Oleh : Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Presiden Amerika, Donald Trump mengumumkan kebijakan baru di bidang ekonomi dan perdagangan dunia. Banyak negara bereaksi negatif terhadap kebijakan tarif impor yang ditetapkan Trump. Salah satunya Indonesia. Dalam kebijakannya, Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 32 persen pada 2 April 2025 lalu (tempo.co.id, 4-4-2025). Kebijakan Resiprocal Tariffs tersebut memberlakukan tarif tambahan terhadap produk impor dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Cina pun menjadi salah satu negara yang disasar dalam tarif resiprokal. Amerika menetapkan tarif yang tinggi untuk Cina, hingga mencapai 125 persen (cnbcindonesia.com, 10-4-2025). Bentuk kebijakan ini sebagai bentuk balas dendam Amerika terhadap reaksi Cina yang menetapkan tarif balasan sebesar 84 persen. Perang dagang diantara keduanya tidak dapat terhindarkan, dan berdampak buruk pada negara-negara lain.
Langkah tarif impor ditetapkan sebagai bentuk dari liberation day. Yakni masa pembebasan ekonomi Amerika dari ketergantungan impor. Trump juga menyampaikan, dengan kebijakan ini, lapangan kerja baru akan mulai tumbuh dan mengaktifkan geliat ekonomi dalam negeri.
Namun faktanya, tidak sesuai harapan. Gelombang demonstrasi terjadi di sejumlah wilayah dunia. Gonjang-ganjing ekonomi terus memburuk, bahkan di dalam negeri Amerika. Kebijakan tersebut dinilai ekstrim karena mempengaruhi setiap langkah ekonomi dunia. Mengingat poros utama perdagangan dunia di bawah kendali Amerika Serikat.
Kebijakan Absurd
Menilik kebijakan tarif resiprokal, tentu saja, Indonesia sangat terpengaruh. Mengingat Indonesia menempati posisi sebagai negara berkembang dengan konsep ekonomi terbuka dan sangat bergantung pada kebijakan perdagangan internasional. Tarif ini pun secara langsung akan mempengaruhi kinerja perdagangan Indonesia ke luar negeri, terutama Amerika Serikat.
Pasar Amerika yang awalnya variatif, kompetitif dan masih terjangkau dalam hal biaya, kini menjadi sulit diakses. Karena persaingan menjadi semakin ketat dibandingkan dengan posisi negara lain yang dikenakan tarif lebih rendah daripada tarif tambahan yang ditetapkan untuk Indonesia.
Tak bisa dihindari lagi, gelombang PHK dalam negeri akan semakin mengerikan dari waktu-waktu sebelumnya. Karena pemangkasan jumlah tenaga kerja dan biaya operasional dipastikan akan terus ditetapkan sebagai kebijakan penghematan produktivitas dalam industri.
Tata kelola ekonomi ala sistem liberal selalu berhadapan dengan masalah yang tidak berkesudahan. Sistem ekonomi liberal yang berbasis kapitalisme niscaya mengutamakan nilai materi tanpa mengindahkan esensi pengurusan urusan rakyat. Wajar adanya, saat satu kebijakan selalu berujung dengan efek domino yang merugikan keadaan ekonomi rakyat.
Sungguh, konsep tarif Trump ini sejatinya bertentangan dengan konsep pasar bebas yang diusung kapitalisme. Konsepnya pun menekankan negara tidak memiliki kekuatan dalam campur tangan dalam penetapan kebijakan pasar bebas. Namun faktanya justru kebalikan.
Sementara itu, pasar bebas yang selama ini digadang-gadang sebagai solusi ekonomi, sama sekali tidak mampu memperbaiki keadaan ekonomi dunia. Pengurusan dan pengembangan harta di bawah kendali oligarki, menjadikan sektor ekonomi sebagai sasaran empuk. Kebebasan konsep kepemilikan pun menjadi salah satu konsep yang mengacaukan pengurusan harta milik rakyat. Dampaknya jurang ekonomi makin dalam dan angka kemiskinan kian meningkat dari waktu ke waktu.
Pandangan Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, bea cukai dan pajak bukanlah unsur utama pendapatan negara. Negara mendapatkan pendapatan dari berbagai pos yang telah ditetapkan hukum syarak, yakni ghanimah, fai, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz, dan harta kekayaan milik umum seperti tambang dan migas. Demikian dipaparkan dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Syekh Taqiyuddin a
An Nabhani.
Konsep tersebut hanya mampu diterapkan dalam bingkai negara yang menerapkan sistem Islam, yakni khilafah. Sistem inilah yang mampu amanah mengurusi urusan rakyat.
Sektor publik dalam Khilafah dikelola dengan satu tujuan utama yaitu demi kemaslahatan rakyat. Segala bentuk biaya layanan mampu dijangkau rakyat dengan mudah bahkan gratis karena konsep yang amanah. Hubungan antara penguasa dan rakyat tidak dalam konsep bisnis, tetapi pelayanan.
Sebetulnya dalam sistem Islam terdapat penetapan pajak, namun tidak ditetapkan sebagaimana pajak dalam kapitalisme. Pajak hanya diberlakukan dalam kondisi darurat ketika Baitul Mal kosong, dan hanya dibebankan pada orang kaya. Dalam kerangka Islam, pajak bukan suatu kewajiban tetap, karena sumber pendapatan lainnya telah mencukupi.
Terkait bea cukai, Islam hanya mengenalnya sebagai cukai (maksi), yang ditetapkan bukan untuk tujuan mengumpulkan kekayaan. Akan tetapi sebagai strategi politik perdagangan demi kepentingan umat Islam.
Pemungutan cukai didasarkan pada status pelaku bisnis, bukan jenis barangnya. Warga negara Khilafah, baik muslim maupun kafir zimmi, tidak dikenai bea masuk atau keluar. Kecuali jika barang tersebut ditujukan untuk membantu musuh-musuh Islam. Namun, tidak demikian bagi pedagang kafir muahid (kafir yang memiliki perjanjian damai), cukai dikenakan sesuai kesepakatan. Sementara untuk kafir harbi (yang memusuhi Islam secara hukum), cukai dikenakan setara dengan tarif yang mereka bebankan pada pedagang dari Khilafah. Besarannya ditentukan khilafah, dan tidak boleh melebihi tarif yang mereka tetapkan.
Islam menetapkan perdagangan internasional sebagai wasilah untuk membangun kemandirian, kekuatan dan penyebaran dakwah. Bukan untuk tujuan penjajahan dan eksploitasi. Khilafah akan menetapkan mekanisme dan strategi khas untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan dalam negeri tanpa bergantung pada pihak luar, terlebih pada negara-negara kafir penjajah.
Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam menegaskan bahwa hubungan dagang antarnegara wajib sesuai sistem syariah yang tidak berorientasi pada penumpukan kekayaan. Oleh karena itu, semua aspek dalam sistem perdagangan harus bertumpu pada pengurusan umat dan sesuai akidah Islam.
Dengan penetapan akidah Islam yang menyeluruh, kekuatan negara pun akan semakin tangguh dan amanah dalam menjaga urusan umat.
Wallahu'alam bisshowwab.
Tags
Opini