, hal ini berdampak pada realisasi program-program pendidikan di akar rumput, kendati diklaim bahwa pemotongan terbesar diambil dari dukungan manajemen seperti perjalanan dinas, rapat, dan koordinasi. Pemangkasan lainnya di Kemendiktisaintek ialah anggaran untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang menyusut dari Rp14,69 triliun menjadi hanya Rp1,31 triliun. Menurut keterangan Mendiktisaintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro, KIP seharusnya tidak terkena efisiensi karena program tersebut bersifat esensial. Biaya kuliah juga berpotensi naik lantaran efisiensi anggaran pendidikan. Adapun untuk program riset, terjadi pemangkasan secara umum. Efisiensi yang diusulkan sebesar 20% dari total anggaran Rp1,1 triliun. Bayangkan, jika anggaran pendidikan dipangkas, apa yang hendak diharapkan dari kualitas generasi bangsa ini? Saat anggaran belum dipangkas saja masih banyak warga dan anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan yang layak, apa jadinya jika sudah dipangkas begini?

Pemangkasan anggaran vital lainnya terjadi di Kemenperin. Anggaran Kemenperin terpangkas sebesar 43,3%, dari Rp2,5 triliun menjadi Rp1,1 triliun. Berbagai penghematan pun ditempuh, selain menghapus jatah BBM pejabat. Namun, efek dominonya tentu tidak terbatas pada anggaran pejabat. Kemenperin membawahi pengelolaan sejumlah sektor industri padat karya yang jika anggarannya terpangkas sangat mungkin menyebabkan PHK makin marak. Pengembangan UMKM dan industri rumah tangga juga terancam. Sebaliknya, keran impor justru makin lebar dan berpotensi mematikan industri dalam negeri.

Belum lagi anggaran di Kementerian PU yang membawahi pembangunan sejumlah infrastruktur yang mengalami pemangkasan anggaran sebanyak Rp81 triliun menjadi Rp29,57 triliun. Pemangkasan tersebut akan berdampak pada penghentian proyek-proyek infrastruktur vital, seperti jalan rusak akan terus dibiarkan begitu saja tanpa ada perbaikan dengan alasan efisiensi. Saat anggaran tidak dipangkas saja pembangunan infrastruktur tidak merata. Pemerintah lebih sibuk membangun proyek-proyek mercusuar di kota-kota besar dibandingkan infrastruktur vital di daerah-daerah pedalaman, miskin, maupun tertinggal. Memangnya, apa jaminannya alokasi anggaran pascapemangkasan bisa tepat sasaran bagi rakyat yang benar-benar membutuhkan? Proyek-proyek mercusuar toh nyata-nyata bukan untuk rakyat, tetapi sekadar reputasi rezim, lebih parahnya lagi untuk kepentingan oligarki.

Selanjutnya, kementerian/lembaga yang tidak luput dari pemangkasan anggaran adalah Kemenkes. Pemangkasan anggaran Kemenkes mencapai Rp19,6 triliun dari total belanja Rp105,6 triliun yang dialokasikan pada 2025. Tidak pelak, hal ini pun memunculkan kekhawatiran akan turut memengaruhi layanan kesehatan esensial. Menurut rekomendasi World Health Organization (WHO), belanja ideal sektor kesehatan bagi masyarakat adalah sebesar 5% dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan Indonesia masih belum mencapai proporsi tersebut untuk belanja kesehatan. Selama ini saja pembiayaan kesehatan selalu membuahkan polemik. Terlebih sejak ada sistem JKN dan BPJS Kesehatan yang bukannya makin meringankan, tetapi malah membebani rakyat. Ini karena makin banyak kategori penyakit atau tindakan medis yang tidak bisa dibiayai oleh BPJS, meski rakyat sudah rajin membayar iuran bulanan. Apa jadinya pembiayaan kesehatan jika anggarannya dipangkas? Anggaran belum dipangkas saja pungutan retribusi kesehatan di puskesmas sudah naik berlipat-lipat.

Namun ada juga yang tidak terdampak pemotongan tersebut, seperti Kemensos yang mengatakan anggaran khusus bantuan sosial (bansos) tidak diutak-atik. Belanja bansos disebut tidak boleh diganggu gugat, meskipun ada efisiensi besar-besaran. Ini sejalan dengan Inpres no.01/2025 yang mengecualikan bansos dan belanja pegawai dari pemotongan.

Dana Asing

Pemerintah semestinya jauh lebih cermat dengan target efisiensi anggaran tersebut. Pembiayaan program “anak emas” tidak semestinya ada, apalagi jika harus menumbalkan pembiayaan sektor-sektor yang tidak kalah vital. Jika memang pemerintah tulus mengurus rakyat, termasuk dalam pengelolaan anggaran negara, semua program yang menyangkut hajat hidup rakyat sejatinya adalah prioritas. Tidak hanya itu, jika benar pemangkasan anggaran bertujuan efisiensi, lantas mengapa sejak awal presiden justru membentuk kabinet gemuk yang sudah pasti bakal menyedot anggaran negara?

Selain itu, dari berbagai sudut pandang, jelas bahwa MBG tidak seharusnya menjadi program prioritas, apalagi “anak emas”. Realisasi MBG semata karena sudah kadung menjadi janji kampanye pilpres. Pelaksanaannya di lapangan pun panen polemik akibat perencanaan yang tidak matang. Program MBG bahkan rawan korupsi karena berurusan dengan dana fantastis. Aspek profit dalam MBG juga tampak dominan karena melibatkan sejumlah vendor swasta yang mengejar laba. Belum lagi persoalan seputar kebocoran anggaran akibat pemilihan pejabat yang tidak amanah, tidak kapabel, dan aji mumpung dengan jabatannya. Ini buah pemilihan pejabat yang tidak berdasarkan kapabilitas, melainkan karena kekuatan uang dan koneksi “orang dalam”.

Penanggulangan stunting yang menjadi target MBG pun tidak cukup dengan memberikan bantuan makan gratis kepada rakyat. Penanggulangan stunting semestinya berupa perbaikan ekonomi rumah tangga, seperti pemberian subsidi, pengendalian harga barang/jasa di pasaran, minimalisasi impor, jaminan distribusi dan akses masyarakat terhadap bahan pangan pokok berkualitas, serta jaminan lapangan kerja dan rasa aman dari PHK bagi para ayah/pencari nafkah keluarga. Ini adalah persoalan sistemis. Hanya saja, solusi tuntas bagi MBG mustahil terwujud dalam sistem ekonomi kapitalisme karena sistem ekonomi kapitalisme tidak mengabdi pada kepentingan masyarakat luas dan tidak mewujudkan negara sebagai pelayan umat. Negara berideologi kapitalisme hanya memposisikan penguasa sebagai regulator dan fasilitator, jauh sekali dari peran untuk mengurus urusan rakyat.

Sedangkan pada saat yang sama, pemangkasan anggaran juga akan berimplikasi pada fenomena baru untuk tetap memperoleh dana segar. Sinyal itu tampak sebagaimana pernyataan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno bahwa akan ada berbagai cara lain yang dapat dicari untuk mencapai pelaksanaan program-program kementerian. Kementerian yang ia pimpin diharuskan menghemat anggaran hingga 50%. Ia juga menyamakan tolok ukur ketahanan kementerian dengan perusahaan swasta. Ia menganalogikan bahwa dalam kehidupan swasta, perusahaan yang survive adalah perusahaan yang efisien. Potensi dana segar ini dimungkinkan bersumber dari utang luar negeri, juga dana dari lembaga/perusahaan swasta, baik lokal maupun asing. Di dalam sistem ekonomi kapitalisme, masuknya dana asing, baik berupa utang maupun selainnya, adalah sebuah keniscayaan yang mengandung konsekuensi berbahaya secara politik bagi negara debitur (pengutang).  Kucuran utang maupun dana swasta tentu saja berbeda dengan subsidi negara, sebaliknya justru mengandung jebakan yang memiliki pamrih, alias bukan “makan siang gratis” (no free lunch). Lebih dari itu, sungguh akan ada yang menjadi tumbal berupa liberalisasi ekonomi, politik, dan pemikiran.

Peran Negara semakin Mandul

Berbagai krisis, mulai bidang ekonomi, politik, hukum, dan moral, makin hari makin menguat. Kasus-kasus kriminal, termasuk korupsi, mafia peradilan dan tanah, judol dan pinjol, makin ugal-ugalan, tetapi tidak pernah tuntas terselesaikan. Berbagai bencana juga terjadi di mana-mana, sedangkan mitigasi benar-benar seadanya karena alasan dana. Akhirnya, rakyat berjibaku dengan kesusahan hidup akibat kian sulitnya lapangan kerja dan biaya hidup yang makin serba mahal.

Namun, alih-alih hadir sebagai pengurus dan pelindung urusan mereka, negara malah menjadi sumber masalah dan kezaliman bagi rakyatnya. Kebijakan dana efisiensi yang sekarang begitu kontroversial, ternyata bukan hanya dilatari kebutuhan untuk membiayai program MBG sebagaimana digaung-gaungkan. Pemerintah justru berencana mengalokasikan sebagian besar dananya (lebih dari Rp300 triliun) untuk menyuntik super holding BUMN baru bernama Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang diluncurkan 24 Pebruari 2025.

Badan pengelola investasi (sovereign wealth fund) ini rencananya akan menjalankan investasi pada 15 mega proyek yang digadang-gadang dapat menjadi kekuatan yang akan menunjang perekonomian Indonesia pada masa mendatang. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan? Tidak sedikit yang mengkhawatirkan dana hak milik rakyat ini akan menguap dan berakhir dengan skandal sebagaimana kasus dana haji serta dana-dana umat lain yang raib entah ke mana.

Sungguh, kekuasaan dalam sistem sekuler kapitalisme memang tidak mengenal halal-haram. Mereka alergi terhadap agama yang berbicara soal bernegara. Mereka benar-benar seenak perutnya dalam mengurus urusan negara dan rakyatnya. Mereka tidak takut jika setiap kesedihan, air mata, dan tangis satu per satu rakyatnya akan menjadi sesalan di akhirat nanti. Mereka pun tidak peduli jika setiap maksiat yang dilakukan rakyatnya, juga nyawa yang hilang karena putus asa menghadapi masa depannya kelak akan menuntut pertanggungjawaban.

Postur Anggaran Negara Pelayan Umat
Islam telah mengharuskan negara Islam (Khilafah) menyelenggarakan seluruh urusan umat dan melaksanakan aspek administratif terhadap harta yang masuk ke negara, termasuk juga cara penggunaannya, sehingga memungkinkan bagi negara untuk memelihara urusan umat dan mengemban dakwah.

Dalil-dalil syara telah menjelaskan sumber-sumber pendapatan harta negara, jenis-jenisnya, cara perolehannya, pihak-pihak yang berhak menerimanya, serta pos-pos pembelanjaannya. Aspek keuangan mempunyai kepentingan yang khusus pada harta dalam Khilafah karena keberadaannya harus terikat dengan hukum syara. Semuanya direalisasikan dalam rangka mengakomodasi peran negara sebagai pengurus (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari). Juga dalam hadis, “Sesungguhnya imam (khalifah) itu junnah (perisai), (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah di dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) memerinci harta dalam negara Khilafah, baik dari sumber pendapatannya, jenis-jenisnya, jenis harta yang dapat diambil dan pihak-pihak yang menjadi sasaran pengambilan harta tersebut, waktu-waktu pemberiannya, cara perolehannya, pos-pos yang mengatur dan memeliharanya, pihak-pihak yang berhak menerimanya, serta pos-pos yang berhak membelanjakannya.
Di dalam kitab Ajhizah fii Daulah al-Khilafah (Struktur Negara Khilafah) disebutkan bahwa salah satu wewenang khalifah adalah mengadopsi hukum-hukum syariat yang menjadi pegangan dalam menyusun APBN. Khalifah memiliki wewenang menetapkan rincian APBN, berupa besaran anggaran untuk masing-masing pos, baik yang berkaitan dengan pemasukan maupun pengeluaran. Tidak boleh dipungut satu dinar pun kecuali harus sesuai dengan hukum syariat, juga tidak boleh dibelanjakan satu dinar pun kecuali harus sesuai dengan hukum syariat.

Di dalam Khilafah, tempat atau lembaga yang bertugas menerima pemasukan negara dan membelanjakan harta kaum muslim adalah baitulmal. Penetapan rincian belanja atau pos-pos anggaran itu berdasarkan pada pendapat dan ijtihad khalifah. Dalam hal ini khalifah harus terikat dengan hukum-hukum syariat dalam mentabanni (mengadopsi) hukum. Khalifah haram mengadopsi suatu hukum pun yang tidak diistinbat (digali) dari dalil-dalil syariat dengan istinbat yang sahih. Khalifah juga terikat dengan hukum-hukum yang diadopsinya, termasuk dengan metode istinbat yang menjadi pegangannya. Khalifah boleh menetapkan besaran kharaj atas tanah kharajiah, juga besaran jizyah yang harus dipungut. Ini termasuk kategori pos-pos pemasukan. Khalifah juga boleh menyatakan bahwa ini dibelanjakan untuk pembangunan jalan ini, yang ini untuk membiayai rumah sakit ini. Yang demikian dan semisalnya merupakan pos-pos pembelanjaan.

Mengenai belanja negara, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan dalam kitab An-Nizhamu al-Iqtishadi fii al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) bahwa pengeluaran baitulmal ditetapkan berdasarkan enam kaidah:
Harta zakat di baitulmal hanya boleh dibelanjakan/diberikan untuk delapan ashnaf yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.

Jika dari kas zakat tidak ada dana maka untuk orang fakir, miskin, ibnu sabil, kebutuhan jihad, dan gharimin (orang yang dililit utang) diberi harta dari sumber pemasukan baitulmal lainnya.
Untuk orang-orang yang menjalankan pelayanan bagi negara seperti para pegawai negara, hakim, tentara, dan tenaga edukatif. Untuk pembangunan sarana pelayanan masyarakat yang vital seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, dan sekolah. Pembangunan sarana pelayanan pelengkap, seperti pembangunan jalan alternatif saat jalan utama sudah tersedia, juga pembangunan rumah sakit pembantu saat sudah terdapat rumah sakit pusat.
Hak pembelanjaan karena adanya unsur keterpaksaan, semisal ada peristiwa yang menimpa kaum muslim seperti musim paceklik, angin topan, gempa bumi, maupun serangan musuh.

Jika dana baitulmal tidak mencukupi, sedangkan ada kebutuhan yang bersifat darurat, negara mengusahakan pinjaman non ribawi secepatnya dari warga yang kaya, kemudian pinjaman tersebut dibayar dari hasil pemungutan dharibah (pajak). Pajak hanya dipungut sementara ketika kas baitulmal kosong dan ada kebutuhan darurat. Jika kebutuhan dana sudah terpenuhi, pemungutan pajak dihentikan. Pajak hanya dipungut dari laki-laki muslim yang kaya sehingga tidak membebani rakyat. Dengan demikian, anggaran di baitulmal tidak hanya efisien, tetapi juga tepat sasaran dan jauh dari kesalahan pengelolaan karena baik pendapatan maupun pengeluaran baitulmal berdasarkan pada ketentuan hukum syara.

Selain itu, Khilafah tidak akan membebani APBN dengan utang luar negeri karena pada umumnya utang luar negeri ribawi, padahal Allah Taala telah mengharamkan riba dalam QS Al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ 

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Perihal ini, Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah di dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah menyebutkan pinjaman dari negara-negara asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional tidak dibolehkan oleh hukum syara. Sebabnya, pinjaman seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Riba diharamkan oleh hukum syara, baik berasal dari seseorang maupun dari suatu negara. Sedangkan persyaratan yang menyertai pinjaman asing itu sama saja dengan menjadikan negara-negara dan lembaga-lembaga donor tersebut berkuasa atas kaum muslim. Akibatnya, keinginan dan segala keperluan kaum muslim tergadai pada keinginan negara-negara dan lembaga-lembaga donor. Hal ini tidak diperbolehkan secara syar’i. Utang luar negeri adalah bencana yang sangat berbahaya atas negeri-negeri Islam dan menjadi penyebab orang-orang kafir menguasai negeri-negeri kaum muslim. Selama ada beban utang luar negeri, umat selalu berada dalam kondisi terpuruk. Dengan demikian, penguasa negara Islam tidak boleh menggunakan utang luar negeri sebagai pos pendapatan untuk menutupi anggaran belanja. Utang luar negeri juga berbahaya bagi kedaulatan negara karena akan memberi jalan bagi negara lain untuk menguasai kaum muslim, padahal Allah Taala telah melarangnya dalam QS An-Nisa’ ayat 141: 

وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” 

Dengan demikian, anggaran tidak tersedot untuk membayar utang dan bunganya. Rakyat juga tidak terbebani pajak yang “mencekik”. Penguasa, pejabat, dan pegawai dalam Khilafah dipilih dari orang-orang yang bertakwa, amanah, takut “menyentuh” harta milik rakyat, dan bekerja secara profesional. Ini dalam rangka mencegah terjadinya kebocoran anggaran.

Allah Taala berfirman di dalam QS An-Nisa’ ayat 58, 
 اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” 

Juga di dalam QS Al-Maidah ayat 8: 

اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ۝٨

“Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Wallahualam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak