Oleh : Rahmayanti, S.Pd
Masyarakat Indonesia yang masih menjunjung nilai-nilai moral dan budaya, serta agama, sering dihadapkan pada berbagai tantangan dan rintangan yang menguji norma-norma yang ada. Salah satu isu yang kerap memunculkan polemik adalah penyelenggaraan kontes waria. Sebagian masyarakat menyuarakan penolakan terhadap kegiatan ini, dengan alasan –alasan yang berakar pada aturan agama, budaya dan etika.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dengan tegas menolak rencana penyelenggaraan kontes waria yang dikabarkan akan digelar pada Kamis, 26 Desember 2024. Informasi mengenai kontes tersebut diperoleh Ketua MUI PPU, KH Abi Hasan Mubarok, dari salah satu jamaahnya. MUI PPU, lanjutnya telah mengeluarkan imbauan kepada kapolres PPU, meminta agar kepolisian tidak memberikan izin atas penyelenggaraan kontes waria tersebut. MUI juga akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai fatwa MUI yang melarang aktivitas seksual sesama jenis. kaltimpost.id Minggu 15 Desember 2024.
Hal senada diungkapkan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dengan tegas menolak memberikan izin untuk kegiatan kontes waria yang direncanakan oleh sebuah Event Organizer di wilayah tersebut. Sikap tegas itu disampaikan oleh Sekretaris Kabupaten PPU, Tohar, setelah kabar mengenai rencana kegiatan mencuat ke publik. Tohar menjelaskan bahwa pihaknya segera bertindak setelah menerima informasi terkait rencana kegiatan itu.
Dengan akan diadakannya acara kontes waria adalah sebuah bencana, meski tidak jadi dilaksanakan tetapi ini menunjukan bahwa mereka sudah mulai berani menunjukan keberadaannya, mereka sudah berani unjuk gigi dengan serangkaian pesan yang menurut mereka pentingnya toleransi dan kesetaraan, hal inilah yang membahayakan apabila mereka diberikan panggung yang membuat masyarakat menjadi menormalisasi keadaan, menganggap biasa dan akhirnya tidak dianggap sebuah pelanggaran sosial atau penyimpangan sosial. Apalagi banyak di media sosial sudah berseleweran tayangan yang dianggap menghibur berupa waria-waria yang sudah dianggap wajar. Walaupun ada juga sebagian masyarakat merasa hal ini berbahaya dan mengkuatirkan.
Suatu hal yang sangat berbahaya jika hal demikian terjadi maka akan bisa terlihat kerusakan pada tatanan kehidupan dan penyakit sosial akan semakin berkembang. Kita bisa melihat kalau hal ini dibiarkan ataupun di normalisasi maka akibatnya akan menimbulkan kehilangan generasi, bahkan akan bisa kehilangan peradaban. Di sistem kapitalisme sekarang tatkala tidak ada hukum yang mengilegalkan sebuah perilaku maka secara faktual dianggap legallah perilaku ini, makanya setiap pelakunya (LGBT) tidak akan di hukumi sebagai kriminal. Karena hilangnya kemampuan untuk membedakan mana yang salah dan benar, halal dan haram.
Sebenarnya kelakuan menyimpang ini sudah pernah terjadi sejak lama di zaman nabi Luth yang kemudian berlanjut tahun 1732, kata lesbian pertama kali digunakan oleh Wiliam King dalam bukunya The Toast. Kalau homoseksual digunakan pertama kali tahun 1869 oleh jurnalis Hungaria Karl-Maria K. Sedangkan transgeder pertama kali digumakan oleh John Oliven dalam bukunya, seksual Hygiene and Pathology tahun 1965.
Lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) hak azasi manusia (HAM) diperingati bulan sejarahnya LGBT pertama kali dimulai di Amerika Serikat tahun 1994. Dilakukan setiap bulan oktober. Yang kemudian berlanjut dibeberapa negara telah melegalkan pernikahan sesama jenis, seperti Norwegia, Belanda,Belgia, Spanyol, Swedia, Portugal dan beberapa negara di Asia. Ini adalah gerakan politik global yang hanya bisa dilawan dengan kesadaran keimanan dan penerapan Islam kaffah.
Di dalam Islam tidak ada yang namanya kontes waria ataupun kontes-kontes sejenisnya, karena sangat jelas Islam melarang, haram hukumnya. Islam menghendaki pernikahan antar lawan jenis laki-laki dan perempuan, tidak hanya memenuhi hasrat biologi namun, sebagai ikatan suci untuk menciptakan ketenangan hidup dalam membentuk keluarga sakinah dan memberikan keturunan manusia yang mulia. Perkawinan sejenis tidak akan pernah menghasilkan keturunan dan akan mengancam kepunahan generasi.
LGBT di dalam Islam dikenal dengan empat isltilah fiqih yaitu, liwath, sihaq, takhannuts dan tarajjul. Liwath adalah kelainan dimana adanya ketertarikan dengan sesama laki-laki, hal ini tidak sesuai dengan fitrah dalam Islam. Sedangkan sihaq adalah kelainan ketertarikan antara sesama perempuan. Sama dengan liwath sihaq hukumnya haram. Sedangkan takhannuts adalah lelaki yang bersikap seperti perempuan, tarajjul adalah perempuan yang bersikap seperti laki-laki kedua perilaku inipun haram hukumnya dalam Islam. Di dalam Islam pelakunya menjadi kriminalitas karena melakukan kejahatan.
Islam sangat menentang perilaku menyimpang ini oleh karenanya hukum yang akan diterima bagi pelakunya bisa kita dapati di hadis Rasulullah SAW “Siapa yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homoseksual, seperti kelakuan kaum Luth, maka bunuhlah keduanya (pelaku dan objeknya).”(HR Ahmad dan Abu Daud).
Negara yang bertanggung jawab penuh dengan kondisi keamanan dan kenyamanan, menjaga dari perilaku menyimpang dan kemaksiatan serta menjaga nasab dan keturunan di wilayahnya maka dengan tegas akan melarang dan menutup semua akses ke hal-hal apapun yang berkaitan dengan LGBT ini.
Ini adalah masalah sistemik maka harus diselesaikan dengan sistemik juga yaitu dengan mengganti sistem kapitalisme dangan sistem Islam, yang akan menerapkan syariat Islam kaffah (keseluruhan) maka akan menutup pintu kebebasan seksual, serta akan menjaga kesucian di tengah masyarakat.
Tags
Opini
